Aku adalah Sang Musafir yang terjebak dalam gurun sajakmu
Zidan Anugerah
đź“– Selamat Membaca đź“–
Busss!
"Aw!"
Dentur teh panas mengenai tangan seorang pemuda tersebut berjaya menciptakan tatapan nyalang dari sang pemilik rumah makan
"Astaga, Tufa! Apa lagi ini, hah?!" bentak Bu Sisca kepada gadis bermata layu bernama Tufa.
Di tengah sibuknya cakrawala merayu gugusan bintang, Tufa menjawabnya tergugu-gugu, "U–lun tidak sengaja, Bu." Kemudian menyimpan wajah dalam-dalam. "Enggak sengaja, enggak sengaja. Enak banget bilang enggak sengaja. Dasar perempuan kurang ajar!" sarkas wanita bermata elang itu seraya berkacak pinggang. Merasa tak puas marah-marah, Bu Sisca pun kian berulah. "Hutang kamu aja belum lunas, sekarang cari gara-gara lagi!"
"Sudah, Bu, sudah. Malu sama pelanggan yang lain. Ini tempat umum. Malu, Bu," bisik Ratih putri si pemilik rumah makan ini.
Merasa tak ingin semakin riuh, si pemuda asing korban kelalaian Tufa itu pun menyudahi santapannya, berdiri tegap pula menatap lembut Bu Sisca. "Enggak papa, Bu. Enggak papa," tutur pria itu. Bohong bahwa ia tidak apa-apa. Padahal teh mengepul yang tertumpah ke tangannya itu sukses membuat kulitnya melepuh.
"Maafkan kecerobohan pegawai saya yang satu ini, Nak," titah Bu Sisca bermanis muka. "Biar tidak perlu diganti," senyum tidak ikhlas terpatri lalu melemparkan pandangan marah pada gadis malang keturunan Banjar tersebut.
"Enggak papa. Saya tetap bayar," jawab pemuda asing itu mengeluarkan uang dari dompet. Lucunya disambut langsung oleh wanita pemilik rumah makan bermuka sangar tersebut.
"Hm, kamu memang pelanggan yang baik. Kalau boleh tahu siapa nama kamu, Nak? Kamu pasti bukan asli orang sini," heran Bu Sisca kala memerhatikan lamat-lamat wajah pria ini.
Lelaki berjaket kulit cokelat, plus ransel di bahu itu pun menjawab, "betul, Bu, saya bukan asli orang sini. Saya ke sini mau menemui Abah angkat saya di kampung ini. Saya dari Samarinda. Nama saya Zidan, Bu. Zidan Anugerah." Kesopanan tata bicara pemuda ini tak dapat didustakan.
"Ooh, baik-baik," Bu Sisca bernada lebih bersahabat. "Sekali lagi maaf atas ketidaknyamanannya barusan, yah, Nak Zidan." Wanita separuh baya berambut gelombang itu mengakhiri percakapan..
"Baik. Saya permisi dulu." Sebelum pergi, pemuda bernama Zidan itu sempat mencuri pandang pada pegawai Bu Sisca. Pakaian serba hitam, serta memiliki cahaya mata begitu layu; dapat Zidan tebak bahwa dia menyimpan banyak beban masalah. Mungkin ... mungkin iya, mungkin juga tidak.
Beberapa langkah bersiap keluar dari bangunan sederhana ini, gadis bermata sendu itu memanggil dirinya. "Tunggu dulu, Kak. U—ulun mau tanggung jawab." Suara merdu menyimpan ribuan beban hidup itu membuat Zidan tak sanggup untuk tidak menengok ke belakang. Dirinya pun mengernyit, mulut otomatis terheran, "Tanggung jawab?" Tufa mengangguk cepat. Dia berlari cepat-cepat ke belakang, tak tahu untuk apa.
Detik berjalan, Tufa kembali dengan membawa P3K. "Duduk dulu sini, Kak. Biar saya obatin." Senandung lembut gadis ini membuat Zidan menyahut, "Ini cuma melepuh. Besok juga sembuh," imbuhnya.
Mendapat penolakan, Tufa malah bersimbah memohon di kakinya. "Nanti saya dimarahi Bu Sisca lagi, Kak." Lagi-lagi suara penuh beban itu berhasil membuat Zidan tak bisa menolak. Zidan mengeluarkan napas pasrah, lantas menuruti kemauan pegawai malang Bu Sisca ini.
Sembari memerhatikan Tufa yang begitu hati-hati memberikan obat ke tangannya, Zidan berkata, "Tadi aku dengar kamu ada hutang sama Bu Sisca. Maaf ... hutang apa?" Tufa memandang Zidan sejenak, lalu langsung kembali fokus pada pekerjaannya. Sebelum menjawab, Tufa mengeluarkan napas gusar. "Waktu itu Bunda menghancurkan tempat makan ini. Ya, sebagai ganti ruginya, saya kerja di sini tanpa digajih."
Zidan menggeleng miris; sedikit menggigit bibirnya sebab tak habis pikir. "Memangnya ada masalah apa ibu kamu jadi sampai ngamuk?"
Lagi-lagi Tufa membuang napas dengan kasar. Antara beban dan tidak beban ingin menjelaskan. "Karena Pak Brata—suami Bu Sisca mirip sama Ayah," jawab Tufa singkat dan padat tanpa menoleh kepada lawan bicara.
Merasa gadis di depannya ini tak nyaman pada pembahasan, Zidan pun berhenti bertanya.
"Sudah selesai, Kak. Sekali lagi saya minta maaf."
Zidan tersenyum tipis. Mulai terbawa suasana atmosfer yang cukup berbeda. "Besok saya mampir ke tempat ini lagi," bubuhnya percaya diri.
"Tidak perlu, Kak. Besok saya tidak ada di sini. Kakak datang bukan untuk makan, 'kan?" balas Tufa cukup membuat Zidan tertangkap basah.
"Hmm." Pria berjaket tebal tersebut berdehem, melawan kegugupan. "Memangnya besok ke mana?" Bodohnya dia malah melontarkan pertanyaan yang menjatuhkan dirinya sendiri ke jurang. Tufa tersenyum miring, seakan dapat membaca pikiran Zidan. "Saya ngajarin anak-anak ngaji besok." Tanpa menunggu jawaban, Tufa berdiri, lantas berjalan santai meninggalkan Zidan tak lupa membawa kotak P3k-nya.
Zidan masih betah di tempat memerhatikan wanita berselimut kharisma berbaur misteri tersebut hingga ia benar-benar hilang dari pandangan. Mendengar kalimat terakhir Tufa, tentu membuat Zidan semakin yakin bahwa esok ia akan kembali bertemu dengan gadis itu.
Merasa sudah cukup tenggelam dalam pikirannya, Zidan lantas membenarkan ransel di bahunya, kemudian berjalan menuju motor guna melanjutkan perjalanan ke rumah Abah Abdul.
***
"Siapa di sini yang mau mendengarkan kisah Nabi Muhammad saat beliau masih belia?" ajak Tufa begitu semangat di hadapan murid-muridnya. Sederhananya adalah, jika ia berbaur bersama anak-anak kecil, ia sediki lupa akan tusukan-tusukan belati dalam hidupnya.
"Mau, Kakak Gulu." Kompak semua anak-anak kecil itu. Bahkan beberapa dari mereka sampai loncat-loncat saking semangatnya.
"Baiklah, Kakak Guru akan menerangkan, tapi habis selesai bercerita akan ada pertanyaan, ya. Siapa yang benar akan Kakak Guru
Ia pernah ditawarkan bekerja sebagai TKW ke arab, tetapi mau tidak mau ia jauh dari Bunda, itu yang ia tak bisa lakukan. Menyayangi Bunda adalah kebutuhan baginya, meski orang bilang Bunda gila, orang bilang Bunda tak waras, terselah, lah. Yang ia tahu ia menyayangi Bunda. Kalau bukan dirinya yang menyayangi, lantas siapa lagi? Ia juga bermimpi menjadi santri, tapi apalah daya, kehidupan menggiringnya ke takdir seperti ini.
Secara bersamaan—tanpa Tufa ketahui—Zidan menyaksikan Tufa penuh gemuruh kekaguman dari dalam rumah kaca milik Abah angkatnya. Berulangkali Zidan bersholawat kepada Baginda, melihat wanita berjubah bidadari itu membuat seluruh peraliran darahnya bergelora. Ada rasa yang menyenangkan menyelusup secara lembut ke dalam hatinya. Rasa bak tetesan embun pagi itu mengetuk pintu hati Zidan yang telah lama kosong. Bibir Zidan mengembang. Desir di hatinya kian pandai mengungkapkan kejujuran bahwa ia mulai terkesima pada wanita itu. Ia belum tahu siapa nama pemilik mata rembulan tersebut.
Zidan terus memerhatikan gerak-gerik gadis penggenggam hati anak-anak tersebut. Ceria, murah senyum, semangat serta menebarkan kasih sayang ke setiap anak-anak. Saat istirahat tiba, Tufa mengajak anak-anak bernyanyi bersama.
Saat Muza tertidur ... di atas jubah rosul, Nabi tak membangun ...
Membiarkannya lelap....
Sebuah lagi mengisahkan kucing Rasulullah yang dipopulerkan oleh penyanyi belia bernama Syahla .
Tufa terus bernyanyi sembari berputar-putar diikuti oleh murid-muridnya. Zidan gemas memandang kejadian itu. Tak ia sadari ia tertawa kegirangan melihat anak-anak kecil berlari memutar layaknya anak ayam mengikuti induknya.
Muza oh Muza nama kucing Rasulullah
Selalu mengeong saat azan terdengar...
Muza oh Muza begitu panggilannya
Berhidung pesek, senang di pangkuan Baginda ....
Semua anak-anak kecil bak anak kucing berkaki pendek mengikuti gerakan Tufa yang berputar-putar.
Saat selesai bernyanyi, Tufa membuang napas pula mengelap peluh menggunakan punggung tangannya. Ia duduk di kursi dekat beberapa ibu-ibu yang sedang menjaga anak mereka. Ada satu ibu dari anak murid berkata pada Tufa, "Tufa, aku dengar kemarin ibumu mengamuk lagi. Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit jiwa saja,"
"Iya, dia 'kan gila," sambung ibu-ibu beralis segaris. Tufa tak menyahut
"Kemana ayahmu, Tufa? Balik lagi sama istri lamanya, ya?" ucap oleh ibu-ibu yang sama.
"Iya, makanya ibunya gila, 'kan." Kalimat itu yang paling tak bisa Tufa terima.Tubuh Tufa terasa melemah mendengar itu, wajahnya menegang dan mata berkaca-kaca. "Bunda saya tidak gila," jawab Tufa pelan. Tufa lalu berlari cepat, sambil mendengungkan kalimat
"Bunda tidak gila!"
"Bunda tidak gila"
"Bunda tidak gila!"
Tufa memilih tempat ternyaman untuk menangis. Tempat yang tidak bisa dilihat oleh ibu-ibu penggosip atau pun muridnya. Jendela kaca yang tertutup, dari luar terlihat gelap. Ia duduk sambil memeluk lutut. Sedangkan di balik jendela kaca itu, ada Zidan yang sedang menyaksikannya. Mereka berdua hanya terhalang dinding. Zidan dapat melihat Tufa namun Tufa tak dapat mengetahui keberadaan Zidan, kaca jendela besar tersebut nampak gelap dan tak menampakkan apa-apa yang ada di dalam.
Melihat gadis berpagut lara, Zidan tak sampai hati melihatnya. Ia juga menyaksikan dua ibu-ibu tadi yang seolah menghardik gadis bernama Tufa. Kalau saja Tufa halal baginya, niscaya Zidan akan menjadi orang terdepan memusnahkan air mata-yang diketahui bernama Tufa.
Zidan memegangi kaca jendela sambil terduduk, sebagaimana Tufa juga terduduk memeluk lututnya. Zidan merasakan seolah-olah dirinya sedang menghapus air mata Tufa. Namun, Tufa tak pernah menyadari bahwa ada sosok lelaki yang sedang memerhatikan dirinya. Ada sosok yang tak tega melihat dirinya menangis di saat-saat dirinya benar-benar membutuhkan seseorang yang menganggapnya berharga.
Tufa lalu mengambil buku kecil, lengkap dengan pulpen dari kantung bajunya yang memang selalu ia bawa ke mana-mana. Ia menuliskan sesuatu di situ. Beberapa menit Tufa menulis-masih diperhatikan oleh Zidan-kemudian terdengar lonceng pelajaran kedua berdencing. Tufa bergegas mau masuk kelas, ia harus kembali mengajar, ia harus kembali menghibur anak-anak. Tufa berdiri, ia membuang napas kasar. Tak boleh ada yang tahu bahwa dirinya sedang menangis.
Merasa sudah beres, ia lalu berlari cepat-cepat. Tanpa disadari bahwa diary miliknya terjatuh. Zidan memandang itu langsung berlari ke luar dari tempat persembunyian. "Ding, buku pian jatuh," teriak Zidan di depan pintu rumah Abah Abdul. Tufa sepertinya tak mendengar. Gadis itu terus melaju. Zidan mengayunkan langkahnya ke tempat di mana tadi Tufa tertunduk menangis. Ia ambil buku itu, dan akan ia kembalikan suatu saat nanti. Pasti!
***
Membawa langkah sedikit ragu, pria bertopi kebun itu memasuki ruang kerja Bapak Bachtiar. Tangan kanan Bapak Bachtiar baru saja memberikan pengumuman bahwa Sang Milyuner itu sedang mencari orang untuk merawat ibunya yang sudah sakit-sakitan. Barangkali Tufa bisa melanjutkannya guna membantu perekonomian keluarga. Toh, dari pada bekerja bersama si sangar Bu Sisca.
"Ya, ada apa?" sambut Bapak Bachtiar acuh saat tukang kebunnya itu masuk ruang kerjanya setelah sudah meminta izin. "Sa–saya dengar Bapak sedang mencari orang untuk menjadi pengasuh ibu Bapak, 'kan?" tanya Amang meyakinkan. "Saya ingin mengajukan keponakan saya," tambah Amang gugup. Rasanya langsung lenyap kepercayaan diri melihat sifat angkuh bosnya.
"Lulusan apa dia?" Muka datar dan mata tertuju pada laptop.
"Di–dia cuman sanawiah tidak sampai lulus, Pak." Bapak Bachtiar tersenyum mencemooh.
"Namanya Tufa Shazwanie, Pak," sambung Amang Hasan.
"Tufa Shazwanie?!" Spontan Pria berbadan besar tersebut memandang tukang kebunnya. Mulai tergelitik saat mendengar nama wanita itu. "Siapa nama ayahnya?"
"Heru Dausi, Pak. Jadi, bagaimana, Pak," jawab Amang Hasan tak menaruh kecurigaan kenapa bosnya malah menanyakan nama ayah Tufa.
Bola mata melebar seketika, lalu "Tu–fa anak Heru? Benarkah?" Otomatis berdiri tegak menopangkan kedua tangan di atas meja serta mencetak wajah kaget bercampur gembira.
"Jika Bapak terkesan saya akan membawanya ke sini. Tapi, sore ini tidak bisa, dia masih mengajar di TK Al-Qur'an."
Bapak Bachtiar tersenyum menang. Ia kembali duduk ke posisi awal. Berdehem, membenarkan jas juga mengembalikan wajah seperti semula. "Bagaimana kalau saya saja yang langsung ke kediaman Bapak. Begini, Pak Hasan, saya punya anak tunggal lelaki, pasti Bapak sudah tahu, 'kan. Zaki namanya. Bagaimana kalau kita nikahkan saja mereka. Mungkin ini terkesan mendadak, tetapi ini permintaannya terakhir ibu saya yang sudah sakit-sakitan. Dan saya memiliki prasangka yang baik terhadap Tufa Shazwanie ponakan Bapak itu."
Amang Hasan tercengang seketika, bahkan mulutnya ternganga. "Ta–tapi saya mengenalkan dia hanya bermaksud ingin memperkerjakan dia di sini, Pak," sahut pria bertopi kebun itu membawa perasaan tergemap.
Lelaki bertubuh gemuk itu menyatukan kedua tangannya di atas dada juga menundukkan kepala pada pekerjanya itu dengan rona wajah memelas. "Pak Hasan, ibu saya sudah tua renta, dia menyuruh saya untuk menikahkan Zaki. Sedangkan Tufa sepertinya adalah wanita yang cocok untuk anak saya." Bapak Bachtiar jujur dan setengah berbohong. Ia menikahkan Tufa dengan Zaki bukan karena desakkan ibunya. Melainkan karena hal lain.
 Amang Hasan terheran-heran, pria ini memohon kepadanya? Hah? Sebegitu spesial kah Tufa? Apa yang ada dalam diri Tufa hingga orang berderajat tinggi seperti Pak Bachtiar merendahkan diri di hadapannya demi mendapatkan sosok Tufa.
"Ba–baik, Pak. Iya, Pak," ucapnya tergagap-gagap. "Ta-tapi menentukan iya atau tidaknya itu adalah hak Tufa. Saya hanya perantara, Pak."
"Baik, habis saya menyelesaikan meeting sore nanti saya akan membelikan cincin untuk Tufa. Besoknya saya akan ke rumahmu."