"Ayah, tadi aku belajar menggambar rumah." Ujar seorang gadis kecil pada ayahnya yang sedang duduk disampingnya.
"Mana coba ayah lihat." Tanya ayah gadis kecil itu, dengan semangat gadis kecil itu mengeluarkan buku gambar dari tasnya yang berwarna pink.
"Nih yah.." gadis itu menunjukkan gambar yang dibuatnya di sekolah, ayahnya tersenyum melihat gambar yang dibuat putri kecilnya itu.
"Ini rumah siapa sayang." Tanya ayahnya, gadis kecil itu menyibakkan rambutnya yang dikepang dua, "ini rumah nenek didesa, tuh iyat ada gunung, sawah." Ujar gadis itu dengan gaya lucu.
"Trus ini gambar apa?" tunjuk ayahnya pada gambar yang berbentuk bulatan hitam.
"Ini kebo." Jawab gadis itu polos.
"Hahahha, bisa aja kamu." Ujar ayahnya sambil mencubit pipi putri kecilnya dengan gemas.
Gadis itu adalah Tiara, dia berusia 5 tahun, baru saja masuk sekolah TK, ayahnya adalah AIPTU Edwin Nugraha, seorang perwira polisi yang bertugas di bagian Intel Polres Jakarta Barat
"Yuk kita makan, bunda udah selesai masaknya, yuk sayang, ayo Yah." Seorang perempuan cantik dengan perut buncit mengajak ayah dan anak itu untuk makan malam, perempuan itu adalah Anita, istri dari Aiptu Edwin.
Ayah dan putrinya saling berpandangan, " Asyik kita makan.." ujar Edwin pada putrinya, namun putrinya menggeleng sambil memonyongkan bibirnya. Edwin menatap istrinya sambil mengangkat alis.
"Loh kenapa sayang, emangnya kakak tiara gak lapar?" tanya bunda lembut, mendengar bundanya memanggilnya dengan sebutan kakak, Tiara jadi sedikit ceria.
"Bunda manggil tiara apa tadi?" tanya gadis kecil itu.
Bunda tersenyum melihat perubahan wajah putrinya, "Kakak! kan sebentar lagi Tiara bakalan jadi kakak."
"Ya Bun?" wajah Tiara berseri-seri, bunda hanya mengangguk sambil mengusap perutnya yang buncit.
"Sebentar lagi dedek bayi akan lahir, Tiara seneng gak?" tanya bunda, Tiara mengangguk cepat.
"nanti kalau dedek bayi lahir, Tiara bakal jagain dan sayang ama dedek bayi gak." Kembali Tiara mengangguk menjawab pertanyaan bundanya.
"nah, kalau kakak gak maem, nanti kakak sakit, trus yang jagain dan sayang ama dedek bayi siapa?" tanya Bunda tersenyum sambil mengusap lembut rambut putrinya.
"Oke bun, Tiara akan maem yang banyak, biar Tiara kuat jagain dedek bayi, yuk yah kita maem, ayah juga maem yang banyak, biar bisa jagain bunda, Tiara dan dedek bayi." Tiara kemudian berdiri dan menarik tangan ayahnya.
Edwin hanya tersenyum memandang pada istrinya, dijulurkan tangannya pada istrinya, Anita meraih tangan suaminya, mereka bertiga menuju ke ruang makan. Edwin sangat bersyukur mempunyai istri seperti Anita, bukan hanya cantik, tapi sifatnya sangat lembut dan sabar dalam menghadapi dirinya, dan kini Edwin merasa kebahagiaannya semakin komplit, Tiara tumbuh menjadi gadis kecil yang cerdas, dan sebentar lagi akan hadir anggota keluarga baru, tak pernah Edwin luput mendoakan keluarga kecilnya disetiap kebaktian minggu.
Bagi AIPTU Edwin, anak dan istrinya adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupnya, dia tak bisa membayangkan jika harus kehilangan mereka, Edwin menyadari dia bukanlah Polisi yang sempurna, banyak hal buruk yang pernah dia lakukan di awal-awal Kariernya, namun setelah bertemu dengan Anita, serta kehadiran Tiara, Edwin bertekad untuk menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya, Edwin ingin istri dan anak-anaknya bangga mempunyai suami dan Ayah seorang Polisi yang berdedikasi.
***
Seorang pria tua bertubuh tambun duduk santai di kursi goyangnya, baru saja dia menerima telpon dari salah satu petinggi kepolisian mengenai kabar tentang Donni yang diangkat sebagai Kapolres baru Jakarta Utara, pria tua itu kemudian berjalan menuju lemari tua nan antik di dekat layar Tv raksasa, diambilnya sebuah figura dari laci lemari itu, Pria tua itu tersenyum pada sebuah foto yang tersimpan di figura tersebut, disekanya debu halus yang menempel di kaca figura dengan ujung rompi tidurnya.
"Lihat Don, amanatmu telah kulaksanakan, aku berjanji akan menjadikan ponakanmu itu sebagai orang nomor satu di kepolisian, mudah-mudahan umurku panjang untuk bisa melaksanakan amanatmu." Kemudian mata Pria itu berkaca-kaca menatap foto almarhum Frans wenda.
Baginya Frans Wenda bukan hanya anak buah terbaiknya, bukan hanya jendral lapangannya, namun lebih dari itu, frans wenda adalah Teman dan saudara terbaik yang pernah dimilikinya, kematian Frans tujuh tahun lalu membuatnya terpukul, tidak ada lagi orang yang bisa dia andalkan, angannya melayang kembali ke tujuh tahun lalu.
***
Tujuh Tahun Lalu
Pemakaman Frans Wenda
Capo menghadiri pemakaman Frans Wenda, kedua matanya terlihat sembab, di pemakaman Frans, Capo bertemu dengan dua putra Frans, seumur dia kenal Frans, baru kali ini Capo bertemu dengan Kedua putra Frans.
Capo tak pernah mengetahui kejahatan Frans yang telah mencelakai Andi saat itu, dia hanya diberitahu oleh anak buahnya kalau frans meninggal dunia di Surabaya karena sakit, dan terakhir Capo menjumpainya, memang Frans sedang terbaring sakit.
Seusai Pemakaman, Capo menginap di sebuah hotel di Surabaya, disana Capo kedatangan dua orang tamu yang mengaku sebagai pengacara Frans, mereka berkata ingin menyerahkan wasiat Frans pada Capo.
"Mohon maaf kami datang di waktu malam seperti ini, jadi mengganggu waktu istirahat bapak, namun kami mendapat kabar kalau besok bapak akan segera kembali ke Jakarta, jadi kami terpaksa menemui bapak malam ini juga." Ucap salah seorang pengacara tersebut.
Capo memandang kedua orang pengacara di depannya ini, di hisapnya cerutunya dalam-dalam, "sepertinya ada sesuatu yang mendesak, sehingga kalian harus menemui saya malam ini juga." Ujar Capo.
Dua orang pria masuk ke ruangan, sepertinya mereka dari pihak hotel, mereka membawakan minuman dan beberapa makanan kecil untuk kedua tamu Capo itu, setelah meletakkan bawaannya kedua staf hotel meninggalkan ruangan dengan ditemani seorang anak buah Capo.
"Betul pak, saya ingin menyampaikan wasiat dari mendiang pak Frans, ada sebuah kotak kecil yang diamanatkan oleh beliau untuk diserahkan kepada bapak," salah seorang pengacara itu menyerahkan sebuah kotak bujur sangkar bersampul kertas coklat tersegel kepada Capo.
Capo menerima Kotak tersebut dengan pandangan heran, "apa yang diwasiatkan Frans padaku? sepertinya ini sangat penting!" Batin Capo
"Apa ini." Tanya Capo kepada pengacara tersebut.
"Soal isinya, Kami kurang tahu pak, tugas saya sebagai pengacara beliau adalah menyampaikan amanat terakhir dari beliau." Jawab pengacara tersebut.
"Oh ya, mohon bapak tanda tangan serah terima wasiat ini." Pengacara menyodorkan selembar kertas dan pulpen, Capo membaca isi kertas tersebut, lalu mengenakan kaca mata bacanya untuk melakukan tanda tangan.
Setelah selesai serah terima wasiat dari Frans, kedua pengacara itu mohon diri untuk pamit, Capo sungguh tak sabar ingin mengetahui isi di dalam kotak yang dipegangnya ini, dia merasa aneh sekaligus penasaran, hatinya mulai berdegup kencang, Capo yakin ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan Frans, Capo bergegas menuju kamarnya, pada pengawalnya dia minta untuk tidak diganggu apapun alasannya.
Dengan tangan gemetar, Capo merobek sampul yang membungkus kotak, dibukanya tutup kotak tersebut, Ada sebuah kertas bergulung diikat pita, dan sebuah flash disk!
"Apa ini?" Capo semakin heran.
Capo mengambil gulungan kertas tersebut, diguntingnya pita yang mengikat kertas-kertas itu, sebuah surat tulisan tangan Frans!, Capo kenal betul tulisan tangan Frans yang unik. Capo mengambil kaca mata bacanya, dan duduk di kursi, dia mulai membaca isi surat dari Frans.
***
Selamat pagi mas..
Mohon maaf kalau salah, saya gak tau kapan mas membaca surat ini, tapi yang saya pastikan, jika mas menerima dan membaca surat ini, berarti saya sudah meninggalkan dunia ini.
Saya ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan dan bimbingan mas pada saya selama ini, dan kini saya tidak bisa lagi menemani mas untuk kedepannya.
Mas...sejak sakit, saya tak pernah berhenti menangis, bukan karena saya takut mati, kematian adalah sesuatu yang pasti dan tak bisa kita hindari, mas kenal saya kan? Saya tak pantang lari untuk sesuatu yang datang.
Saya menangis karena saya tidak memiliki waktu untuk menyesali perbuatan saya mas, betapa kuat dan kuasanya kita namun saat penyakit datang kita tak bisa berbuat apa-apa, hanya menunggu kematian, di saat itu saya merasa bagai seekor kutu semut yang tengah berhadapan dengan kekuasaan yang sebenarnya yaitu Tuhan.
Bahkan saat sakitpun, saya masih sempat melakukan perbuatan yang sungguh jahat, rasanya saya tak bisa menceritakan apa yang saya maksudkan ini, namun kini hanya penyesalan yang tinggal di diri saya, saya menangis karena saya tidak memiliki waktu untuk mengurangi dosa-dosa saya.
Setiap pagi dalam keadaan sakit, saya ditemani oleh supir saya, dengan berkursi roda, saya melihat betapa indahnya dunia ini, saya melihat pria seusia saya bercanda dengan cucunya, namun lihatlah saya, yang menemani saya, hanyalah seorang supir tua, bahkan saya tak sempat melihat pertumbuhan cucu saya, karena saya dibutakan oleh ambisi dan keserakahan.
Mas....saya tidak pernah menyalahkan mas, malah saya bersyukur bertemu dengan mas, bisa kenal dengan orang hebat seperti mas adalah kebanggaan tersisa dalam raga rapuh saya, sebagai bawahan mas yang selalu setia, izinkanlah saya memohon kepada mas capo...
Tinggalkan semua ini mas saat masih sempat!
Mohon maaf atas kelancangan saya ini mas, namun saya selalu menganggap mas Capo sebagai kakak yang saya sayangi.
Mas saya ada permintaan terakhir, dan saya rasa cuman mas Capo yang bisa saya andalkan untuk membantu saya, tolong bantu keponakan saya mas, saya banyak berhutang budi padanya, saya yakin mas capo tahu apa yang harus dilakukan.
Bersama surat ini, saya juga menitipkan flashdisk catatan kejahatan dan dosa-dosa para petinggi yang sudah saya susun dengan rapih sejak dulu, terserah mas Capo mau dihancurkan atau apa, tapi saya serahkan itu semua sebagai backup mas Capo dalam membantu ponakan saya, saya yakin mas bisa mengerti apa yang saya bicarakan ini.
Demikianlah isi permintaan terakhir ini mas, semoga mas Capo bisa memenuhinya, dan ini adalah interaksi terakhir kita mas, selamat tinggal mas, semoga mas Capo selalu sehat dan panjang umur, sekali lagi, terima kasih atas segala kenangan bersama mas Capo.... selamat tinggal mas..
Salam Hormat selalu,
Frans Wenda
Capo menciumi kertas yang selesai dibacanya itu, punggungnya bergoyang-goyang, Capo menangis terisak-isak, setelah reda tangisannya, Capo menyimpan surat frans dan flashdisk tersebut ke lemari besi di kamarnya.
***