Laura yang tadinya keluar kamar dengan penuh hasrat, kini kembali menuju kamar dengan mimik murung. Langkahnya tertatih-tatih seperti tanpa tenaga, hati yang penuh kecewa membuat mata meneteskan airnya.
Tangannya menjulur pada gagang pintu bermotif kupu-kupu untuk memutar knopnya agar terbuka, melepaskan hells yang ia kenakan dan meletakkannya di belakang pintu dalam kamar. Kekecewaan membuat Laura melepas lingerienya dengan menghempaskan kesegala arah. Lamunannya membuat dia berfikir, "Percuma aku memakai baju tidur nerawang dan seksi. Suamiku tidak mengindahkan gairahku."
Langkahnya berlanjut menuju almari berwarna putih tulang, membuka pintunya dengan desahan amarah. Lantas Laura mengambil celana panjang berwarna hitam dan kaos oblong berwarna coklat susu. "Lebih baik aku mengenakan baju-baju seperti ini untuk memejamkan mata. Aku akan menolaknya nanti malam, jika sampai Vans meminta jatah padaku. Biar tahu rasanya bagaimana menahan nafsu." gumam Laura sambil mengenakan kaos pilihannya. "Dia fikir menahan beginian dari pagi itu enak! Lihat saja nanti pembalasan dariku!" Laura yang merasa sangat kecewa terus memikirkan cara agar dendamnya terbalaskan dengan duduk di balkon kamarnya.
***
Vans yabg sedang berada di meja dinner dekat kolam, berteman dengan satu sloki anggur merah. Sejenak ditatapnya sekeliling sebelum pergi berkutat dengan kebangkrutan. Rasa sesak kian menghimpit ketika bayang-bayang kepergiannya lusa akan segera datang.
"Apa harus saya menginggalkan apartemen yang sudah menjadi tempat ternyamanku selama ini?"
Hembusan nafas lelah mengiringi deru nafasnya, bersama dengan itu Vans terpaksa berbohonh dengan suasana hatinya saat ingin memasuki kamar, bahawa saat otaknya masih terlibat dengan kejelasan harta dan tahtanya.
Karena Vans tidak bisa mengindahkan permintaan Laura. Dengan setia menunggui kedatangan istrinya untuk kembali,sembari menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa, di tatapnya langit-langit ruangan terbuka. Entah sudah berapa lama tenggelam dalam lamunan uang jelas ingatannya, berkutat pada kejadian beberapa tahun silam, dimana wanita cinta pertamanya terenggut oleh lelaki lain yang jauh lebih kaya.
Kenangan buruk tersebut masih membekas dihatinya.
"Seandainya waktu dapat diputar kembali, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Aku akan terus mengembangkan perusahaanku, Prasta Grup." Ingatannya pada kejadian meetinh telah menggiring air mata pesakitan menggenang dipelupuk. "Aku sangat menyesal." Lirihnya berpadukan air mata yang terus mengalir membasahi pipi mulus tanpa bisa di hentikan. Tidak ingin ada pelayan yang memergoki, Vans langsung mengusap kasar air matanya. Namun, air matanya tersebut masih setia mengaliri pipi, beriringan dengan langkah kaki yang semakin menjauh.
Sebelum pergi, Vans menyisihkan sisa makanan dan minuman yang dirasa sudah tersentuh.
"Tuan tunggu!" Kejar pelayannya, bersama itu langkah Vans terhenti.
"Maaf tuan, ini makanannya masih banyak. Apakah tuan sudah selesai?"
Yang disambut dengan seulas senyum tipis. Sangat tipis, hingga pelayan tersebut tidak tahu bahwa Vans sedang tersenyum.
"Buat kalian semua saja."
"Tapi tuan, ini sisanya masih banyak."
"Tak apa-apa Bi. Kalau bibinya tidak mau, ya kasih saja ke pelayan yang lain."
Bibi siti, pelayannya masih bengong dengan hidangannya yang masih sangat banyak. "Makanannya sangat banyak, mana muat ini perut?" Lalu kembali di tatapnya punggung tuan Vans yang kian menjauh dari pandangannya." Terimakasih tuan." Teriaknya yang entah terdengar oleh Vans atau tidak yang terpenting dia sudah mengucapkan kata itu.
"Kok senyum-senyum sih, ngopo bi siti?"
"Iya dong. Kita bakal makan besar ini Surti.
"lha kok iso?"
"Ini makanannya masih banyak bi Surti, sama tuan suruh bagi-bagi buat siapa yang mau."
Sembari menjitak kepala bi Siti, Tak ayal bi Siti dibuat kesal sehingga langsung memukul balik.
"Dasar, kamu itu, ada makanan enak yo otake langsung mangan geden." Lirih bi Surti dengan logat khas jawanya, sehingga tidak ada yang mendengar apa yang dia ucapkan.
Ya, benar saja. Saat Vans memuka pintu kamarnya, dia tidak mendapati tubuh seksi istrinya. Entah kemana perginya si Laura, yang jelas Vans dibuat sangat kesal. Umpatan demi umpatn keluar begitu saja ketika yang di hampiri tidak menunjukkan batang hidungnya.
"Kemana sih Laura?" Geram, Vans langsung menhubungi ponselnya, namun ternyata ponsel istrinya berada diatas kasur. "Ish, kemana kamu Laura? Tidak biasanya kamu meninggalkan ponsel begitu saja." Bersama dengan tepukan lembut mendarat di pundaknya, membuat Vans terperenyak.
Seketika menolehkan wajahnya, sehingga beradu tatap dengan mata pelayannya. Vans memuta bola matanya, yang dikira itu adalah Laura, ternyata hanya bibi Surti. Belum juga pulih dengN rasa terkejutnya, bi Surti langsung mengulurkan tangannya dengan suara yang mendenging keras,
"Ini tuan, dompete tuan ketinggalan iki neng meja mangan."
"Apa bibi tidak bisa mengetuk pintu dulu sebelum masuk?" Nada suara Vans terdengar tak bersahabat yang langsung disuguhi dengan mata melotot.
"Anu tuan, lha tadi wes diketoki tuan gak jawab-jawab, yo saya masuk ae tuan." Celoteh bi Surti membuat Vans menggelengkan kepala.
"Ya sudah, terimakasih ya bi Surti. Sekarang cepat keluar dari kamar saya!"
Bibi Surti menyempitkan matanya hingga keningnya berkerut. "Ada apa tuan? Tuan kok galau ngono eneng apa tuan?"
Vans segera menjelaskan, bahwa dia usai berdebat dengan Laura dan sekarang ini belum menemukan Laura ada dimana. Ditambah lagi dengan kebangkrutan yang mengharuskan pergi dari tempat tinggalnya saat ini. Bibi Surti menawarkan untuk lanjut ngobrol yang langsung ditolak oleh Vans.
"Oh, nggeh tuan. Kalau begitu tak temani tuan curhat yo."
"Tidak usah bi. Saya sedang ingin sendiri dulu."
Bibi Surti langsung mengerutkan keningnya," What? Ora biasane tuan begini."
Vans tersenyum, "Iya. Terimakasih niat bibi. Tinggalkan saya bi, saya baik-baik saja.
"Oke tuan. Kalau butul panggil ae tuan. Aku siap siaga nunggu curhatane tuan." Bibi surti menjawab Vans dengan tangan hormat dikepala bagai mau upacara bendera, berlanjut memutar badannya dan segera melangkah meninggalkan kamar Vans.
Tanpa sengaja iris coklat Vans kembali meneteskan air mata. Iya, bi surti adalah pelayan paling lama, dia adalah baby suster Vans kala bayi. Sehingga tertatih-tatihnya Vans, bi Surtilah yang paling mengetahui sebelum kedua orang tuanya.
Terdengar suara isak tangis dari arah balkon. Vans menlangkahkan kakinya perlahan, tersentak mendapati istrinya duduk di sudut balkon sebelag kiri, kepalanya bersandar pada besi-besi berjarak. Vans mendekati Laura, "Maafkan atas sikapku sayang."
Laura mendengur kesar, "Sudahlah, lupakan saja keinginanku."
"Maafkan aku istriku. Aku masih berkecimung dengan fikiranku." Sembali mengambil tubuh Laura untuk disandarkan pada dadanya. Gerakan tangan Vans yang hendak menenangkan tertangguhkan oleh Laura, yang sengaja menolak niat dari Vans.
Kedatangan Vans ke balkon disambut tidak sekalipun dengan bibir ranum Laura mengulas senyum. Bibir tipis berpadukan warna peach itu masih saja membentuk garis lurus.
Kulit putih pucat berpadukan wajah datar tanpa ekspresi, menciptakan rasa mencekam saat mata memandang. Jika tidak mengenal Laura dengan sanat baik pasti akan berfikir bahwa dia ini wanita angkuh dengan seribu sikap diamnya.