Hari ini akan sama seperti biasa, begitu pikirku. Aku menghela nafas. Same old boring day. Di mejaku sudah disiapkan segelas jus jeruk yang baru saja diperas dan kopi brazil yang sangat harum aromanya lengkap dengan set cangkir keramik dari Cina seharga 800 dolar yang dibeli istriku saat kunjungan bisnisnya yang terakhir ke negeri panda itu. Jus jeruknya murni perasan dan bukan instan. Kopinya pun berasal dari biji kopi asli yang digiling sendiri sehingga tidak banyak campurannya seperti yang disajikan di kedai kopi murahan. Di sampingnya ada sekeranjang pastry dengan berbagai rasa.
Mirip sarapan pagi di hotel terkenal. Bahkan aku sangat yakin semua pastry ini tidak dibuat oleh koki kami. Aku sangat yakin ada pembuat roti khusus yang menyiapkan menu harian kami.
Kenapa aku sampai tahu hal-hal seperti ini? Padahal aku jarang berada di rumah. Tapi minggu lalu, aku mendengar sopirku berbisik pelan ke satpam kami tentang betapa rewelnya nyonya rumah ini, yang tidak lain adalah istriku. Mereka berkata bahwa tidak mudah memuaskan nyonya rumah ini. Sedikit kesalahan akan mengantarkan mereka ke pemecatan saat itu juga. Tanpa teriakan. Tanpa teguran.
Begitulah nasib pembuat roti kami yang terakhir. Dari yang aku dengar sekilas, istriku menemukan ada sehelai rambut di roti buatannya. Dan hari itu adalah hari terakhirnya. Sekretarisnya langsung memberikan gaji serta salam terakhir. Agak sayang menurutku… karena aku suka kue-kue tradisional buatannya. Sudah lama aku merindukan kesederhanaan dalam hidupku. Dan kesalahan seperti itu, seharusnya bisa diperbaiki. Well, bukan berarti aku ingin berkomentar atas keputusan istriku. Karena aku tahu hanya akan mendapatkan satu senyum sinis dan tatapan dingin yang menyakitkan darinya.
Yah aku tahu persis karakter istriku. Dingin, terpelajar dan aku kadang kala mendengar para pegawai memanggilnya pelacur es di belakang kami. Semua yang ada di rumah ini menggambarkan istriku dengan sangat nyata.
Mulai dari lantai marmer, tangga mengular dengan ukiran-ukiran emas. Karpet mewah dari Persia. Lampu kristal menggantung dengan sombongnya di tengah rumah kami, yang sudah pasti bukan buatan pabrik rumahan. Gorden tebal gelap yang dijahit tangan dengan benang emas di sudut2nya. Semuanya terpasang dengan sempurna tanpa ada terlihat satupun benang atau kabel kusut. Sofa super besar berwarna putih susu melingkar di tengah-tengah, mengundang siapapun yang lewat untuk mencobanya. Aku yakin seratus persen, sofa itu dibuat desainer khusus untuk istriku.
Di dinding di atas sofa tergantung lukisan terkenal karya Paul Cezanne, seorang seniman dari Perancis. Lukisan itu menggambarkan kenyamanan di dalam hutan untuk memgimbangi kekosongan ruangan keluarga kami. Bukan foto keluarga yang terpasang di tengah, melainkan sebuah lukisan. Aku tergelak dengan ironi itu. Konon lukisan itu didapat mertuaku dari ayahnya juga. Kalaupun ada foto-foto, ada pigura-pigura kecil di meja antik dekat sofa yang menggambarkan masa yang sudah lama sekali. Kalau aku duduk di sofa itu, aku bisa langsung memandang kolam renang pribadi kami di luar, yang hanya dipisahkan dengan pintu kaca besar yang bisa digeser.
Tidak ada satupun yang tampak salah atau tidak sesuai. Semuanya sempurna. Sama seperti istriku. Selalu tampak sempurna.
Semuanya berkualitas, rapi, mewah. Tidak ada yang terlihat berlebihan karena hal-hal mewah seperti ini hanyalah salah satu hal normal bagi kami yang hidup berkecukupan. Aroma kopi mendominasi dari semua yang tersaji disitu. Hening. Beginilah situasi di rumah kami.
Pagi ini hanya ada satu orang duduk disitu, yaitu aku. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Sudah saatnya aku berangkat ke kantor. Istriku masih berlatih yoga dengan pelatih pribadinya di ruang olahraga. Dan jujur saja, aku bukan penggemar olahraga individual. Aku lebih suka berolahraga dengan teman-temanku. Tapi aku tidak ingat kapan terakhir kali aku melakukannya. Selain tidak ada waktu. Aku seringkali merasa malu saat bertemu teman-temanku. Bukan malu karena keadaanku. Tapi lebih merasa malu karena memang tidak ada yang bisa kuceritakan saat bersama mereka. Saat aku ingin bercerita tentang hidupku, aku mendapatinya kosong seperti kaleng minuman yang telah habis diminum.
Tidak ada hal yang ingin kubagikan. Kosong.
Anak laki-laki kami satu-satunya, Mike, biasanya akan bangun terlambat karena main game hingga larut malam. Kami jarang berbicara satu sama lain. Dan aku yakin tidak ada yang saling peduli. Terakhir aku bertemu anakku yang sekarang berstatus pengangguran adalah minggu lalu saat aku menegurnya karena bermain game dengan ponselnya di meja makan.
"Mike, bagaimana sekolahmu?"
Dia hanya mengangguk pelan sambil menjawab "baik-baik saja. Ngga usah repot-repot tanya" jawabnya tanpa sedikit pun mengalihkan matanya dari layar ponselnya.
Hal ini sudah lama didiamkan pikirku. Sudah saatnya aku menegurnya dan bertindak sebagai seorang ayah. Sama seperti ayahku dulu mendisiplinkan anak-anaknya.
"Jangan begitu Mike, taruh dulu ponselnya kalau sedang di meja makan" emosiku mulai memuncak. Anak jaman sekarang baru ditanya sedikit sudah langsung tancap gas.
Tiba-tiba Mike bangkit dan berkata "Wah, ayah tumben peduli, apa hari ini ada waktu luang?"
"Jangan kasar begitu Mike. Bagaimanapun juga ayah kan selalu ayahmu. Ayah selalu ada waktu buat…"
Belum selesai aku mengucapkan kalimatku, Mike langsung menjawab "sudah simpan saja presentasinya untuk di kantor."
Setelah itu dia bangkit dari kursi dan meninggalkanku. Dia masuk ke dalam kamarnya dan aku mendengar suara pintu dibanting.
Amarahku memuncak dan timbul sebersit pikiran untuk menyusul anakku. Merampas ponselnya dan memukulnya atas sikapnya yang kurang ajar. Tapi aku menahan diriku, menggigit bibirku dan memukul meja makan tapi tidak cukup keras untuk membuatnya retak. Aku selalu bisa menahan diri. Menurutku diam dan menahan diri selalu menjadi kelebihanku.
Kalau teringat akan masa lalu ada secuil rasa penyesalan dalam hatiku. Aku sering bertanya apa yang salah. Aku bekerja di perusahaan yang ayah tinggalkan untukku yang juga adalah satu-satunya anaknya. Aku menikah dengan pewaris perusahaan yang sejajar dengan perusahaan kami. Istriku merupakan pilihanku dari beberapa kandidat "pilihan" ibuku. Saat perkenalan kami dimulai, aku terpaku pada kecantikan dan pembawaannya yang sempurna, yang hingga hari ini pun tidak lekang oleh waktu.
Sudah 18 tahun berlalu tapi hari-hari ini, aku semakin dalam terpaku pada masa laluku. Aku menganalisisnya secara realistis. Tidak ada kesalahan sedikit pun dalam langkah-langkahku. Namun kenapa yang ada sekarang adalah penyesalan?
Tidak ada satu hal pun yang kurang dalam hidupku. Istri yang cantik, pandai dan luar biasa. Anak yang mulai tumbuh dewasa. Anak kami memang tidak sempurna tapi aku berusaha tidak mendiktenya seperti yang ayahku dulu lakukan. Aku menyadari bahwa cara pendidikan seperti masa kecilku tidak lagi bisa diterapkan pada anak jaman sekarang.
Secara ekonomi pun, kami sangat jauh di atas rata-rata. Aku yakin sebagian besar orang menginginkan hidup yang seperti ini. Keluarga ideal. Begitu kata mereka.
Tapi ada satu kesalahan yang aku masih ingat. Satu kesalahan yang aku yakin adalah sumber dari segala penyesalan ini. Bercokol amat dalam dan aku mulai kesulitan untuk mengendalikannya. Aku mulai yakin kalau ketidakbahagiaan ini adalah akibat dari sikapku yang pengecut saat itu.
Aku memegang ponsel pintarku sambil membaca beberapa laporan yang baru saja dikirimkan tadi malam oleh beberapa staf di kantor. Isinya hanyalah grafik dan angka demi angka yang hampir tidak pernah berubah dari tahun ke tahun. Yang sebenarnya tidak perlu dibaca pun, mungkin aku sudah hafal.
Timbul sedikit pikiran geli dalam benakku. Apakah aku menggaji orang-orang ini untuk memberikan laporan konyol yang sama setiap tahunnya. Tidak ada yang bisa memberikan laporan yang lebih realistis untuk kelangsungan bisnis ini. Tidakkah mereka berpikir untuk lebih kritis lagi? Mungkin untuk melakukan perbaikan atau pengembangan? Aku mendesah sekali lagi. Yah memang tugasku adalah memimpin perusahaan. Bukannya aku keberatan akan hal itu. Dan seringkali menjadi pemimpin harus selalu dan selalu tidak pernah berhenti berada di depan.
Sejak masuk SMA, ayahku selalu mendengungkan hal yang sama berulang-ulang bahwa hidupku sudah digambarkan sesuai kehendak ayahku. Semua yang telah kuterima selama ini adalah pemberian cuma-cuma, dan ini adalah waktunya membayar segala yang telah diberikan padaku. Yah tidak ada masalah. Memang aku sudah tahu apapun yang telah digariskan ayahku, akan aku jalankan.
Semua orang yang melihatku akan berkata betapa mudah hidupku. Terlalu mudah. Tidak ada perjuangan yang berarti. Tidak ada air mata dan penyesalan. Tapi aku sering berkata dalam hatiku. Seandainya kalian berada diposisiku, apakah kalian bisa melaluinya? Tidak mudah bagiku melalui hari-hari bagaikan drama. Terlebih lagi setelah menjalaninya puluhan tahun. Drama ini terasa semakin berat saja.