Pagi yang cerah, matahari bersinar terik di atas langit, cahayanya yang lembut menembus jendela kaca kamarku, menerpa wajahku dengan hangat.Aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang masih menyesuaikan keadaan sekitar, aku beranjak dari tempat tidur berjalan kearah jendela untuk menyapa matahari yang bersinar di atas sana. Umurku masih 6 tahun waktu itu, aku belum mengerti arti dunia yang sebenarnya.
Dimana saat-saat aku masih berada dalam lingkungan anak-anak, aku bukan menjadi anak seperti teman-temanku yang lain. Aku berbeda dari mereka, aku bukan seperti teman-temanku, karena aku spesial.
Aku menyimpan sebuah rahasia kecil, rahasia yang selama ini ku sembunyikan dari orang lain begitupun orang tuaku. Aku pernah memberi tahu Papa dan Mama mengenai rahasia yang kusimpan, tapi Papa dan Mama hanya menganggapku sedang berimajinasi dan hal itu membuatku memutuskan untuk merahasiakannya dari siapapun.
Saat umurku menginjak 12 tahun, aku baru mengetahui apa yang selama ini terjadi pada diriku. Aku tahu sekarang arti semua rahasia yang kusimpan sejak kecil, hal itu membuatku sangat berhati-hati untuk menyimpannya sejak aku mengetahuinya. Hal itu selalu membuatku waspada atas apa yang selalu aku lakukan karena takut ada orang lain yang mengetahuinya. Hal itu selalu kurahasian dari siapapun karena hal yang selama ini kurahasiakan bukanlah sebuah imajinasi dari sebuah cerita yang terbentuk dari fikiran anak-anak, tapi hal itu adalah sebuah hal yang berarti besar bagi keseimbangan antar seluruh Galaksi, dan sekarang aku tahu arti semua rahasia yang kusimpan, biasanya orang orang menyebutnya sebagai 'KEKUATAN'.
Saat aku bermain lompat tali dengan teman-temanku di sekitar halaman rumahku, ada suatu hal aneh yang menjadi pusat perhatian semua orang. Giliran aku yang melompat waktu itu, tapi saat aku melompat melewati tali yang ditarik antar 2 orang temanku, aku terbelit saat melewatinya hingga membuatku terjatuh. Tepat saat telapak tanganku menyentuh tanah, BUM- ada sebuah getaran hebat yang mengguncang sekitar wilayah komplek perumahan rumahku hingga membuat semua orang berlarian panik keluar dari rumah mereka, teman-temanku berlarian takut sembari memanggil orangtua mereka masing-masing.Aku yang menatap keadaan orang-orang disekitar hanya menatap mereka bingung sebelum akhirnya Papa dan Mama menggendongku berjalan menjauh dari sekitar rumah.
Begitupun saat aku bermain dengan Papa dan Mama saat di pantai. Suasana pantai saat itu sangat ramai, cuacanya juga panas sekali hingga angin enggan bersiul di sekitar. Aku berlarian kesana-kemari sembari berusaha menerbangkan layangan yang ku pegang erat tali yang menghubungkan dengan layangannya. Setelah beberapa menit aku berlarian di sekitar pantai membuatku lelah karena layangan yang ku tarik tak kunjung naik, aku berhenti berlari sembari menatap layangan yang ku pegang, beberapa saat aku memamdangi layanggan yang ku pegang membuatku menemukan sebuah ide yang muncul entah darimana. Aku memutuskan melempar layangan itu tinggi-tinggi, dengan cepat aku menggerak-gerakkan tanganku kearah layangan diatas, dan seketika layangan yang ku lempar tadi dapat terbang karena gerakan tangan yang aku buat. Tentu itu aneh sekali, bagaimana layangan bisa terbang diatas awan dengan cuaca yang sangat panas seperi ini?
Atau aku pernah melakukan sesuatu yang membuat orang tuaku akhirnya bisa percaya bahwa hal yang kulakukan bukan sekedar imajinasi anak-anak pada umumnya. Saat itu kami sedang berkumpul di ruang keluarga bersama sembari bersantai menonton TV, saat sedang santai menonton TV, tiba-tiba saja aku, Papa dan Mama dikejutkan dengan listrik yang padam. Saat itu semuanya menjadi gelap, aku takut hingga membuat ku bergetar ketakutan, Papa yang menyadari itu langsung memelukku, Mama mengajak kami keluar rumah tapi karena keadaan ruangan yang sangat gelap dengan langit yang malam membuat kami tidak dapat menembus kegelapan tersebut. Papa hanya membuang napas pasrah sembari memandangiku dengan lembut, suasana malam hari itu sangat mencekam hingga membuatku benar-benar ketakutan. Beberapa detik kemudian, ketakutan yang kurasakan berhasil membawa kekuatan untukku, sepercik cahaya kuning muncul di telapak tanganku yang menggenggam ponselku yang mati karena kehabisan daya, tapi munculnya kekuatan itu membuatku berhasil mengaktifkan ponselku. Aku berteriak girang menunjukkannya pada Papa dan Mama yang hanya dibalas dengan tatapan bingung mereka. Aku pun berlari keluar rumah sembari menggenggam ponselku yang sedang mengaktifkan mode senter, aku kembali digendong Papa agar mencapai saklar pusat rumah kami, awalnya Mama menolak karena takut tersetrum. Oh, ayolah ma! Ini anakmu yang menggenggam petir saja tidak terluka kan? Setelah bergulat dengan fikiran masing-masing, akhirnya mama menyetujui dan qku oun menyentuh saklar pusat listrik rumah kami, beberaoa derik menunggu dan -Klik- listrik di rumah kami berfungsi kembali, Papa dan Mama hanya menatapku dengan tatapan tidak mengerti sedangkan aku tertawa puas.
Semua itu adalah sebuah pengalaman yang begitu istimewa untukku, tapi setelah umurku beranjak dewasa semuanya berubah menjadi sebuah kejadian yang harus kulewati dengan banyak pengorbanan serta perjuangan. Aku masih bisa bersyukur, karena suatu perkara hal yang kulalui tidak hanya sendiri, selalu ada sahabat-sahabatku yang membantuku untuk berkorban dan berjuang melewati segala hal.
***
Aku berjalan keluar kamar, lantas berjalan turun melewati tangga sebagai jalurnya. Mama sedari tadi sudah mengomel karena aku dan Papa yang tidak kunjung turun untuk sarapan, aku hanya nyengir saat Mama menatapku tajam sampai kulanjutkan untuk duduk di meja makan. Tak berselang lama, Papa dengan wajah sumringah berjalan turun menuju meja makan, sama halnya sepertiku, Papa juga nyengir kuda saat ditatap Mama. Setelah semua berkumpul, kami melaksanakan ritual sarapan pagi kami.
"Mengapa kalian ini selalu saja datang terlambat? Lama-lama Mama jadi pengen masukin kamu ke Pesantren saja sama adik kamu itu, Na." Omel Mama memecah keheningan di meja makan.
"Eh,jangan, Ma! Terus teman-teman Alna bagaimana?" Jawabku sembari menatap Mama dengan wajah memelas.
"Suruh saja mereka ikut ke Pesantren sama kamu lah! Begitu saja kok repot."
"Terserah, Mama, deh!"
"Sudahlah, Ma! Wajar, Alna tidak mau, lagipula sedari kecil, Alna bersama teman-temannya." Papa menengahi pembicaraan.
Aku tersenyum senang merasa di bela dengan Papa.
"Kan bisa cari teman lain!" Mama kembali mengomel.
"Aduh, Ma, beda dong. Alna sudah berapa tahun sama teman-teman, Alna? Kalau, Alna punya teman baru, tidak akan sama seperti mereka, Ma."
"Sudah, sudah! Kamu nanti terlambat, Na, ayo berangkat!"
Aku yang baru selesai meneguk mili susu terakhir langsung berdiri lantas menyusul Papa dan Mama yang sudah melangkah keluar lebih dulu, tak lupa aku mengambil tas ransel yang ku gantungkan di pegangan tangga rumah.
"Pa, hati-hati di jalan! Sudah tidak ada yang ketinggalan lagi? Coba di cek! Nanti seperti kemarin lagi, Mama tidak mau mengantarkan barang Papa yang tertinggal." Celoteh Mama panjang lebar dengan tambahan serentetan pertanyaan yang sudah menjadi suatu rutinitas di pagi hari.
Papa hanya tersenyum sembari menjawab 1 kata yang berhasil membuat Mama membuang nafas kasar.
"Sudah."
Pasalnya Papa itu meski sudah mengatakan 1 kata itu, tetap membuat mama kesal. Seringkali Papa tertinggal barang dirumah saat ingin berangkat kerja, hal itu membuat Mama harus menunda pekerjaannya dirumah lantas mengantarkan barang Papa yang tertinggal ke kantor.
"Papa berangkat dulu ya?"
Aku hanya mengangguk lantas mencium punggung tangan Papa sebelum memasuki mobilnya.
"Hati-hati Pa!" Titahku.
"Kamu juga yang pinter ya!" Lagi-lagi aku mengangguk.
"Assalamu'alaikum!" Salam Papa sembari menutup kaca jendela mobilnya.
"Wa'alaikumussalam." Jawabku dan Mama serempak.
Setelah ritual pagi yang kami lakukan tadi, aku duduk di teras sebentar sembari menunggu seseorang menjemput ku.
"Kamu gak berangkat?" Tanya Mama yang sedang menyapu.
"Nunggu orang ma." Jawabku singkat sembari melihat jalanan komplek perumahan rumahku.
"Siapa?" Mama kembali bertanya.
Aku hanya menunjuk rumah ber cat merah muda di seberang rumahku dengan pagar besi berwarna merah maroon, terlihat seorang remaja perempuan berseragam sekolah yang sama sepertiku sedang menggunakan sepatunya di teras rumahnya. Aku hanya menunggu remaja perempuan itu yang sedang mengucapkan beberapa kalimat dengan 1 orang di hadapannya yang terlihat lebih tua dibanding remaja perempuan itu.
Lama menunggu, remaja perempuan itu melambaikan tangannya kepadaku sembari berteriak menyerukan namaku.
"Alna!" Sedetik kemudian, ia berjalan mendekat kerumahku."Assalamu'alaikum!"
Aku dan Mama menjawab salamnya serempak.
"Zahra, mau berangkat bersama Alna ya?" Tanya Mama.
"Iya tante."
"Ya sudah, sana berangkat! Nanti kalian telat."
"Iya, kami berangkat dulu. Assalamu'alaikum!"
Zahra mengucap salam, juga aku yang dibalas dengan salam Mama.
Dia Zahra, teman, sahabat, keluarga atau apalah itu. Dia segalanya untukku, dia teman bermainku saat aku kecil, obat di saat aku terluka, selalu ada di bagian terdepan sebagai pembelaku. Lihatlah! Wajahnya yang cantik berbalut kerudung putih yang bercahaya terkena terpaan sinar matahari, kulit putih bersih yang menjadi penambah kecantikannya juga warna merah muda yang menerangi iris matanya, menampilkan ciri khas dari seorang Zahra.
Kami berangkat bersama menuju sekolah. Beberapa menit kami berjalan menuju sekolah, akhirnya tiba juga. Kami melanjutkan berjalan menuju kelas. Kelas XI 1, itu kelas kami, aku masuk bersama Zahra dan baru saja kami masuk tiba-tiba salah seorang teman di kelas kami berteriak.
"ALNA!!!ZAHRA!!!" Teriaknya.
Aku dan Zahra menutup telinga mendengar teriakannya yang nyaring.
Untung dia itu sahabatku, kalau tidak sudah ku bungkam mulutnya dari tadi, Batinku.
"Udah lama gak ketemu, aku kangen, liburan dimana?"
"Stop Zrine! Berikan kami waktu untuk bernafas!" Pintaku.
Zrine mengalah, ia membiarkan aku dan Zahra duduk di bangku kami lebih dulu, setelah itu kembali berbicara. Zrine, sahabat kedua yang aku punya selain Zahra. Rambut coklat panjang sepundak yang dia ikat 2 membuatnya terlihat lucu apalagi dengan tambahan kacamata bundar dengan warna kuning keemasan juga bando kuning bermotif garis-garis biru, dan sebagai ciri khasnya, bisa di lihat dari iris matanya yang berwarna biru yang cerah seperti langit tanpa awan.
Selain Zahra dan Zrine, ada juga Alfa. Lelaki yang menganggap dirinya sebagai orang yang paling terkenal di sekolah ini, kuakui ketampanannya yang dapat membuat hati semua para betina meleleh melihatnya namun tak ada satupun yang berhasil mengambil hati si es batu kutub utara itu, dimanapun dan kapanpun dia berada, gayanya tidak berubah seperti memakai sarung tangan berwarna ungu yang seperti menyatu dengan tangannya, tapi hanya sampai pergelangan tangan dan hanya 5 jari yang tidak tertutup, kacamata virsor yang selalu dia gunakan dan satu hal yang menjadi ciri khas darinya adalah warna ungu di iris matanya.
Nah satu lagi, namanya Bryant, aku tidak tau bagaimana mendeskripsikan sahabatku satu ini, dia yang memiliki postur tubuh yang bisa disebut sama seperti Alfa, setelahnya aku tidak tahu harus mendeskripsikannya seperti apa. Aku hanya tahu dia penyuka warna hijau, walaupun tidak semua pakaian yang dia gunakan kadang berwarna hijau tapi ada beberapa sedikit campuran dari warna lain seperti kuning dan merah, ciri khas yang Bryant miliki adalah warna hijau yang menjadi warna di iris matanya.
Entah mengapa? Kadang aku berfikir bahwa keempat sahabatku ini memiliki sisi spesial dari karakter mereka masing-masing, pernah di waktu-waktu tertentu yang membuatku terpesona dengan keempat sahabatku, entah apa yang kami lakukan saat itu tapi aku terpesona sekali dengan warna iris mata mereka yang bersinar terang hingga membuatku menatap tanpa berkedip sedikitpun. Itulah hal yang paling ku suka dan sifat yang mereka miliki seperti menjadi pelengkap dalam persahabatan kami seperti Alfa yang dingin seperti es batu di kutub juga tak pernah peduli pada orang lain ditambah dengan keegoisannya. Bryant dengan sifat yang SokKenalSokDekat -nya membuatnya mudah bergaul dengan orang lain, sifatnya yang jujur -bahkan kelewat jujur- pernah membongkar rahasia orang lain bahkan rahasia kami berempat walaupun itu secara tidak sadar. Zrine, sifatnya yang selalu ceria dan periang menjadikan sebagai penghibur diantara kami, Zrine begitu pintar pun dengan Zahra, kepintaran mereka bahkan sudah kelewat batas melebihi Albert Einstein. Yang terakhir adalah, Zahra. Dia tentu sangat baik, pintar, juga ahli dalam bidang akademik ataupun non-akademik. Selain sebagai teman yang baik, Zahra juga sebagai seseorang yang harus kami waspadai. Bagaimana tidak? Saking pintar dan ahlinya Zahra, juga sebagai murid berprestasi di sekolah, Zahra banyak bertugas di berbagai bidang organisasi sekolah.
~ Ketua Osis
~ Ketua Organisasi Keamanan Sekolah
~ Ketua Organisasi Kebersihan Sekolah
~ Ketua Organisasi Kesehatan Sekolah
~ Ketua Organisasi Pendidikan Sekolah
~ Ketua Organisasi Agama Sekolah
~ Ketua Organisasi Kepramukaan Sekolah
~ Ketua Organisasi Kelas Bahasa
~ Ketua Organisasi Kelas IPA
~ Ketua Organisasi Kelas IPS
~ Pemegang Pangkat Organisasi Sekolah Tingkat Tinggi
***