Alna :
Pelajaran jam pertama belum di mulai, bisa dibilang 'tidak dimulai' karena guru yang mengajar hari ini libur dan secara otomatis jam kosong dimulai.
Sedari tadi aku hanya memperhatikan keadaan sekitar, tidak banyak yang aku lakukan, mungkin hanya sekedar mendengar beberapa lagu dari handphone-ku. Aku malas bergabung dengan Zahra juga Zrine, mereka sedang membaca buku lebih tepatnya belajar, aku tidak tertarik untuk belajar membuka buku saja sudah malas, kecuali novel tentunya.
Dua jam berlalu, bel tanda pergantian jam pelajaran berbunyi. Semua kaum dari bermacam-macam makhluk dan spesies mulai kembali pada habitat tempat tinggal mereka masing-masing. Aku mendengus kasar setelah mengeluarkan buku bertuliskan mata pelajaran 'Matematika' biasanya teman sekelas ku yang berasal dari jawa itu suka menyebut dengan mata pelajaran 'Matekmatekan' atau 'Matimatian', jujur saja aku mengakuinya sebagai salah satu alasan yang benar. Selain membuatku bingung karena harus berjuang melawan deretan tentara angka-angka, aku juga harus mati-matian untuk bertahan selama pelajaran ini berlangsung.
Tuk...tuk...tuk...tuk...
Suara langkah kaki dari sepatu yang menghantam lantai membuat seluruh kaum diseisi kelas membeku bagai berada dibawah guyuran badai salju. Aku menahan nafas sebelum akhirnya guru matematika kami masuk dan tepat saat mengucapkan salam pada kami seketika itu listrik di kelas kami benar-benar padam bagai ikut menyambut kedatangan monster yang sekarang sudah duduk diam ditempat yang disebut sebagai meja guru. Aku menggeram karena kepanasan, saat ku lihat AC yang tertempel didinding atas kelas kami semakin membuatku menggeram.
Mengapa disaat seperti ini harus mati lampu sih? Batinku.
"Baiklah anak-anak, bisa kumpulkan buku kalian di meja saya!" Titah bu Zety.
Dahiku mengerut. Jangan bilang kalau bu Zety meminta kami untuk...
"Ujian harian!" Lanjut bu Zety yang berhasil membuat mata seisi kelas melotot tanpa berkedip, kecuali Zahra, Zrine tentunya, juga Alfa yang kelewat santai.
"Tapi kita baru masuk bu, harus langsung ujian harian begitu?" Bryant mengelak mencari alasan.
"Tidak ada tawar-menawar, kalian pikir ini pasar yang bisa lakukan hal semacam ini, heh?" Dengan suara yang dingin menatap seisi kelas dengan tajam. Bryant jadi kikuk lantas menggaruk tengkuk yang tidak gatal.
"Sudah, Laksanakan sekarang!" Lanjut bu Zety lagi.
Aku menyerah, sekeras apapun kami menolak, bu Zety tetap pada pendiriannya. Aku hanya membuang nafas kasar, mulai mengerjakan soal di atas kertas yang dibagikan Zahra tadi.
10 menit berlalu. Aku mulai bosan mengerjakan soal-soal ini, berapa jam aku menatap papan tulis saat bu Zety menjelaskan semua rumus Matematika tidak akan pernah membuatku faham. Aku bingung, ditambah keadaan kelas yang begitu panas karena AC mati membuatku harus extra bersabar.
Aku kembali mengibaskan tanganku dengan menggenggam sebuah buku yang ku jadikan sebagai kipas agar aku tidak kepanasan, tapi tetap saja aku kesal. Hingga pada menit ke-20 listrik belum menyala, aku sudah merasakan berada di atas lautan api yang panas, rasanya ingin sekali aku melompat keluar dari jendela kelas di sampingku ini untuk mencari angin. Tapi otakku masih sehat, tidak mungkin aku harus melompat keluar jendela yang posisinya berada di lantai 3 dengan jarak 30 meter dari tanah. Aku kembali bersabar.
30 menit kemudian...
Ya Allah, kapan listriknya menyala kembali? Tanyaku dalam hati.
Entah mengapa atmosfer di kelas ini bertambah panas rasanya, waktu di bumi seakan dibuat lambat. Aku tidak tahan, aku bisa saja menggunakan kekuatanku untuk membuat angin sepoi-sepoi dikelas saat ini juga, tapi tidak mungkin juga aku harus membongkar rahasia yang selama ini ku jaga bertahun-tahun, apalagi aku sendirian harus menjaga rahasia ini. Aku kembali membuang napas kasar.
45 menit kemudian...
Entah karena apa? Tapi yang pasti juga karena hawa yang panas ini, dengan secara tidak sadar aku melepaskan kekuatanku.
"Hah, aku tidak tahan." Aku menggeram sembari menggebrak meja membuat semua pasang mata memandangku, tak berselang lama aku berdiri lantas mengarahkan kedua tanganku ke AC kelas yang mati dan dalam waktu sekejap AC kelas yang mati itu menyala.
Aku kembali duduk dan masih belum sadar telah melepas kekuatan. Aku bernapas lega setelah AC kelas itu menyala kembali, aku bisa mengerjakan ujian ini dengan santai. Tapi saat aku sedang ingin mengerjakan soal, Bryant berbisik kearahku, ku kira dia akan menanyakan jawaban dari soal-soal ini tapi ternyata tidak, pertanyaan yang ia lontarkan membuatku tersadar dari perbuatan yang baru saja ku lakukan.
"Bagaimana kau melakukannya tadi, Na? Itu keren sekali."
Deg...
Aku benar-benar tersadar sekarang, dasar bodoh! Kenapa kau melakukannya Alna? Sekarang mereka tahu, apa yang harus ku jawab sekarang? Tidak mungkin aku menjawab hanya kebetulan, karena aku tahu setiap aku melepaskan kekuatan ini pasti ada gemercik petir dengan cahaya kuning yang keluar, aku yakin mereka semua melihatnya.
"Hei, itu hebat sekali."
"Iya, apa itu tadi sebuah kekuatan, Na?"
Belum sempat aku menjawab semua pertanyaan mereka, bu Zety yang aku yakin melihat kejadian tadi juga ikut bertanya dan pertanyaan itu membuatku benar-benar linglung.
"Alna, apa benar tadi kau yang melakukannya?"
Ya Allah, bantu Alna sekarang! Do'aku dalam hati.
Aku ingin berteriak rasanya, tapi urung saat aku melihat Alfa, Zahra juga Zrine yang saling tatap lantas mengangguk bersamaan di detik selanjutnya. Aku tudak faham dengan kelakuan mereka, dalam keadaan seperti ini mereka malah tidak membantuku, sepertinya ada yang tidak beres.
Benar saja, dengan keadaan kelas yang masih riuh atas kejadian yang aku biat tadi, Alfa bangkit berdiri lantas menggerakkan tangan kanannya ke atas, seluruh isi ruangan diam. Tapi bukan itu yang Alfa lakukan sebenarnya, sembari memukulkan tangan kanannya yang terangkat ia juga berkata.
"Dinding bayangan!" Tepat setelah Alfa mengatakan itu, perlahan disekitar tempatku, juga ke empat sahabatku duduk dikelilingi sebuah dinding berwarna ungu yang membuat kami berlima tidak dapat terlihat dari luar dinding ini.
Aku menatap Alfa bingung. "Alfa, kau..." Perkataanku terpotong.
"Jangan bertanya, Na!" Jawab Alfa dengan nada dinginnya. Aku terdiam lantas Alfa melanjutkan pembicaraan. "Zahra lakukan!"
Aku menatap Zahra di bangku paling depan lebih tepatnya bangku di depanku, yang di tatap hanya mengangguk. Detik selanjutnya, Zahra melompat keluar jendela disampingnya dan dia tidak jatuh, tapi terbang.
"Kau bisa terbang juga rupanya? Hebatlah." Bisa-bisanya Bryant menyeletuk saat keadaan seperti ini.
Zahra terbang keatas bangunan sekolah, aku mengintipnya dari kaca jendela yang ku buka. Detik selanjutnya, Zahra berteriak kencang, mengangkat kedua tangannya, lantas mengarahkannya kencang ke gedung sekolah ini.
"GELEMBUNG GRAVITASI!"
Mataku membulat, juga Bryant yang mengintip di jendela samping bangku Zahra. Sebuah cahaya berwarna merah muda keluar dari tangan Zahra menyorot ke bangunan sekolah dan dalam waktu sekejap seluruh bangunan sekolah telah tertutup sempurna oleh gelembung gravitasi Zahra.
Dari atas Zahra berteriak kembali, meminta kami berempat untuk keluar.
"Bagaimana kita akan keluar?" Tanya Bryant merinding.
"Kita lompat lah." Alfa menggenggam tangan Bryant dan -Hap- mereka berdua lompat keluar dari jendela.
"AKU BELUM MAU MATI DULU!!!" Bryant berteriak.
Aku berseru tertahan melihat Alfa dan Bryant yang terjun bebas di bawah, tapi seruan tertahanku hilang dan berganti bernafas lega saat melihat Alfa melepas kembali kekuatannya, alhasil, mereka tidak jadi jatuh.
"Na!"
Eh, aku menatap Zahra dengan tatapan pertanyaan.
"Ayo keluar! Kasihan Zahra sudah menunggu."
"Eh, lompat maksud kau?"
"Apalagi?"
Tanpa persetujuan dariku, Zrine langsung menggenggam tanganku lantas ia melompat turun. Aku berteriak.
"ZRINE!!!"
Hanya tawa kecil yang aku dengar sebagai jawaban dari Zrine. Saat baru 2 meter kami terjun, aku menepuk jidat baru tersadar bahwa aku juga memiliki kekuatan yang dapat membuat benda lain melayang.
Benda lain bisa, pasti aku juga bisa mengendalikan untuk diriku sendiri, batinku.
Tepat saat setelah aku berfikir, aku mengangkat tangan kiriku ke atas lantas kembali ku turunkan kearah kakiku sembari berteriak.
"PUSARAN ANGIN!!!"
Angin bersiul kencang disekitarku lantas terbentuk tepat di kedua kakiku Aku tersentak. Hei, bagaimana bisa? Aku dan Zrine tidak dalam keadaan terjun bebas lagi sekarang, tapi terbang diatas pusaran angin yang ku buat karena ketidak sengajaan yang ku lakukan. Ini pertama kalinya aku bisa membuat diriku terbang, biasanya aku membuat benda-benda untuk terbang.
Kami selamat turun kebawah dengan bantuan angin yang berada di bawah kendaliku. Aku melenyapkan kekuatanku setelah kami berkumpul bersama Alfa dan Bryant di lapangan sekolah, Zrine juga melepas genggaman tangannya dari tanganku. Kami berempat berkumpul di lapangan sekolah sekarang, saat aku ingin bertanya pada Alfa dan Zrine, Zahra berteriak dari atas gedung sekolah membuatku menepuk jidat karena lupa masih ada Zahra yang melepas kekuatan di atas gedung sekolah.
"OI, ZRINE, LAKUKAN SEKARANG!!!"
Zrine mengangguk, lantas ia memasang kuda-kuda, menepuk telapak tangan kanannya keatas punggung tangan kirinya yang berada beberapa senti didepan dadanya, selanjutnya tangan kanannya tertarik ke atas sembari berputar kebelakang lantas telapak tangan kanannya ia tepukkan ke telapak tangan kirinya.
"Percepatan waktu!" Tepat saat Zrine mengatakan itu bersamaan dengan kedua tangannya yang mengarah ke gedung sekolah, ia melepas kekuatan yang aku tidak tahu apa kekuatannya. Cahaya kuning keluar dari tangannya lantas menyorot ke gedung sekolah yang terbalut gelembung gravitasi Zahra. Cahaya kuning itu merambat hingga menutupi seluruh gedung, terjadilah gradasi warna antara kuning dan merah muda.
Beberapa detik setelah cahaya kuning yang keluar dari tangan Zrine sebuah hal telah terjadi dihadapan kami, bel sekolah berdenting kencang, aku menatap jam tangan berwarna sky blue yang melingkar dipergelangan tanganku. Bel istirahat, bukankah baru saja memulai KBM kedua? Zahra melenyapkan kekuatannya, lantas terbang ke arah kami. Setelah kami berlima kumpul di lapangan sekolah, Zahra meminta kami pergi menuju kantin sekolah.
***
Awalnya aku heran saat sudah sampai di kantin sekarang, aku melihat sekitar kantin, menatap para murid yang berlalu-lalang di sekitar membuatku bingung, apalagi saat mataku bertemu pandang dengan salah satu teman sekelasku. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa mereka tidak ingat dengan kejadian tadi?
"Wah, hebat kalian berempat ini. Bagaimana kalian bisa melakukan semua itu, hah? Pasti kalian dari dunia lain kan, dunia yang di isi dengan para pemilik kekuatan. Atau itu adalah sebuah sihir ?" Bryant yang datang setelah selesai memesan makanan menyeletuk sembari membawa pesanan makanan kami.
"Diamlah!" Suara dingin Alfa berhasil membuat Bryant diam.
5 menit berlalu, dan hanya ada suara dentingan sendok dan garpu yang tersenggol dari masing-masing piring kami. Aku memutuskan bertanya, bodo amat dengan jawaban Alfa, aku tetap ingin bertanya juga.
"Aku boleh tanya sesuatu tidak?"
Zahra dan Zrine menatapku sekilas sebelum akhirnya mereka mengangguk. Alfa hanya menatapku tajam, lantas membuang napas kasar.
"Kalian juga punya kekuatan itu sejak dulu?"
Alfa berdeham keras membuatku kikuk, tapi aku penasaran.
"Kami akan jelaskan, tapi tidak disini tempatnya." Zahra memberi kode padaku. Aku mengangguk.
***
Sesuai perjanjian Zahra, kami berlima mengikuti arahan dari Zahra. Setelah pulang sekolah Zahra meminta kami berempat untuk berkumpul di suatu tempat, entah apa dan dimana? Aku tidak tahu.
Untung saja aku sudah memberi kabar pada Mama jika aku akan pulang terlambat hari ini, agar Mama tidak khawatir jika aku tidak pulang, bisa bahaya nanti jadinya.
"Oi, kita mau kemana sebenarnya?" Bryant kembali bertanya.
Sebenarnya aku juga ingin bertanya pada Zahra, tapi karena dia sedang turun ke lantai 1 gedung, mengambil sesuatu katanya. Tapi jika aku bertanya pada Zrine atau Alfa, apa mereka mau mendengarkan aku? Sudahlah, nanti juga tahu. Tapi ini sudah 5 menit kami menunggu Zahra tidak kembali dari lantai 1 gedung.
"Aku susul Zahra dulu ya?" Aku mulai beranjak turun kebawah sebelum akhirnya sebuah seruan menghentikan langkahku.
"Tidak perlu!" Jeda dua detik. "Ayo, kita ke perpustakaan!"
Aku kembali naik ke atas lantas mengikuti keempat sahabatku dibalik punggung mereka yang berjalan menuju perpustakaan sekolah. Butuh beberapa detik kami sampai di perpustakaan yang terletak di lantai 5 gedung dengan entah berapa meter jaraknya dari tanah.
"Mengapa gedung sekolah ini tidak membangun lift saja? Sekolah ini terlalu besar untuk dinaiki." Bryant yang kelelahan setelah menaiki beberapa anak tangga dari lantai 3-5 mencomot sembarang topik untuk menghilangkan keheningan di antara kita berlima.
Kami tiba di depan pintu ruang perpustakaan sekolah, Zahra mengambil sesuatu dari saku baju seragam sekolahnya lantas ia menempelkan sebuah benda kotak dengan panjang 10 centimeter dan lebar 5 centimeter di bagian tengah pintu perpustakaan. Apa itu benda yang Zahra ambil dari lantai 1 gedung? Untuk apa benda itu di tempelkan seperti itu?
Belum sempat pertanyaan yang melintas di dalam kepalaku ini terjawab, aku dibuat bingung lagi dengan ruangan perpustakaan sekolah yang berubah drastis saat pintu itu terbuka. kami berlima memasuki runangan itu.
Aku menatap ruangan perpustakaan ini dengan takjub. Lantai yang ku pijak terbuat dari batu pualam yang bercahaya, sebuah meja bundar yang dikelilingi 5 bangku dengan teknologi canggih yang tidak pernah aku lihat. Disamping kanan ruangan ada beberapa layar hologram yang terbentuk seperti komputer, tidak hanya satu tapi banyak yang terdiri dari 4 kotak di atas sisanya dibawah ada 3 kotak hologram yang terbentuk. Sedangkan di sebelah kiri ruangan, ada sebuah kotak besar yang sisi-sisinya terbuat seperti cermin pada umumnya, tapi aku tidak tahu isi kotak besar itu. Selain itu ada sebuah hologram berbentuk kotak seperti layar bioskop yang berada di sisi bagian depan ruangan.
Seluruh teknologi yang ada di ruangan ini begitu canggih, tidak ada teknologi secanggih ini, mutakhir sekali untuk diciptakan manusia, batinku.
Kami berlima duduk dibangku yang sudah tersedia yang memutari meja bundar, posisiku di tengah tepat menghadap hologram besar di depan, di sebelah kananku ada Zahra dan Alfa, dan yang di sebelah kiriku ada Zrine dan Bryant. Setelah Zahra menutup kembali pintu ruangan ini kami memulai pembicaraan serius yang kukira hanya pembicaraan antar kami berlima ternyata tidak.
Klik...
Sebuah suara menyadarkan aku dari sebuah konsentrasi yang sedang menatap meja bundar di depanku.
"Bam bam baram bam bam bam baram! (Selamat bertemu kembali anak-anak!)" Sebuah suara dengan nada serak menyapa kami.
Aku hanya mengerutkan dahi, tidak mengerti bahasa yang di gunakan. Bahasa negara mana lagi ini? Tanyaku dalam hati.
Aku memperhatikan hologram besar di depan, bertanya-tanya. Bryant yang biasanya sering berceloteh saja sekarang benar-benar fokus dan diam memperhatikan orang yang berada dalam hologram besar didepan. Aku menatapnya aneh, kepala kotak dengan kulit yang berwarna ungu. Mana ada manusia seperti itu, tapi jika bukan manusia, apalagi?
"Baram bam bam bam baram baram bam bam bam bam. (Siap komandan, kami berhasil menemukan seseorang yang di cari oleh Galaksi Andromeda selama ini, komandan.)" Jawab Alfa yang tidak aku tahu artinya.
Lagi lagi aku hanya bisa bertanya dalam hati. Bagaimana Alfa tahu dia bicara apa?
"Baram bam bam! (Bisa kalian buktikan!)" Kali ini aku diam tak menggubris percakapan aneh mereka.
Zahra, Zrine juga Alfa menatapku yang hanya kubalas dengan tatapan tidak mengerti. Bahkan Bryant juga ikut menatapku tidak mengerti. Detik selanjutnya, entah apa yang terjadi. Ada sebuah cahaya terang yang menyelimuti tubuh kami masing-masing dan sekejap kemudian -Splash- kami sudah berada ditempat lain. Kami memang tetap berada dalam posisi duduk, bedanya meja bundar ini terlihat lebih besar juga ruangan yang lebih luas, canggih dan seluruh benda berteknologi mutakhir pun ada disini dan kini sudah ada si kepala kotak yang muncul di hologram perpustakaan yang sedang menatapku penuh selidik di tempatnya. Tidak hanya si kepala kotak saja sekarang yang disini, ada orang dengan perawakan tinggi, gagah besar juga orang dengan baju robot warna merah duduk di meja bundar ini.
Apa yang dia lihat dari diriku? Batinku.
1 menit...
2 menit...
Skip, 5 menit...
"Baram baram bam bam (Memang benar dia orangnya.)" Kata orang yang di panggil 'komandan' ini pada Zahra, Zrine dan Alfa. Ia kembali melanjutkan perkataannya, "Baram bam bam? (Apa kau Alisa Alna?)"
Setelah Zahra membisikkan pertanyaan komandan kotak ini aku baru mengerti. Sebagai jawaban aku mengangguk. Aku menatap ketiga sahabatku ini penuh dengan tanda tanya besar, tapi semua tatapan itu musnah saat tiba-tiba saja aku merasakan ada sesuatu yang menarikku hingga membuatku tersentak beberapa saat.
Aku hanya pasrah lantas tarikan yang menarikku hilang kini aku berada di sebuah ruangan yang tidak tahu apa namanya, dan semua kebingunganku hilang digantikan dengan sebuah kepalan tangan besi yang berukuran besar yang aku lihat dari arah depan sedang menuju tempat ku berdiri sekarang.
Eh, benda itu ingin menyerangku begitu?Kemana perginya semua orang tadi? Tanyaku.
Aku menggeram, ini bukan saatnya untuk bertanya. Kepalan tangan benda di depanku ini pasti bukan terbuat dari besi biasa yang di dapat dipukul sekali dengan palu langsung penyok, pasti langsung remuk tulangku juga terkena hantaman kepalan tangan besi itu. Kalau aku ingin selamat, itu artinya aku harus melawan.
Tepat saat kepalan tangan besi itu berada di depanku. Aku berteriak kencang sembari melompat, tangan kananku terkepal mengarahkannya ke kepalan tangan besi itu.
"PUKULAN TANAH!!!" Adu tinju terjadi.
3 detik -BUM- kepalan tangan besi yang berukuran besar itu hancur berkeping-keping membuat ruangan ini kotor dengan sisa-sisa kepingan besi ini. Aku bukan petarung seperti para Superhero di film, tapi walaupun begitu, aku sedikit tahu tentang ilmu beladiri. Aku pernah mempelajari ilmu beladiri sejak kecil di sebuah perguruan. Dan tentunya ini pertama kali aku meng-kolaborasi-kan ilmu beladiri dengan melepaskan kekuatan sekaligus, bukan hal mudah melakukannya, ilmu beladiri yang aku tahu cukup membantu saat melepaskan kekuatan.
Aku kembali bertanya pada batinku sendiri, Kemana orang-orang tadi sebenarnya? Kenapa aku dibawa ke tempat sialan ini?
Lagi-lagi aku telat bertanya, di sekitarku bahkan sudah ada puluhan -bahkan ribuan- senjata pertarungan yang sekarang sempurna sudah melayang ke arahku dengan memperlihatkan ujung mata pisaunya yang tajam, kapak besar, rantai besi mematikan. Aku bergidik ngeri, tapi jika aku berlari menghindar pun sama saja, serangan itu muncul dari segala sisi. Aku menarik napas lantas membuangnya perlahan. Baiklah, aku akan lawan.
Aku menggeram lantas kembali berteriak kecang melepas kekuatan, "PUSARAN ANGIN!!!" Tepat aku melepas kekuatan, suara riuh angin terbentuk mengelilingiku, senjata-senjata itu tak berhasil melewati pertahananku.
Beberapa detik kemudian aku melenyapkan kekuatanku membuat angin yang menutupi tubuhku menghilang. Aku melihat sekitar ruangan yang lagi-lagi kotor berserakan banyak senjata yang jatuh.
***
"Hebat." Puji seorang pria berbaju robot berwarna merah yang sedang menatap layar hologram yang tersambung dengan ruangan latihan tempur Station Three.P.S.
"Aku tidak percaya kalian bisa menemukannya. Empat belas tahun aku menghilang dari kehidupannya, sekarang aku kembali ke dalam kehidupannya lagi." Lanjut pria berbaju merah -baju robot warna merah- itu dengan senang.
"Lantas, mengapa Kapten Kesar tidak menemuinya?" Tanya komandan berkepala kotak.
"Belum saatnya lagi, biarkan kakak-kakaknya yang akan menemuinya, tapi tetap dalam misi penyamaran." Jawab pria berbaju merah yang di panggil 'Kapten Besar' itu.
Mereka kembali menatap layar hologram di depan mereka.
***
Alna :
Aku kembali menggeram saat ada beberapa orang aneh dengan kulit berwarna-warni juga rambut yang seperti pel-pelan, mereka merangsek maju menyerangku. Aku kembali memasang kuda-kuda untuk yang ketiga kalinya karena serangan dari ruangan sial ini.
"Huh!" Jeda tiga detik aku kembali berteriak, "SAMBARAN PETIR!!!"
Kedua tanganku kuarahkan ke beberapa orang aneh di depanku yang mencoba untuk menyerangku. Beberapa detik aku melepaskan kekuatan ke arah mereka membuat mereka satu persatu tumbang tidak tahan dengan sambaran petir yang ku luncurkan, beberapa dari mereka juga merintih menahan sakit yang mereka rasakan akibat dari seranganku.
Aku kembali membuang napas kasar sembari rukuk memegangi kedua lututku. Baru tiga kali aku melepas kekuatan saja sudah lelah seperti ini, bagaimana kalau nanti ada musuh yang lebih kuat? Habis sudah tenagaku terkuras.
Sssing...
Eh, aku mencari sumber suara desingan yang aku dengar barusan, rasanya seperti berasal dari ruangan ini, tapi saat aku menatap sekitar ruangan tidak ada sesuatu yang ganjal terjadi di dinding putih bersih ini -eh- aku baru sadar bahwa ruangan ini berbentuk kotak dengan dinding batu pualam kwalitas tertinggi yang berteknologi canggih. Aku berseru, aku ada dimana sekarang itu tak perlu tau lagi, aku senang bisa melihat teknologi se-canggih dan se-mutakhir ini.
"ALNA!!!"
Aku tersentak kaget melihat keempat sahabatku sudah berada di depanku sekarang dengan teriakan Zahra dan Zrine yang membuat jantungku serasa ingin lompat dari tempatnya, tak lupa juga dengan komandan kotak. Mereka datang dengan seseorang yang berbadan tinggi juga gagah besar, dan orang berbaju robot tadi.
Tanpa memperhatikan mereka, aku bertanya pada Zahra dan Zrine di depanku. "Sebenarnya ini ada apa? Mengapa kalian membawaku ke tempat sialan ini, heh?"
"Oi, aku yang sedari tadi bertanya saja sampai pegal mulutku untuk melontarkan pertanyaan yang tidak satupun terjawab oleh mereka." Bryant yang berada di belakang Zrine pun menjawab petanyaanku.
"Sudah, Kita lanjutkan di ruang pertemuan nanti!" Komandan itu kembali berseru yang tidak ku ketahu apa arti dari seruannya. Tapi semua orang berjalan mengikutinya.
"Alna, Neem een pauze! U moet wel moe zijn. (Alna, beristirahatlah sejenak! Kau pasti lelah.)"
Eh, itu suara siapa? Apa barusan seseorang dengan baju robot ini yang berbicara padaku? Mengapa aku seperti mengetahui bahasa yang ia gunakan saat berbicara padaku?
***
Ruangan luas nan canggih itu sedikit lenggang walaupun meja bundar itu terisi penuh. Setelah selesai istirahat beberapa menit, Alna sedari tadi hanya diam membisu, banyak sekali pertanyaan yang melintas di kepalanya yang sedang terfikirkan sekarang. Kalau saja dia bukan berada disini sekarang, sudah dari awal seluruh pertanyaan yang ia pendam itu meledak, tapi sayangnya sekarang ia berada di tempat asing entah-berantah.
"Na!" Zrine memanggil Alna, sang empu menoleh kearahnya.
Zrine mengulurkan sebuah benda tabung kecil seperti anting pada umumnya, "Pakai ini. Tempelkan saja dibelakang daun telinga kau, Na!"
Alna hanya mengangguk mengikuti arahan Zrine. Ia mulai mengarahkan tangannya ke belakang daun telinga yang ikut terbalut dengan kerudung putihnya, setelah ia rasa posisinya benar, ia menempelkan tabung kecil itu dibelakang daun telinganya.
Zrine kembali menatap Alna, dari tatapan Zrine ia tau jika Zrine sedang bertanya padanya. Sebagai jawaban, Alna hanya mengangguk.
"Perkenalkan, nama saya Ma Goma, komandan Ma Goma."
Alna celingukan sembari bertanya-tanya, Apa alat yang di berikan Zrine adalah alat penerjemah? Pantas aku bisa mengerti bahasa komandan Ma Goma ini, Mungkin itu yang sedang ia tanyakan sekarang.
"Alna! Apa aku boleh menanyakan sesuatu padamu nak?" Orang dengan baju robot merah itu bertanya.
Alna mengangguk. Kali ini ia tidak kebingungan, ia tahu apa yang di katakan ditambah ia juga sudah menggunakan alat penerjemah di telinganya, orang berbaju robot merah ini mengajaknya bicara tetap menggunakan bahasa yang digunakan saat memintanya untuk istirahat setelah kembali dari ruangan kotak putih tadi.
"Sebelumnya, perkenalkan aku kapten besar pasukan Three P.S pemegang pangkat station tingkat atas dan ini laksamana Mar Boha," Orang berbaju robot merah itu memperkenalkan diri dahulu juga mengenalkan orang dengan tubuh tinggi, gagah besar yang duduk di deretan meja kanan, setelahnya ia mulai membicarakan topik utama, "Mungkin kau terlalu kecil untuk mengetahuinya, tapi ini adalah jati dirimu. Apa kamu memiliki orangtua?"
Alna hanya mengagguk, ia seperti orang asing di sini, bahkan dengan keempat sahabatnya itu pun terasa canggung sekali.
Kapten besar kembali bertanya setelah melihat Alna mengangguk, "Sejak kapan kau memiliki semua kekuatan itu?"
Alna menatap kapten besar dengan ragu, entah menjawab atau harus diam, selama ini kekuatannya adalah privasi besar untuknya.
"Kau tidak perlu takut untuk menjawab nak, jawab saja apa yang kau tahu!" Laksamana Mar Boha meminta.
***
Alna :
Aduh, kenapa jadi seperti ini? Harusnya aku tidak ikut penasaran dengan kejadian yang menimpa sahabatku itu, kalau saja Bryant tidak penasaran dan bertanya mungkin aku juga tidak akan penasaran dan sampai ke tempat entah-berantah ini.
Setelah aku keluar dari ruangan kotak putih itu, aku dikumpulkan kembali dengan keempat sahabatku di meja bundar bersama dengan Komandan Ma Goma, Kapten Besar, juga Laksamana Mar Boha -aku tahu nama mereka setelah mengenalkan namanya padaku. Sedari tadi aku hanya diam membisu tanpa suara sedikitpun karena rasa canggung yang membuatku kaku, bahkan dengan keempat sahabatku juga rasanya seperti asing.
"Ceritakan saja nak!" Titah Laksamana Mar Boha lagi. Sudah ketiga kalinya Laksamana memintaku untuk bercerita mengenai kekuatan yang kumiliki.
1 menit berlalu. Mungkin memang ini sudah saatnya aku mengatakan semuanya, sudah saatnya dunia harus tahu semua apa yang aku rasakan. Ya, aku harus mengatakannya. Aku mulai mengambil nafas, mulai bercerita.
"Aku memiliki kekuatan ini sejak kecil," Seluruh pasang mata diruangan ini menatapku dengan tatapan yang aku tidak mengerti, sebelum ada yang bertanya ataupun berbicara aku lebih dulu melanjutkan kalimatku, "Aku tidak tahu asal dari kekuatan itu, tapi aku memilikinya. Dulu aku sering menggunakan kekuatan itu saat bermain dengan teman-teman masa kecilku, mungkin termasuk Zahra." Aku menatap Zahra sekilas begitu juga dengannya lantas kembali menunduk dan melanjutkan kalimatku.
"Seiring berjalannya waktu, aku tahu jika kekuatan yang aku miliki bukan hal biasa yang dimiliki orang lain, jadi aku memutuskan untuk merahasiakan kekuatan yang ku miliki, bahkan hingga sekarang aku masih tidak mengerti dari mana asal kekuatan yang aku miliki." Aku menatap Kapten Besar.
Kapten Besar menatapku lamat-lamat, detik selanjutnya ia tersenyum hangat. Aku merasakan senyuman itu, seperti merasa pernah dekat sekali dengannya, tapi tidak mungkin. Ku buang semua fikiran itu, aku kembali menunduk.
"Aku mengerti maksudmu nak, aku juga tahu kamu menyimpan satu rahasia lagi bukan?" Aku menatap Kapten Besar tidak mengerti, aku tidak menyembunyikan rahasia lagi selain itu.
"Kau tahu apa ini?" Laksamana Mar Boha menekan hologram yang tersambung ke meja bundar di depannya, Laksamana Mar Boha mengirim sebuah file di hologram meja bundar tepat di depanku.
Aku tersentak. Sebuah benda bulat berwarna biru kristal tergambar dalam hologram di depanku, aku tahu benda itu, sudah lama aku menyimpannya tapi aku tidak tahu isi dari benda itu, bahkan aku sama sekali tidak pernah menyentuhnya.
"Bukankah benda itu masuk dalam kategori privasi mengenai dirimu? Orangtuamu bahkan tidak mengetahuinya bukan?" Dua pertanyaan sekaligus terlontar dari mulut Laksamana Mar Boha membuatku kebingungan dengan jawaban yang harus ku berikan.
"Aku tidak mengetahui benda itu Laksamana, sungguh." Jawabku jujur.
"Tapi kau menyimpan benda itu, dan apa kau tahu benda yang kau simpan itu apa?" Aku kembali menggeleng.
Laksamana Mar Boha menatap Kapten Besar juga Komandan Ma Goma, begitu juga mereka yang saling balas menatap setelahnya mereka kompak saling mengangguk.
Kapten Besar kembali menatapku, "Aku tahu ini berat untukmu Alna, tapi kau harus mencari kebenarannya. Maaf jika aku harus mengatakannya," Kapten Besar menghela napas panjang lantas membuangnya lembut, "Bola kristal itu adalah Power Sphera yang menjadi suatu hal yang harus kau jaga dan kau lindungi, karena semua kekuatan yang kau miliki tersambung padanya. Dan satu lagi nak, kau bukan anak kandung dari kedua orangtuamu di Bumi, jati dirimu bukan berasal dari sana."
Deg...
Atmosfer diruangan ini seperti dingin sekali hingga tubuhku serasa matirasa membeku sekarang. Dadaku sesak menerima semua pernyataan yang kudengar dari orang yang bahkan aku baru mengenalnya.
Mereka bukan orangtuamu, benarkah?
Tapi bukankah selama ini mereka memberiku apa yang aku butuhkan? Mereka yang selama ini merawat dan menjagaku, selalu melindungiku dari segala bahaya, kasih sayang dari mereka berikan bahkan tak pernah terhenti untuk membuaiku. Tidak mungkin jika mereka bukan orangtua kandungku.
Mataku mulai panas, entah sejak kapan aku lemah hanya mendengar kalimat yang belum tertu kebanarannya. Detik selanjutnya, aku mulai menangis sembari bertanya banyak hal pada diriku. Aku tidak sanggup, tapi aku tidak bisa percaya begitu saja dengan mereka, aku tidak mengenal mereka untuk apa aku percaya pada orang yang baru saja aku kenal.
"Kalian bohong, bohong denganku kan?" Tuduhku sembari mengusap air mata yang terus mengalir. Aku bahkan merutuki diriku yang tiba-tiba saja bisa lemah di depan orang-orang yang tidak ku kenal.
Zahra dan Zrine mendekat mendekapku, Bryant yang tidak mengerti apa yang terjadi pun ikut terkejut dengan kejadian yang menimpaku.
"Zahra, mereka bohong kan?" Tanyaku di pelukan Zahra.
"Tidak, Na. Maaf!" Aku melepas pelukanku dari Zahra, menatap Zrine tajam yang ditatap hanya menunduk.
"Apa kau juga akan mengatakan 'tidak' padaku, Ra?" Aku kembali menatap Zahra meminta jawaban.
"Iya, Na, percaya pada kami! Mereka bukan orangtua kandungmu, aku lebih dari tahu disini, karena kau teman masa kecilku dan aku tahu kau bukan berasal dari Planet Bumi, Na" Aku mematung mendengar jawaban Zahra.
"Biarkan kami menjelaskan semuanya padamu! Tapi ini bukan saatnya untuk menjelaskannya sekarang, waktu di Planet Bumi tepatnya di kota kita sudah larut malam, kasihan Mamamu menunggu, Na," jeda dua detik, "Besok lusa kami akan ambil izin sekolah untuk kembali ke tempat ini, kau mau tahu semua jawabannya bukan?" Aku hanya bisa mengangguk pasrah dan menerima permintaan Zahra. Aku kembali menatap Zahra, iris bolamatanya yang berwarna merah muda itu bersinar terang, seperti ada sesuatu yang menenangkanku.
Setelah semua kembali dengan tenang. Komandan Ma Goma meminta kami berlima kembali ke ruangan perpustakaan atau mereka menyebutnya dengan markas pasukan 1 di Planet Bumi. Tempat awal saat sebelum kami berada di ruangan lain bersama Kapten Besar, Laksamana Mar Boha dan Komandan Ma Goma.
"Pulanglah kalian! Dan lusa kalian akan kembali ke Station Three P.S lagi." Titah komandan Ma Goma yang diangguki Alfa, Zahra juga Zrine.
"Sebelum kembali aku boleh tanya satu hal?" Alfa yang sedang mengotak-atik hologram meja di depannya berhenti, menatap Bryant sembari membuang napas kesal.
Tiga orang baru yang baru kukenal itu tidak marah, mereka mengangguk, mempersilakan Bryant bertanya.
"Sebenarnya ini tempat apa? Apa ada galaksi lain kah selain Galaksi Bima Sakti?"
Kapten Besar tertawa kecil. "Ini adalah Satiton Tree P.S Luar Angkasa dan tentu ada Galaksi lain selain Galaksi Bima Sakti. Tapi aku akan menjelaskannya dilain waktu."
Bryant mengangguk. Kembali diam tanpa suara. Alfa kembali mengutak-atik hologram di depannya. Aku hanya diam memperhatikan, efek badmood karena pernyataan yang menyedihkan membuatku jadi tidak selera memikirkan sesuatu atau melakukan apapun. Bahkan aku tidak sadar jika sudah kembali ke ruang perpustakaan.
***
"Kau baik-baik saja, Na?" Tanya Zrine khawatir. Sebagai jawaban aku hanya menggeleng pelan lantas keluar segera pulang. Zrine ingin mengejar, tapi tertahan oleh Zahra.
"Aku bersamanya. Tenanglah!"
Aku kembali pulang bersama Zahra, tidak ada perbincangan diantara kami, rasanya canggung sekali, bahkan hanya untuk menatap pun sulit.
"Na, maaf!" Suara panggilan Zahra membuatku menatapnya.
"Untuk apa?" Aku kembali menunduk.
"Apa yang mereka katakan benar, aku mempercayai mereka karena itu memang benar kenyataannya." Jeda dua detik, "Aku berharap kau bisa mengatakan semuanya pada orangtuamu, Na. Hanya mereka yang dapat membuatmu percaya."
Aku membuang napas kasar mendengar kalimat yang Zahra ucapkan, itu menjadi perbincangan akhir kami sebelum kami sampai di rumah kami. Kami kembali masuk kerumah masing-masing. Dengan wajah lesu aku menekan bel rumah di sebelah gerbang utama rumah dengan perasaan yang gentar.
Beberapa detik kemudian, gerbang rumahku terbuka memperlihatkan isi di balik gerbang besar ini. Rumah besar ratusan meter dengan dinding bercat putih terlihat di depanku, terdapat belasan hektar sebuah taman yang menjadi pembuka rumah ini, air mancur yang menari indah dengan lampu warna-warni menyala sebagai penambah keindahannya di tengah taman rumah, beberapa hutan buatan terbuat di sekitar sisi bagian kanan dan kiri tak lupa dengan bunga-bunga yang cantik bermekaran di taman.
Aku tersenyum miring, tidak mungkin aku bukan anak kandung dari keluarga ini, mereka saja tidak pernah merahasiakan sesuatu padaku, tapi bisa jadi jika mereka memang bukan orangtua kandungku, ada rahasia yang mereka sembunyikan tanpa sepengetahuanku. Aku kembali melangkah masuk setelah diam di depan gerbang yang terbuka, gerbang dibelakangku kembali tertutup otomatis saat aku telah melewatinya. Aku berjalan gontai sembari menahan nyeri di kepala menuju rumah besar di balik gerbang utama tadi, mungkin bisa dibilang rumah ini paling besar dari seluruh rumah di lokasi perumahan yang aku tempati.
Tok...tok...tok...
"Assalamu'alaikum!" Suaraku lirih terdengar, bahkan seperti habis ditelan hembusan angin yang lewat.
Pintu besar berbahan kayu jati dengan ukiran indah di depanku perlahan terbuka, menampakkan dua sosok yang sangat aku sayang.
"Sayang, kamu darimana saja? Selarut ini kamu pulang nak, Mama khawatir sama kamu, tadi kamu bilang cuma sebentar. Tapi ini sudah larut malam." Mama menangis sembari memelukku erat, seperti tidak bertemu bertahun-tahun, tapi itulah Mamaku, selalu khawatir untuk melepaskanku.
"Alna dari sekolah kok Ma."
"Matamu sembab, kerudung sama seragam kamu berantakan, kamu bilang dari sekolah." Kata Mama yang ingin membuatku menangis.
Sekhawatir ini Mama terhadapku? Bagaimana aku dapat mengatakan jika mereka bukan orangtua kandungku? Batinku.
"Alna sayang sama Mama dan Papa." Kataku lirih menahan nyeri yang semakin terasa sakit.
Mama kembali menangis kali ini tidak memelukku, hanya menunduk begitu juga dengan Papa. Aku ingin bertanya pada mereka, tapi tiba-tiba saja kepalaku semakin sakit, aku hanya sempat memanggil sebutan mereka sebelum akhirnya gelap menyergapku.
"Ma..." Pandanganku sempurna gelap.
Buk...
***
Ruangan meja bundar yang di isi dengan Kapten Besar dan juga ke tujuh anak kembar -sebenarnya kakak-adik jauh, tapi memang wajah mereka yang 99% mirip- Kapten Besar tampak lenggang setelah kembalinya kelima sahabat tadi. beberapa saat ruangan itu hening dan hanya menyisakan suara helaan napas mereka masing-masing sebelum akhirnya Kapten Besar berbicara.
"Kalian semua sudah mengerti apa tugas kalian?" Ketujuh anak kembarnya mengangguk.
"Kenapa ayah tidak memberitahu langsung kepada Alna?" Tanya pemuda lelaki berkaos putih tanpa lengan yang juga di lapisi jaket merah tanpa lengan.
"Kita tidak bisa terburu-buru, atau Dame Devin akan tahu bahwa kita masih hidup, Api." Pemuda yang dipanggil 'Api' menghela napas panjang mendengar jawaban ayahnya.
"Tapi, bagaimana jika bibi Dame mengenali Alna, Ayah?" Giliran pemuda berkaos putih yang dibalut rompi putih keemasan dengan lengan yang terlipat di atas siku, juga sarung tangan putihnya bertanya.
"Sotoi! Toh, kita saja tidak tahu siapa Alna, apalagi bibi." Celetuk dari pemuda yang menggunakan kaos putih dengan jaket tebal berlengan panjang berwarna aqua blue.
"Hei, kak Air, yang tenang tapi menghanyutkan, kalau itu benar terjadi bagaimana?" Ledeknya pada pemuda yang ia Panggil dengan sebutan 'kak Air' itu.
"Itu tidak akan terjadi, Cahaya. Jangan bicara yang tidak-tidak! Benar apa kata, Air." Sahut pemuda berkaos putih dengan rompi biru tua berlengan pendek.
"Tapi aku hanya ingin memastikan, kak Angin, kalau dia selamat, apa salahnya?" Pemuda yang dipanggil 'Cahaya' itu kembali berseru.
"Kalian jangan memperumit masalah! Apa susahnya sih untuk mengikuti strategi yang, Ayah, beri?" Api menengahi perdebatan dengan rasa kesal.
Kapten Besar hanya diam memperhatikan ketiga anaknya yang berdebat sembari menahan tawa mendengar kalimat khas ala anak Planet Bumi yang dikatakan oleh anaknya yang memakai kaos putih dengan jaket tebal berwarna aqua blue, atau biasa di panggil Air.
Beberapa menit Cahaya, Angin dan Api saling berdebat dengan pendapat mereka masing-masing dan sedari tadi juga hanya pemuda berkaos putih lengan pendek dengan rompi hijau daun tanpa lengan yang diam tanpa suara, juga bingung menatap ketiga kembarannya yang berdebat, hingga seruan keras dari pemuda berkaos putih yang terbalut jaket kuning dengan lengan panjang yang di tekuk hingga di bawah siku menghentikan perdebatan mereka.
"CUKUP!!!"
Ruangan yang ramai dengan perdebatan antara tiga kakak-beradik itu hilang seakan terbawa angin. Ketiganya kini menunduk takut mendengar seruan kakak sulung mereka yang di kenal sangat dingin, cuek, seperti es batu di kutub Utara.
"Mengganggu saja." Seru pemuda dingin itu lagi pada ketiga adiknya yang berdebat tadi.
"Maaf, kak Petir!" Angin, Api dan Cahaya kompak mengatakan kalimat itu.
Pemuda yang dipanggil dengan sebutan 'Petir' itu hanya mendengus kasar lantas kembali diam. Kapten Besar yang memperhatikan Angin, Api dan Cahaya hanya menggeleng pelan.
"Petir, sudahlah! Angin, Tanah, Api, Air, Daun dan Cahaya laksanakan tugas yang Ayah beri dengan baik!" Kapten Besar memerintahkan ketujuh anak kembarnya untuk melaksanakan tugas.
"Tugas apa, Ayah?" Dengan polosnya pemuda yang memakai kaos putih lengan pendek berompi hijau daun tanpa lengan bertanya, membuat Kapten Besar tertawa.
Cahaya disebelahnya menepuk jidat, "Kak Daun hijau yang rimbun, udah ya sesi pertanyaannya! Nanti, Cahaya aja yang jelasin ya!"
"Kenapa?"
"Nanti kalau ada kilat kuning nyambar gimana? Udah kesel banget keknya tuh."
"Mau gua setrum lo semua sekarang, heh?" Cahaya tersentak kaget mendengar seruan Petir.
"Kak Petir, kenapa sih?" Daun kembali bertanya.
Petir hanya mendengus sebal dengan adiknya yang polosnya minta ampun dan adiknya yang kelewat pintar darinya, tapi sayangnya saja sombong.
"Daun, udah napa! Untung gak jadi di setrum. Ntar kalo jadi gledek merah kan bahaya." Angin yang kesal dengan kepolosan adiknya itu ikut nyeletuk sembarang.
Zzztt.....
Kelima adik Petir terkejut dan menatapnya takut kecuali si Air tukang tidur dan malas menanggapi situasi hanya diam dalam mimpi indahnya. Kini Petir sudah menaikkan tingkat kekuatannya ke tahap 2, pakaian yang ia gunakan juga berubah menjadi kaos merah dengan jaket hitam-hitam ditambah corak petir merah pekat, membuat kelima adiknya itu seketika terpaku.
"Tuh kan, Angin bilang apa tadi?" Angin menatap Petir yang duduk di sebelahnya dengan gemetar.
"Mau gua samber sekarang juga kalian semua, hah?" Seru Petir.
"Kak, boleh nawar gak?" Api menyeletuk, petir menatapnya tajam membuatnya kikuk, tapi tetap melanjutkan kalimatnya, "Pakai petir aja kalau nyamber, kak, halilintar itu terlalu keren, yang ada ternganga nanti saking hebatnya, kakak."
Petir hanya diam menunduk, belum menurunkan tingkat kekuatannya.
"Kamu sih, makanya jangan tanya mulu!" Daun menatap bingung Angin yang mengomel.
Tak lama, Cahaya membisikkan sesuatu di telinga kakaknya, Daun."Kak Daun bilangin, kak Hali, suruh berubah jadi 'Kak Petir' lagi! Nanti aku belikan mainan kuda ijo deh."
Daun yang merasa dibisikkan sesuatu dengan Cahaya langsung berbinar-binar lantas melaksanakan perintah adiknya itu.
"Kak Hali, berubah jadi 'Kak Petir' lagi dong, nanti aku dibeliin mainan kuda ijo sama Cahaya, kak!" Titahnya jujur pada Petir yang berada dalam mode Halilintar itu.
Semua yang ada di ruangan meja bundar tertawa mendengar permintaan Daun yang polos dan jujur. Cahaya yang terkejut dengan permintaan jujur kakaknya itu langsung kikuk saat ditatap tajam dengan mata kakak pertamanya, Halilintar.
"Mangap kak, suwer mangap! Cahaya gak gitu lagi deh, tadi cuma becanda doang, kak." Pintanya sembari memasang wajah melas dengan kedua tangan yang menunjukkan dua jari membentuk 'V' atau disebut peace.
Kapten Besar menatap ketujuh anak kembarnya dengan bahagia. Walaupun anak-anaknya sudah beranjak dewasa, mereka tetap tidak bisa dikatakan dewasa dengan sifat dan kepribadian mereka yang tidak bisa dirubah sejak kecil, ada saja yang mereka lakukan jika sedang berkumpul bersama seperti ini. Tapi jika mereka dipisahkan satu sama lain akan berbeda lagi rasa yang mereka rasakan.
Beberapa tahun lalu ketiga anak utama Kapten Besar, Petir, Angin dan Tanah harus pergi menjalankan misi pasukan Three P.S selama lima bulan di Planet Purnama atau dalam bahasa mereka di Planet Volle Maan di Galaksi Andromeda, sedangkan anak tengahnya, Api dan adiknya Air ditugaskan di Planet Lichtzon di Galaksi Whirpool selama empat bulan, dan anak kembar terakhir yang di panggil Daun dan Cahaya itu hanya duduk diam membatu misi teman mereka di Planet Heet, Galaksi Centaurus A selama tiga bulan. Sempurna sudah tujuh kembaran ini harus memendam rasa rindu yang berat selama mereka menjalankan misi di planet yang jauh dan berbeda, walaupun kejadian ini bukan hanya sekali, tapi yang namanya rindu tetaplah menjadi rasa yang sulit untuk di pendam bagi mereka bertujuh.
***
Next episode 3...