Chereads / Cinta Pertama Jingga / Chapter 18 - Teman Baru

Chapter 18 - Teman Baru

"Sigit, buah yang merah kecil-kecil mana?" tanya Jingga.

Temannya itu tengah galau karena baru saja putus, Jingga menikah dan berharap dia bisa mendapatkan pengganti waktu itu, justru putus di tengah jalan karena sang kekasih harus ikut kedua orang tuanya pindah tugas.

Sigit dengan langkah gontai itu berjalan menunjukan keranjang buah yang baru saja ia bersihkan, kalau Jingga bertanya soal buah merah kecil, itu artinya dia sedang mencari strawbery, bukan buah lainnya.

"Kamu kenapa sih? Udah nggak apa ditinggal gitu, biarin aja, lagian dia pergi bukan karena kepancing sama cowok lain, tapi karena dia harus berbakti sama orang tuanya."

"Kalau di sana dia ketemu cowok lain yang lebih gimana, Ga?"

"Eh, ya kamu di sini cari pendamping lainnya dong. Masa iya kamu kalah sama dia, ini emang bukan parade atau lomba apa ya, tapi kalau udah jadi keputusan yaudah kamu jalanin aja, kayak aku ini!" Jingga busungkan dadanya.

Sigit hanya bergeleng, selepas kuliah yang panjang itu hanya kedai jus Jingga yang bisa menjadi hiburannya, dia tidak menemukan hal lainnya. Sekalipun ada tempat usaha Jingga lainnya, ia lebih memilih tinggal bersama buah-buah itu, tidak lain melihat buah lebih enak daripada melihat pasangan berlalu lalang di toko yang Jingga punya.

"Jingga, ada yang beli itu, katanya kenal kamu!" seru Sigit.

Jingga bergegas mencuci tangannya, ia berjalan ke luar dengan senyum lebar seperti biasa.

Sosok pemuda yang sangat asing di matanya, tapi baru saja Sigit bilang kalau pemuda itu mencari dan kenal dengannya, dua hal yang tidak bisa Jingga singkronkan.

Bulu mata lentik Jingga terkibas di sana, senyum pemuda yang memang dinilai jauh dari Andra itu terus saja tertuju untuknya.

"Hai, salam kenal. Apa benar mencari aku?" sapa Jingga ramah.

Pemuda itu mengangguk, matanya yang jernih menampilkan kejujuran yang ada di balik tujuan tersembunyi itu.

Mereka saling berjabat setelah sebelumnya Jingga persilakan untuk duduk santai lebih dulu.

"Aku buatin jusnya, kamu temenin dia dulu. Kayaknya itu temen lama kamu deh, Ga!"

Jingga kerutkan keningnya, sedikit mencondongkan tubuh ke samping Sigit.

"Kamu tahu kan kalau selama ini Jingga itu paling hafal sama temen kelas, Jingga juga terkenal, tapi baru ini ada yang begitu, apa anak baru di kampus?" balasnya.

"Nggak mungkin, kalau anak baru pasti aku juga kenal. Coba aku tanya ketua ya!"

Jingga mengangguk, dengan sikap ramahnya ia kembali ke depan pemuda asing itu, tampilannya sangat segar dan menunjukan berapa usianya saat ini, Jingga hanya menebak kalau pemuda itu seumuran dengan kakak lelakinya.

"Kamu yang namanya Jingga, kan?" tanyanya.

Jingga mengangguk, "Benar, darimana kamu kenal aku? Apa kita satu kelas di kampus atau beda?"

Pemuda itu bergeleng, ia bahkan terkekeh melihat ekspresi bingung Jingga.

"Aku orang baru di dekat sini, kebetulan aku tahu kalau kedai ini milik anak salah satu keluarga Narendra, apa bener?"

"Iy-iya, bener, ibuku anak dari keluarga itu, kalau aku sudah bercampur ayahku. Tapi, aku tetap keturunan keluarga itu, kamu kenal?"

Jingga semakin tersudut, ia juga penasaran dengan siapa dia berbicara kali ini.

"Kamu kenal sama wanita di foto ini?" tanya pemuda itu, dia bahkan tidak menyebutkan namanya.

Jingga mengangguk, ia jelas kenal dengan sosok yang ada di foto itu neneknya yang telah tiada, tidak lain sangat mirip dengan Jingga.

"Kamu siapa?" tanya Jingga bersuara pelan. "Dia, nenekku, tapi dia sudah lama meninggal."

"Aku tahu, aku adalah cucu dari pemuda yang tampan ini. Kalau ada cerita di mana nenekmu pernah disukai pemuda di kampusnya dulu, itu adalah kakekku, Tian. Dia teman dari pekerja Narendra juga yang bernama Sakti. Kamu tahu kisah itu?"

Oh, astaga.

Jingga bekap mulutnya, yang berdiri di depannya itu adalah tidak lain satu angkatan dengan Andra-suaminya, dunia ini sempit rupanya.

Pemuda itu, Arka, cucu dari teman neneknya di masa kuliah dan dulu keluarga mereka sempat bergabung dengan perusahaan keluarga Narendra.

Jingga tidak percaya ini, mereka bertemu dari keturunan berikutnya, tidak pernah ia sangka akan seperti ini, belum lagi pemuda bernama Arka itu tidak mau pulang sebelum Jingga mau menjadi temannya dan membawanya ke rumah.

"Udah, ajak aja. Lagian, masih lebih baik dia daripada Andra, dia nggak peduli sama kamu, kan?"

"Ssstt, ini bisa perang dunia kalau dia denger, jangan bahas kak Andra di sini, dia lagi kerja, kasihan!"

Sigit angkat kedua bahunya, melihat Jingga pergi dengan pertimbangan yang cukup sulit membuatnya kasihan juga, tapi kalau dia tidak menurut yang ada Arka akan terus berada di kedai ini menunggunya.

***

"Siapa, Nak?" tanya Rani, baru melihat pemuda itu, sepertinya tidak pernah Jingga bawa pulang selama menuntut ilmu dan bekerja. "Hei, siapa?"

"Arka, dia teman baru Jingga di kedai jus. Ibu pasti nggak percaya kalau ada ikatan masa lalu antara aku dan dia, bahkan ibu juga."

Rani sampai menganga mendengar pengakuan Jingga, keturunan dari salah satu teman kuliah ibunya ada di sana, bahkan terbilang dekat dengan keluarga Narendra sama seperti Andra.

Ia sapa pemuda bernama Arka itu, masih dengan rasa tidak percaya yang tinggi, tetap Rani berikan sambutan yang hangat di sana, pemuda itu pun sangat senang bisa diterima baik kembali di keluarga ini setelah lama hubungan mereka terputus.

"Maaf, Tante. Saya terlambat tahu kabar dari Ibu, Tante."

"Oh, nggak apa, maaf juga karena udah nggak kasih kabar atau gimana, waktu itu udah hancur semua waktu neneknya Jingga meninggal. Keluarga kamu apa kabar?"

"Baik, salam dari kakek buat keluarga sini, beruntung sebelum berangkat ke Jakarta bisa ketemu sama keluarga yang ada di sini."

"Kamu di sini tinggal di mana?"

"Di deket kedainya Jingga, makanya tadi kaget waktu denger kedai jus fenomenal dari Jingga, Te. Langsung deh aku samperin, bener ternyata, beruntung aku!"

Rani terkekeh, begitu juga Jingga yang di sana, diam-diam dia foto wajah Arka, ingin ia kirimkan pada sang suami sebagai laporan.

Walau hubungan mereka hanya sebatas pernikahan kontrak samar, Jingga mau waktu yang ada dia benar-benar melakukan kewajibannya sebagai istri.

Dreeett,

Tak lama dari itu panggilan dari Andra masuk, Jingga tidak meninggikan percaya dirinya lebih dulu karena Andra jelas hanya ingin memastikan kalau benar dia akan mempunyai teman baru.

"Kakak mau ngomong sama dia?"

"Nggak, cuman entar aja kalau ke sana ketemu lagi."

"Oh, yauda, seneng aku dapet temen baru, eheheheheh ... dia ganteng kayak Kakak loh!"

Ciuh,

Andra remat ponselnya.