•note:semakin kamu banyak berbohong, semakin banyak juga kebohongan lain yang bakal tercipta.
Jam sudah menunjukkan angka sepuluh malam, tapi Luna masih berkutat dengan alat pel nya membersihkan lantai setelah tutup sepuluh menit yang lalu.
Sejak menolak menolong Sifa, gadis itu marah pada Luna, dia bahkan tidak menengur Luna sama sekali atau berpamitan pulang terlebih dahulu tadi. Hmm kalau boleh tahu, salahkan Luna menolak?
"Huft! Akhirnya selesai juga!" gumamnya lalu membawa alat pel nya kebelakang, Luna tidak sendiri kok di sana, masih ada boss nya yang mungkin sedang berada di ruangannya.
Selesai berganti baju dengan kaos polos yang ia bawa setiap hari ditasnya, Luna langsung keluar dari tempat ganti tersebut dengan membawa backpack untuk berpamitan sama boss nya.
Tok tok tok
Ia mengetuk pintu itu dengan sopan, lalu mendorong pintu tersebut hingga terbuka lebar.
"Selamat malam boss, saya izin pulang," ujarnya berpamitan.
Seorang wanita muda berkerudung itu langsung menoleh pada Luna.
"Oh iya, silahkan Luna," katanya lalu diangguki oleh gadis remaja itu.
"Saya pamit kak," ucapnya lagi kemudian menarik pintu ruangan boss nya itu lalu menutupnya seperti semula.
Luna keluar dari kafe itu dengan perasaan lega, akhirnya tugasnya selesai. Ia merogoh ponselnya disaku rok abu-abunya untuk melihat jam.
"Ah... Udah jam setengah sebelas, sempat nggak ya ngerjain tugas? Begadang aja lah!" gumamnya kemudian menyelipkan kembali ponsel android nya itu.
Tak ada waktu lagi untuk berjalan santai atau menunggu angkutan umum lewat yang hampir larut malam ini. Luna memilih berlari saja, kalau sampai ia ketahuan pulang lewat dari jam dua belas malam, mungkin besoknya dia akan dipukul oleh Papanya.
Untuk mengeluh saat ini tidak lah tepat! Pasalnya waktu Luna sangat mepet, belum lagi membersihkan badan dan mengerjakan pr. Argh! Rasanya ingin gila!
Sekitar dua puluh menit berlari tanpa henti, Luna akhirnya sampai didepan pagar rumahnya yang sudah terkunci rapat. Dengan kecepatan kilat ia merogoh sakunya untuk mengambil kunci cadangan yang sengaja ia bawa tiap hari agar tetap bisa masuk.
Pagar itu terbuka dan ia tutup kembali setelah itu Luna berlari kebelakang rumah, ia tidak berani masuk melalui pintu utama, yang ada sama saja mengantar nyawanya.
Untung pintu belakang tidak dikunci sama asisten rumahnya, jadi Luna bisa masuk dan menyelinap dikamarnya.
Ketika sudah berada dikamarnya barulah Luna bernafas lega, gadis itu merosot dibalik pintu.
"Astaga, gini amat nyambung hidup, tiap hari pulang sekolah langsung kerja dan pulang kerumah hampir tengah malam," gumamnya.
"Belum lagi bersih-bersih, habis itu ngerjain tugas sekolah. Ah, mau nyerah rasanya!"
Luna bangkit berdiri lalu menyimpan tasnya di belakang pintu dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Sepuluh menit berada dikamar mandi akhirnya gadis itu selesai dengan tubuh dan wajah yang segar tidak lepek seperti tadi.
"Brrrrrrr!!!! Seger!" ujarnya lalu berganti baju dengan piama tidurnya.
Brak! Brak! Buku tulis dan buku paket ia lempar begitu saja dimeja belajarnya.
"Ayo Luna! Semangat! Jangan nyerah! Katanya mau jadi pilot! Harus bisa dong!"
Sebelum ia benar-benar mengerjakan pr dengan serius, gadis cantik itu terlebih dahulu menyempatkan diri mengirimkan pesan pada seseorang di aplikasi WhatsApp.
Ia tersenyum kecut melihat roomchet yang hanya dirinya yang mengirim pesan tanpa balasan.
"Aku nggak benci kamu kok Gal, mau kamu seburuk apapun, aku bakal tetap cinta sama kamu, aku harap kamu kembali seperti dulu," ujarnya lalu menutup layar ponselnya dan menyimpan dimeja.
***
Berbeda tempat, ponsel seseorang yang baru saja dikirimi pesan berbunyi. Dengan tingkat malas yang tiada tanding, cowok tampan yang baru saja habis bermain game online diponselnya itu membuka aplikasi pesan.
Ia berdecak, "gue kira penting! Ternyata nggak sama sekali!"
"Eh tapi tumben, dia ngirim pesan jam segini? Biasanya paling lambat jam sembilan, apa dia belum tidur ya?" ujarnya melihat roomchet itu tanpa membalasnya.
"Eh ngapain gue mikirin dia?! Nggak penting juga!" decaknya kemudian membuang ponselnya sembarang arah diatas kasurnya.
Ia menguap, lalu membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur dan memejamkan matanya kemudian terlelap.
Berbeda dengan gadis yang masih berkutat pada tugasnya, sesekali ia menggenggam kesal karena ada yang salah dan coretan.
"Masih sisa 5 soal lagi, aduh..." keluhnya namun tangannya tetap mencoret diatas kertas itu.
Luna itu pintar, makanya dia dapat beasiswa dan bisa bersekolah ditempat yang unggul seperti SMA Bangsa.
"Selesai!" finalnya setelah membuang pena. Gadis itu meregangkan tangannya di atas seraya melirik jam beker yang sudah menunjukan pukul satu dini hari.
"Udah subuh aja, nggak kerasa," gumamnya lalu beranjak dari meja belajar untuk tidur diatas kasur busanya.
"Selamat pagi Luna! Ayo tidur bentar! Nanti kita berjuang lagi!"
***
Pagi harinya seperti biasa, Luna sudah bangun awal, tidurnya hanya tiga jam saja, ah tidak apa! Gadis itu sedang membantu asisten rumahnya menyiapkan makanan untuk sarapan pagi. Entah kenapa Luna semakin lama semakin merasa asing dirumahnya sendiri.
"Bik, Luna udah selesai, Luna berangkat sekolah dulu ya," kata Luna hendak pamit, ART yang masih berkutat mencuci piring terkaget, ia melirik jam dinding di dapur.
"Masih jam enam loh, kamu nggak sarapan dulu? Nyonya ,Tuan, Non Serly dan Den Geo belum turun loh,"
Luna menggeleng, "nggak papa Bik, Luna sarapannya diluar aja, kalau gitu Luna berangkat ya," pungkasnya lalu pergi melalui pintu belakang seperti biasanya.
Sedangkan ART itu menatap kepergian Luna dengan pandangan yang sangat sulit diartikan.
"Non Luna, kenapa Non Luna semakin hari semakin menjauh langkahnya? Non mau pergi kah?"
"Galaksi!"
Pagi-pagi sekali, cowok yang dipanggil namanya itu sudah berada disekolah karena piket kelas. Sementara yang memanggilnya itu seorang gadis yang mengirimkannya pesan hampir tengah malam semalam.
"Kamu piket ya? Mau aku bantu?" tawar gadis itu membuat Galaksi yang lagi menghapus papan tulis berdecak.
"Lo pergi aja! Gue nggak butuh bantuan Lo!" sarkasnya mengusir.
Tak mau pantang menyerah, Luna langsung merampas penghapus papan tulis dari Galaksi.
"Biar aku aja, kamu istirahat gih! Pasti capek kan," ujarnya lalu dengan semangat membantu cowok itu membersihkan papan tulis yang didepannya.
Sementara Galaksi mundur, ia melihat punggung gadis itu dari belakang.
"Selesai!" kata Luna lalu berbalik badan dan memberikan penghapus itu pada Galaksi.
"Nih, ada lagi nggak yang perlu kamu kerjain? Kalau nggak ada temenin aku sarapan yuk dikantin, laper nih!" ajaknya.
"Lo belum sarapan?" tanya laki-laki remaja itu.
Luna menggeleng cepat, "belum, nggak sempat aku tadi," bualnya, padahal mah sempat, Luna nya aja yang perginya kepagian padahal nggak ada tugas apapun.
Sementara Galaksi heran, sangat heran! Gadis yang ia sakiti berkali-kali ini masih saja gencar mendekatinya.
"Pergi aja sendiri!" ketus Galaksi kemudian berbalik badan hendak meninggalkan Luna, namun dengan cepat gadis itu menahan tangannya.
"Temenin ya, aku belum makan loh dari siang kemarin, nanti kalau aku sakit dan lemah, aku nggak bisa berjuang, temenin ya... Please!"
Galaksi menyentak tangan Luna yang sangat terasa dingin dipermukaan kulitnya.
"Gue nggak mau temenin pembunuh kayak Lo!" sarkasnya lalu benar-benar pergi keluar kelas meninggalkan Luna yang cemberut seraya memegang perutnya yang lapar minta makan.
"Aku bukan pembunuh..."