Chereads / 12 LAMPU MERAH AMOA / Chapter 2 - Lima Lampu Merah Pertama

Chapter 2 - Lima Lampu Merah Pertama

Perbincangan malam itu berlanjut di ruang keluarga. Kedua orang tua Moa masih sulit mempercayai jika sang putri akan meninggalkan mereka untuk menempuh jenjang S1 di luar negri. Tempat yang membutuhkan lebih dari 21 jam perjalanan melalui jalur udara hanya untuk bisa bertemu, dan memeluk sang putri tunggal. Namun Moa tetap kukuh dengan keinginannya. Moa sudah membayangkan kehidupan bebasnya sebagai remaja di sana. Berteman dengan siapa saja, pergi kemanapun yang ia mau bersama teman-temannya kelak. Selama ini, ia selalu pergi bertiga bersama kedua orang tuanya, atau tidak sama sekali. Nonton … bertiga. Pergi ke Mall … bertiga. Pergi berenang … bertiga. Ke tempat hiburan … bertiga. Dia merasa kehilangan masa indah remajanya. Moa sudah benar-benar merindukan yang namanya kebebasan.

"Apa Mo Yakin mau kuliah di Amerika? Amerika itu jauh Mo. Di sana juga tidak ada Mama sama Papa." Sang Mama masih berusaha membujuk anaknya supaya mengubur keinginan bersekolah di luar negeri. Ia tidak bisa mebayangkan jauh dari sang putri. Bagaimana nanti kalau anaknya itu kelaparan, atau … sakit. Siapa yang akan merawatnya. Moa adalah satu-satunya putri yang ia miliki. Jadi ia merasa sangat berat untuk melepas gadis itu. Seandainya Moa mau menghapus keinginannya tersebut, dan berkuliah di semarang saja, dia akan merasa sangat lega.

"Yakin Ma … yakin seyakin yakinnya." Moa mengangguk dengan mantap. Mei, sang Mama mendesah berat. Wajahnya tertekuk karena masih belum berhasil merubah pikiran sang putri. Ia menoleh pada sang suami. Meminta bantuan pria itu untuk membujuk sang putri yang kali ini keras kepala.

"Apa Mo tidak kasihan sama Mama, dan Papa?" Mata Moa mengerjap. Ia menatap kedua orang tuanya bergantian. Bibirnya cemberut. Dia menyayangi kedua orang tuanya. Tentu saja dia kasihan melihat keduanya bersedih karena akan Moa tinggalkan selama 4 tahun masa kuliah. Tapi dia benar-benar ingin merasakan kehidupan seperti teman-temannya. Mereka selalu bercerita serunya pergi nonton bareng, ke mall bareng, atau pergi ke rumah makan yang baru buka bersama teman-teman mereka. Hanya Mo yang tidak bisa melakukan semua itu selama ini. Dan Mo yakin, ia akan tetap menjadi anak Mama dan Papa, tanpa bisa merasakan kesenangan seperti yang dirasakan teman-teman remajanya jika ia masih tetap tinggal bersama kedua orang tuanya. Ia tidak ingin melepaskan mimpi yang sudah di depan mata. Untuk pertama kali dalam masa ia hidup, Moa mengeraskan hati.

"Mo sayang sama Mama … sama Papa." Kedua orang tuanya mengangguk bersamaan. Ada binar penuh harap dari mata keduanya bahwa Mo akan membatalkan keinginannya.

"Tapi ini kesempatan bagus buat masa depan Mo. Banyak yang ingin sekolah di sana, tapi gagal masuk. Mo nggak mau kehilangan kesempatan ini Ma … Pa." Moa mencoba menjelaskan. Berharap kedua orang tuanya mengerti, dan bisa melepas Moa dengan hati tenang. Ia mendesah begitu melihat kedua bola mata sang Mama memerah. Sebentar lagi Mamanya pasti akan menangis. Benar saja, beberapa detik kemudian, tangan sang Papa sudah meraih bahu istrinya. Membawa kepala sang istri ke dadanya. Ibunya terisak. Amir Suteja menghela nafas panjang.

"Bagaimana kamu di sana nanti? sendirian tanpa ada Mama sama Papa ?" tanya Amir kepada sang putri yang masih ngotot ingin sekolah di luar negeri itu. Bagaimana kalau sang putri di sana salah pergaulan. Putrinya itu masih naïve. Dia tidak pernah pergi sendirian tanpa kedua orang tuanya.

"Mo pasti akan punya teman di sana, Pa. Dan kami akan saling menjaga." Sang Papa kembali menghela nafas panjang. Tangannya masih sibuk mengusap punggung sang istri yang masih belum berhenti menangis. Membuat hati Moa bertambah sedih. Moa yakin, di Amerika nanti ia akan bertemu dengan sesama mahasiswa yang berasal dari Indonesia, dan mereka akan saling support, saling menjaga karena merasa sama-sama sendirian di tempat rantau. Jauh dari keluarga. Ia yakin ia akan baik-baik saja.

"Apa Mo benar-benar tidak akan merubah keputusan Mo?" Sang Papa nampak sudah putus asa melihat sang anak tetap kukuh pada pendiriannya. Ia sangat mengenal sang putri. Ketika ia sudah begitu kukuh pada satu keinginan, akan sulit untuk merubah keputusan gadis itu. Ia tidak punya pilahan lain selain mendukung sang putri. Mei menegakkan tubuhnya, mendongak untuk menatap sang suami. Sang suami hanya menghela nafas, lalu tersenyum kecil kearahnya. Kedua bahu Mei luruh seketika. Sang suami sudah menyerah, dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Biarkan Mo punya pengalaman baru Pa. Mo akan menjaga diri Mo. Mo akan baik-baik saja di sana." Kepala sang Papa akhirnya mengangguk meskipun terlihat begitu berat. Mo menghela nafas lega. Ijin sudah ia dapat, dan ia akan segera bisa menikmati hidup seperti yang ia impikan.

"Tapi ada beberapa hal yang harus Mo patuhi. Itu sebagai syarat Papa, dan Mama mengijikan Mo kuliah di luar negeri." Mo mengerjap bingung. Sang Papa beranjak dari tempatnya duduk, kemudian berjalan ke dalam kamar. Sementara sang Mama terlihat menghapus jejak air mata, dan berkali-kali menghena nafas panjang. Tak lama sang Papa kembali dengan sebuah buku tulis, serta pena di tangan pria paruh baya itu. Moa menatap sang Papa penuh tanya. Sang Papa kembali duduk ke tempatnya semula, lalu membuka buku tulis yang ternyata masih kosong.

"Mo pasti tahu kehidupan kita di negara bagian timur berbeda jauh dengan mereka yang hidup di negara bagian barat." Sang Papa menatap tajam sang putri yang mengangguk ragu. Ia mendesah. Sepertinya sang putri belum mengerti yang ia maksud. Gadisnya memang se-naïve itu. Makanya ia merasa sangat berat harus melepas sang putri sendirian di negeri orang. Tapi karena sang putri sudah kukuh dengan keinginannya, maka ia hanya bisa memberikan batasan-batasan agar sang putri terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Tangan pria itu mulai menulis di atas buku yang sudah ia buka.

"Ini LAMPU MERAH yang harus Mo patuhi selama sekolah di Amerika. Kalau Mo keberatan dengan ini, maka Papa dan Mama tidak akan pernah mengijinkan Mo sekolah di sana. Meskipun Mo menangis sekalipun," ucap sang Papa dengan wajah yang sudah berubah serius. Mo kembali mengerjapkan mata. Ia masih belum bisa memahami lampu merah apa yang di maksud sang Papa. Yang ia pahami tentang lampu merah adalah tanda untuk berhenti saat kita berkendara di jalan raya. Sang Papa mengedikkan kepalanya, meminta Mo menjawab. Mo akhirnya mengangguk, kemudian mendekat, dan duduk di sebelah kiri sang Papa di sofa panjang, sementara sang Mama ada di sisi kanan Papanya.

"Lampu merah yang pertama … NO DRUGS," ucap sang Papa sembari menulis. Tentu saja Moa paham tidak boleh mengkonsumsi obat-obatan terlarang karena itu tidak hanya melanggar hukum, tapi juga merugikan tubuh kita. Maka, dengan kuat Mo mengangguk menyanggupinya. Sang Papa tersenyum.

"Lampu merah yang ke-dua … NO ALCOHOL." Kembali sang Papa menulis seperti yang diucapkannya.

"Mo pasti tahu kalau di luar negeri sana orang biasa minum minuman beralkohol," lanjut sang Papa yang segera Mo beri anggukan. Tentu saja ia tahu karena ia sering nonton film-film hollywood.

"Dan Mo pasti tahu kalau alkohol itu dilarang di agama kita." Mo akhirnya menyadari kemana arah pembicaraan sang Papa mengenai lampu merah yang kedua. Dia tahu itu, dan sudah pasti tidak akan melanggarnya.

"Tentu saja Mo tahu Pa. Dan Mo tidak akan melanggarnya." Ucap pasti Mo membuat sang Papa tersenyum. Sementara sang Mama hanya terdiam mengamati kedua orang yang ia sayangi. Dia bahkan sudah merasakan kehilangan sang putri sebelum keberangkatannya. Akan seperti apa rasanya jika nanti Mo sudah berangkat untuk mengejar mimpinya.

"Lampu merah yang ke-tiga …. NO DATING." Mo mendesah setelah melongokkan kepalanya untuk melihat apa lagi yang di tulis sang Papa. Padahal dia sudah membayangkan berkencan dengan bule yang cakep. Sepertinya ia harus menggubur keinginan yang satu itu. Dengan wajah cemberut ia mengangguk. Dia tidak punya pilihan selain mengangguk kan? atau sang Papa tidak akan pernah mengijinkan Moa pergi. Sang Papa terkekeh melihat wahah Moa yang cemberut. Tentu saja dia bisa membaca pikiran gadis 17 tahun tersebut. Gadis seusia Moa pasti memimpikan kencan romantis. Tapi ia tidak bisa membiarkan hal itu disaat sang putri berada belasan ribu kilometer darinya.

"Sudah, Pa?" tanya Mo tidak sabaran. Sang Papa kembali tersenyum. Namun gelengan kepada yang kemudian diberikan sang Papa membuat Mo kembali mendesah. Masih ada lagi, batinnya.

"Lampu merah yang ke-empat … NO KISSING." Moa memelototkan matanya saat membaca lampu merah ke-empat yang ditulis sang Papa. Kenapa dia merasa malu sendiri ya ? pipinya terasa tiba-tiba memanas. Ia menundukkan kepala dalam-dalam, tidak ingin kedua orang yang ia kasihi melihat pipinya yang pasti sudah memerah.

"Bisa disetujui, Mo?" tanya sang Papa yang melihat anaknya justru tertunduk malu. Moa gelagapan. Ia segera mengangkat wajah dan bertemu pandang dengan sang Papa.

"Kan udah nggak boleh pacaran Pa. ya pasti nggak akan itu … " Moa tidak menyelesaikan kata-katanya sendiri. Ia merasa malu untuk mengatakannya di depan kedua orang tuanya. Mulut gadis itu sudah maju tiga centi membuat sang Papa terkekeh.

"Di luar negeri orang tidak perlu pacaran hanya untuk bisa ciuman." Sang Mama yang sudah terdiam cukup lama, hingga Moa pikir Mamanya sedang bersemedi itu akhirnya mengeluarkan suara. Moa menengok kearah sang Mama. Ia berpikir sejenak sebelum akhirnya tentu saja mengangguk. Mei menghela nafas lega.

"Lanjut, Pa." Perintah sang istri. Amir tersenyum kecil kearah Mama Moa tersebut, sebelum kembali menunduk untuk melanjutkan tulisannya.

"Lampu merah ke-lima … NIGHT HOUR : 9 PM." Tulis sang Papa, kemudian menoleh ke arah sang putri yang sedang mengamati tulisannya. Bibir anak itu terlihat mencebik. Sepertinya sang anak kesal dengan apa yang ia tulis.

"Pa … jangan jam 9 dong. Mo kan bukan anak SMA lagi Pa. Jam 11 ya Pa … pleaseee." Pinta sang anak dengan wajah memelas. Biasanya sang Papa tidak akan tahan saat Mo sudah mengeluarkan wajah memelas. Tapi kali ini lain, sang Papa menggeleng dengan keras. Mo melongok sang Sama. Mencoba meminta bantuan wanita yang sudah melahirkannya tersebut. Namun sayang, sang Mama hanya mengangkat kedua bahunya. Sepertinya sang Mama senang dengan siksaan yang sedang di rasakan Moa. Bagaimana bisa dia yang sudah berkuliah diberi batasan jam 9 malam? padahal ia sudah memikirkan segala kebebasan yang akan ia lakukan saat tidak lagi berada di bawah atap yang sama dengan kedua orang tuannya. Tapi sepertinya, dia harus mengubur beberapa mimpinya hanya untuk bisa berangkat ke Amerika. Mo mengangkat kesembilan jarinya dan memperlihatkan pada kedua orang tuanya dengan wajah memelas.