Chereads / 364 Days / Chapter 8 - Perasaan Tidak Layak

Chapter 8 - Perasaan Tidak Layak

Senada mengamati lelaki yang kini sedang memakai Kacamata dan duduk dengan Laptop dipangkuan nya.

Wajah nya tampak serius mengotak-atik Benda tipis kotak itu. Sena tadi mengintip, lelaki itu seperti sedang membandingkan Kurva?

Entahlah, Sena tidak terlalu mengerti tentang cara kerja perusahaan. Dipikir-pikir, Sean memang tampan. Tampan sekali. Sena hampir tidak habis pikir, kok ada ya lelaki setampan ini?

Sepertinya hanya Sean. Di mata nya, Sean ini melebih ketampanan Jeon Jungkook, Lee Jeno, dan Jeong Jaehyun. Ah ya, Sena lupa memberi tau. Pekerjaan sampingan nya adalah Fangirling.

Grup Idol yang Sena stan diantara lain:

1. NCT

2. BTS

3. RED VELVET

4. SNSD

5. SMASH.

Yang kelima sih, bukan termasuk Idol, hanya grup Boyband dari Negara nya sendiri. Tapi ia suka dengan lagu-lagu jadul milik Boyband itu.

"Ngapain disitu?" ujar Sean pada Sena, tetapi pandangan lelaki itu tetap fokus pada Laptopnya.

Sena bergerak kaku, "Gak. Orang saya mau masak kok," sangkal nya sambil berlari kecil.

Walau umurnya sudah 30 tahun, tetapi Sena masih masuk dalam kategori perempuan lincah. Ia bisa bergerak kesana-kemari tanpa rasa lelah sepertinya.

Jadwal memasak Sena hari ini adalah Tumis Kangkung, Cumi Saus Tiram, dan apalagi ya? Sena terdiam didepan Kompor itu.

"Lo gak usah masak, gue sama Sanell mau pergi malem ini."

Ujaran itu memberhentikan Sena yang sedang memotong Cabe untuk bumbu Kangkung. Yasudah, Sena jadi tak perlu repot-repot hari ini.

Hari ini ia akan menonton Drakor saja sebagai ganti nya. Suasana hati nya sedikit buruk kala mendengar Sean akan pergi bersama Sanell. Padahal sih ia tidak peduli mereka berdua ingin kemana, tapi anehnya suasana hati nya memburuk.

Sena melempar Pisau dengan kasar, menyimpan semua bahan-bahan itu kedalam Kulkas, lalu pergi tanpa menoleh pada lelaki itu.

Sean dan Sanell memang malam ini mereka berdua berniat untuk pergi ke Masa depan untuk melihat apa yang terjadi pada Sean kelak. Tapi kini kenapa Sean merasa berat untuk meninggalkan Sena sendirian dirumah?

Takut terjadi hal yang mengkhawatirkan.

Sean beranjak, pergi kekamar Sena. Sambil memijit Pelipisnya, Sean merasa pusing sekarang.

"Sya," mengetuk Pintu saat sudah ketiga kali lalu tidak ada yang menjawab, Sean biasa nya langsung membuka Pintu itu.

Dengan tekad dan keberanian, Sean langsung membuka Pintu itu dengan pelan, melihat, apakah perempuan itu sedang di Toilet, atau sedang melakukan hal yang rahasia dikamar ini.

Menurut Sean, Kamar adalah ruang privacy yang seharusnya tidak didatangi orang.

"Tidur?" gumam Sean kala melihat Sena tertidur, ditemani Film yang terus berjalan.

Sean mem-pause Film itu, mematikan Laptop, dan membenarkan posisi tidur Sena yang sepertinya sangat nyenyak itu.

Berganti Posisi, Sean berjongkok untuk melihat wajah itu. Tenang sekali.

Tangan besar Sean mengelus Puncak kepala Sena dengan lembut, seolah membuat tidur Sena lebih nyenyak.

Tangan itu tergerak kearah lain, mengusap Pipi Sena dengan perlahan.

Sean sudah kalah, ia kalah dengan perempuan bernama Senada ini. Ia menyukai nya, menyukai Senada, menyukai Sya.

Jika ada satu kesempatan nanti, ia harus dan akan menjadi lelaki yang mencintai Senada penuh ketulusan. Semoga, ya.

Kening perempuan itu baru saja dikecup oleh lelaki bernama Xasean, bibir Sean menempel pada Kening Sena kurang lebih sekitar satu menit.

"Cantik,"

"Saya pergi dulu ya. Jangan lakuin apapun disini, aku pulang cepet nanti."

Percakapan mereka berakhir ditandai dengan Sean mengecup kening itu lagi. 2 kali. Ingat ya, 2 KALI.

Setelah mendengar Pintu tertutup dan memastikan lelaki itu tidak lagi berdiam didepan Pintu, Sena membuka mata nya cepat.

"APA TADI??????" Sena refleks berteriak karena ia memang sangat sangat amat terkejut.

Ia mengindari Sean tadi bukan bermaksud ngambek dan marah ada lelaki itu, hanya saja malas. Jadi ia memilih opsi pura-pura tidur.

"Dia.. Cium jidat gue? Dua kali?" datar Sena.

"Serius?"

"Kayaknya gue udah gak mampu." Sena memejamkan Mata nya kembali. Lalu membuka nya lagi.

"DIA BILANG AKU?????? Stres!" Sena mengipasi sekitar wajah dan leher nya itu, merasa seluruh tubuhnya panas.

Entah karena emosi, terkejut, ataupun terbawa perasaan. Untuk hari ini, ia membenci Xasean.

Sena melipat Bibir nya kedalam, menyembunyikan dan menahan senyuman nya.

Lalu menggeleng keras, mana mungkin dia salah tingkah hanya karena dicium kening?

"Ya. Kan cuma dicium? Di New York udah lumrah," Sena berusaha menyangkal.

"Bener. Ngapain gue salting? TAPI GUE SALTING BANGETTTT, Sean sialan!" Sena berteriak, lalu kembali memelankan Suara nya. Begitu terus, karena terlalu mengejutkan dan mendebarkan.

Tapi hari ini Sena tidak jadi untuk membenci Sean karena.. Apa ya? Sena tidak tau, hanya tidak jadi saja.

Sena kembali membaringkan tubuhnya, pikiran nya kini bercabang.

Apa tidak apa-apa untuk senyaman ini? Apa tidak masalah jika ia menyukai untuk berada disini?

Sena belum pernah berpacaran sebelumnya, ia belum pernah menjalani hubungan seperti ini seperti kebanyakan orang. Ia masih kalut.

Sena harus selalu mengendalikan perasaan nya agar tidak terjadi hal-hal yang membuat dirinya kesakitan. Tadi juga, Sena hampir kalah, sama seperti Sean. Untung saja, ia pandai untuk mengendalikan hati dan pikiran nya.

Ya, Sena hampir kalah.

Semoga lelaki itu tidak mengetahui perasaan terdalam nya.

Telepon berdering, Sena segera bangun dan mengangkat itu.

"Senada, besok kamu bekerja seperti biasa. Saya kewalahan karena gak ada kamu, alih-alih kamu cuti, nanti khusus untuk bayar kamu. Yang penting kamu bekerja besok. Bisa kan?"

Sena terdiam, ia sangat menikmati hari liburnya ini, dan sangat menikmati waktu bersama Sean juga, sih.

"Senada?"

Sena kembali pada alam bawah sadarnya, Bu Rera kembali memanggil.

"Baik, Bu. Saya akan bekerja besok,"

"Anak baik, see u soon."

Panggilan Telepon itu berakhir, Sena mengguling-gulingkan tubuhnya tidak karuan. Sebenarnya menjadi Asisten penulis itu mudah dan susah. Seimbang.

Mudah nya adalah bisa selalu santai walau didepan Komputer 24/7. Dan susah nya sih, ketika produksi Film. Itu hal yang sangat merepotkan, saat mereka memproduksi Film, Sena bukan lagi asisten penulis, tapi benar-benar seperti orang suruhan.

Disuruh mengambil barang yang akan menjadi sponsor, membelikan makanan atau minuman ketika sedang istirahat, bahkan Sena pernah disuruh memayungi Artis yang menjadi peran utama itu.

Lebih parah nya, Bu Rera dengan senang hati membiarkan Senada melalui itu semua. Ckck.

Tapi kenapa semenjak Sena tinggal disini bersama Sean dan Sanell, semuanya kenapa terlihat lebih mudah? Apa kemarin-kemarin Sena terlalu keras dalam hidupnya?

Entahlah, yang ia ingat, semenjak mempunyai teman berbicara, ia seperti kembali hidup. Seperti Bunga yang sudah lama layu dan mati, kini hidup dengan bermekaran. Seperti itu Senada sekarang.

Pintu diketuk itu mengalihkan perhatian Sena, ia turun dari Kasur dan membuka nya dengan perlahan.

"Sanell? Ada apa?" sambil menyembulkan Kepala dari balik pintu itu Sena bertanya.

"Lo bisa gak pergi dari sini? Maksud gue bukan dari Kamar ini, tapi dari Rumah ini."

Sena terdiam, apa Sanell mempunyai hari yang buruk? Dan membuatnya bersikap seperti ini pada Sena?

"Kamu barusan ngusir saya? Kenapa? Saya ada salah sama kamu?"

Sanell menggelengkan kepalanya, "No, that not our problem. Gue cuma mau lo pergi dari sini,"

"Ya atas dasar apa? Kamu harus kasih alasan yang spesifik biar saya tau kenapa saya harus meninggalkan Rumah ini,"

"Gue gasuka, gue gasuka liat lo ngomong sama Sean, skinship kalian, bahkan tatapan mata kalian satu sama lain, gue muak."

"Terus? Masalah nya sama saya apa? Dari kamu bicara gitu itu udah ketauan dengan jelas lho, kalau masalah nya itu di kamu. Kenapa kamu harus merasa demikian? Padahal saya aja ngga ada apa-apa dengan teman lelaki kamu itu,"

Sanell menyeringai. "Gue suka Xasean, tapi udah keliatan dan jelas banget kalau Xasean suka lo."

Sena lebih menyeringai, "Harusnya, yang kamu lawan itu perasaan kamu terhadap Sean. Bukan dengan cara mengusir saya dari sini, Sanella."

"Kalau saya pergi dari sini, sedangkan Sean masih menyukai saya. Ya percuma, dia bisa kejar saya. Kamu salah, yang harus kamu lawan itu perasaan kamu sendiri."

"Perasaan yang bahkan itu nggak layak buat kamu rasakan."