"Siapa yang bertindak nekat?" tanya Christian sambil melihat ke sekeliling rumahnya.
"Ehmm itu tadi ada orang minta sumbangan maksa-maksa, aku takutnya dia bertindak nekat gitu," jawab Laura bohong.
"Ohh, ya sudahlah. Kasih aja yang mereka minta. Dari pada kamu kenapa-kenapa," kata Christian.
"Iya, hehe. Terima kasih kamu sudah khawatir padaku." Laura tersenyum dengan canggung. Dia takut jika suaminaya itu tahu tentang kebohongannya.
"Tentu saja aku khawatir. Kamu kan istriku." Christian memeluk Laura dengan hangat.
Laura tak kuasa menahan harunya saat Christian menyebut dirinya sebagai istri di depannya. Mungkinkah Christian sudah benar-benar berubah?
Sementara itu Aldi yang kembali ke rumah langsung merebahkan dirinya di sofa ruang tamu. Tidak dipungkiri dia masih kesal dengan sikap Laura.
"Sebenarnya apa yang membuat Laura begitu mudah berubah dalam satu malam?" batin Aldi. Dia benar-benar bingung dengan sikap Laura tadi.
Dari dapur ayahnya menghampiri Aldi yang berada di ruang tamu, tangan kanannya memegang cangkir kopi yang masih panas.
"Tumben kamu masih di rumah? Biasanya pagi-pagi sekali sudah kabur," sindir ayahnya sambil duduk di sofa depan Aldi.
Aldi memutar bola matanya seolah enggan berurusan dengan ayah angkatnya tersebut.
"Ngomong-ngomong, aku melihatmu menghampiri wanita yang tinggal di seberang tadi. Apa urusanmu dengan dia?" tanya Pak Lukman.
Aldi sontak terkejut mendengar pertanyaan dari ayahnya itu. Dia lalu bangun dari rebahannya dan duduk menatap tajam ke ayahnya.
"Kenapa kamu melihatku seperti itu? Dasar anak tidak sopan." Pak Lukman balik mendelik ke arah Aldi.
Aldi lalu menurunkan tatapannya. Dia benar-benar enggan berurusan dengan pria tua ini. Akhirnya dia memutuskan untuk berdiri dan berniat pergi dari tempat itu.
"Memang benar pepatah bilang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," kata Pak Lukman tiba-tiba membuat Aldi menghentikan langkahnya dan melirik ayahnya dengan ekor matanya, tapi tak lama dia berniat pergi lagi sebelum akhirnya Pak Lukman mengatakan sesuatu yang benar-benar memancing emosinya kali ini.
"Anak hasil perselingkuhan sekarang jadi selingkuhan orang. Benar-benar menuruni bakat orang tua kamu Aldi," sindirnya.
"Maksud ayah apa mengatakan hal ini padaku?" tanya Aldi penuh emosi. Dia kembali dan menatap ayahnya dengan amarah. Belum selesai permasalahannya dengan Laura kini dia harus berurusan dengan ayahnya.
Untung saja Aldi bukan tipe orang yang ringan tangan. Meskipun selalu di kasari secara fisik oleh ayahnya, tapi dia sama sekali tidak pernah membalas perbuatan tersebut. Jika saja Aldi lelaki yang seperti itu, mungkin ayahnya sudah berakhir di rumah sakit dan dirinya berakhir di dalam jeruji besi.
"Kamu jangan macam-macam selama masih terdaftar dalam Kartu Keluarga ku. Aku nggak mau kamu menjadi aib di keluarga ini. Nggak usah ngelak, karena aku tahu betul seperti apa seorang selingkuhan wanita karena aku pernah mengalaminya. Lebih baik kamu jaga sikapmu!" seru Pak Lukman lalu menyiram secangkir kopinya pada Aldi dan mengenai pundak lelaki itu.
Aldi hanya meringis menahan sakit dan panas karena perbuatan ayah angkatnya tersebut. Sedangkan Pak Lukman tanpa hati langsung meninggalkan Aldi yang masih kesakitan.
Aldi segera menuju kamarnya untuk melepas bajunya. Dia melihat luka bakar di punggungnya akibat air panas mendadak menjadi teringat Laura lagi. Rasa sakit tubuhnya tidak lagi terasa karena yang terasa sekarang adalah sakit hatinya. Sakit hati karena sikap Laura dan sikap ayahnya. Dia tak bisa membayangkan jika Laura benar-benar akan membuangnya. Maka dia tidak akan memiliki siapa-siapa lagi di dunia yang kejam ini.
Setelah berganti baju, Aldi buru-buru meninggalkan rumahnya untuk menuju kafe. Sebenarnya dia sedikit malas karena tidak ada Laura di sana. Awalnya dia masih ingin di rumah dan akan ke kafe sedikit sore tepat di jam kerjanya, tapi karena ulah ayahnya, dia mengurungkan niatnya karena sudah tidak betah berada lama-lama di dalam rumahnya itu.
Pundaknya benar-benar sakit hingga membuatnya tidak mampu untuk menyetir sendiri. Karena itu Aldi memutuskan untuk pergi menggunakan bus umum.
Susah payah ia menerobos sekumpulan orang yang berdiri di dalam bus yang sudah penuh. Sesekali Aldi menahan sakitnya saat ada seseorang yang tidak sengaja menyenggol lengannya yang terasa sakit hingga ke pundaknya yang terluka.
Dan setelah satu jam, akhirnya Aldi sudah sapai di kafe yang langsung di sambut oleh Chintia.
"Hai Al, tumben baru datang? Tapi mana mobilmu?" sapa Chintia dengan ramah seperti biasanya.
"Ada di rumah. Aku tidak sedang dalam mood yang baik untuk menyetir," jawab Aldi asal. Dia tidak mau orang tahu lukanya saat ini.
"Ya sudah kalau begitu. Kamu bantu aku ngelap gelas yang baru aku cuci ya!" seru Chintia lalu menepuk pundak Aldi yang sedang terluka.
"Aaakhhh!!" teriak Aldi kesakitan membuat Chintia terkejut.
"Ke kenapa Al?" tanya Chintia cemas. Dia takut jika Aldi kesakitan karena dirinya.
"Nggak apa-apa kok aku cuma kaget saja," jawab Aldi sambil meringis menahan sakitnya.
"Coba aku lihat pundakmu," kata Chintia dan berusaha menarik baju Aldi.
"Nggak usah! Aku nggak apa-apa," cegah Aldi. Dia langsung menuju tempat-tempat di mana gelas berada dan mulai mengelapnya.
Mendengar Aldi yang berkata tidak apa-apa tak lantas membuat Chintia percaya begitu saja. Dia yakin laki-laki itu sedang terluka saat ini. Karena itulah Chintia diam-diam mengikuti dan mengamati Aldi karena merasa ada yang aneh dengan lelaki itu. Dan benar saja, Aldi seringkali memegangi pundaknnya sambil menahan sakit.
Karena cemas akhirnya Chintia menghubungi Laura untuk memberitahunya hal ini.
"Halo Ra, maaf menganggu hari liburanmu tapi sepertinya ada sesuatu yang terjadi pada Aldi," kata Chintia pada Laura dalam sambungan telepon.
"Sesuatu seperti apa?" Laura balik bertanya karena tidak mengerti dengan ucapan Chintia barusan.
"Sepertinya Aldi terluka pada pundaknya tapi dia nggak mau cerita."
"Kamu serius?" tanya Laura memastikan.
"Iya aku serius. Bisa kamu bantu bujuk supaya dia mau ke rumah sakit Ra? Takutnya parah tapi dia nggak mungkin mau menuruti perintahku. Cuma kamu yang bisa menjinakkan dia Ra.." kata Chintia.
"Ya sudah, nanti aku urus dia." Laura lalu menutup panggilan dari Chintia.
"Ada apa?" tanya Christian penasaran.
Laura memandang Christian yang sedang menyetir di sebelahnya dengan gugup.
"Apa yang harus aku lakukan? Aku khawatir dengan keadaan Aldi. Tapi aku tidak bisa mendadak membatalkan rencana Christian," batin Laura bingung.
Dia terus memandangi lelaki itu karena merasa tidak enak padanya. Padahal baru saja dia menikmati perubahan sikap suaminya yang menjadi lebih baik padanya. Tapi kini dia harus goyah lagi karena Aldi. Laura belum bisa benar-benar meninggalkan lelaki itu karena Aldi juga seseorang yang berarti dalam hidupnya.