"Lo?! Lo yang kemarin itu kan? Anak baru? Em... Kowali? Ngapain lo di sini? Kenapa ada di sini? Seharusnya lo ada aula gedung utama kan?".
Orang itu melontarkan beberapa pertanyaan langsung ke Oakley. Oakley jadi bingung dengan apa yang akan dia lakukan. Pertanyaan yang tadinya akan dia tanyakan ke orang itu jadi terlupakan, sedangkan sekarang dia sibuk mencari kata-kata untuk menjawab pertanyaan orang itu.
"Eh!? Emm..., I-iya saya yang kemarin-..", belum selesai Oakley dengan jawabannya, orang itu memotong kata-katanya.
"Masih terlalu formal aja, lo, gue bilang santai aja! Ga perlu terlalu formal gitu!".
" Oh! B-baiklah..", Oakley mencoba untuk menyesuaikan diri dengan keadaan.
Setelah mendengar konfirmasi dari Oakley, orang itu pun akan mulai berkata lagi, namun kali ini mulut Oakley bergerak lebih cepat untuk menanyakan keadaan yang membuatnya penasaran tersebut.
"-apa yang sebenarnya terjadi di sini? Sejak tadi gue ga liat ada seorang pun di mana-mana, bahkan setelah waktu kelas sore berakhir pun tak ada orang yang berkeliaran, meski cuma ke kantin, ditambah lagi semua toko di kantin gak ada yang buka, ini bukan hari libur kan?".
Oakley dengan seriusnya bertanya untuk mendapatkan informasi yang dia perlukan untuk mengisi keingintahuannya itu.
"Eh?! Hmm... Gimana ya ngejelasinnya?! Oh! Terlebih penting, sekarang kita pergi dari sini dulu aja! Sudah makin gelap di sini!...".
Orang itu mengajak Oakley pergi dari tempat itu karena hari mulai gelap, dan disana tidak ada lampu penerangan sama sekali, paling tidak tidak ada yang menyala, karena semua lampu terlihat rusak. Namun Oakley terlihat seperti tidak sabar untuk mendapat jawaban yang pasti.
"Gue perlu jawaban itu sekarang!".
"Ok! Gue jelasin sambil jalan, sekarang kita ke aula gedung utama dulu aja", kembali orang itu meminta Oakley untuk segera meninggalkan tempat itu.
"Tadi ada suara teriakan cewe dari arah sini!", Oakley masih terhenti untuk memberitahukan sesuatu.
"Kalo gitu kita harus lebih cepat ke aula utama!", Orang itu menarik tangan Oakley dengan sedikit agak berlari untuk meninggalkan tempat itu.
Mereka berdua pun meninggalkan tempat itu dengan berlari, mereka menuju aula gedung utama dari kampus itu. Di perjalanan menuju kesana orang itu memberikan sedikit informasi kepada Oakley.
"Saat ini adalah saat untuk berlindung. Semua orang seharusnya berada di aula utama, karena disana adalah tempat teraman untuk berlindung. Emangnya lo ga denger suara bel tadi pagi? Bel itu adalah tanda untuk semua orang yang ada di lingkungan kampus untuk berlindung. Semua baru boleh keluar kalo pihak keamanan udah bilang aman. Karena itu untuk sementara waktu gak ada yang boleh berkeliaran di area kampus karena itu bahaya...", orang itu menjelaskan.
" Bahaya?! Bahaya apa?".
"Bahaya apa?! Tentu saja bahaya oddies!".
" Oddies? Apa itu?".
" Oddies itu... Yaa oddies! Masa lo gak tau!?".
Oakley memasang wajah yanh serius, menandakan bahwa dia benar-benar tidak tahu.
"Lo beneran gak tau?".
Orang itu kembali bertanya dengan wajah yang sedikit kaget. Oakley hanya diam dengan ekspresi wajah yang tak berubah.
"Oh, ya! Tentu saja! Keberadaan mereka juga masih sangat rahasia... Ahaha...".
Orang itu tiba-tiba teringat akan sesuatu dan seketika membuat nada suaranya menjadi perlahan mengecil hingga tak terdengar oleh Oakley.
"Apa? Apa yang kau katakan barusan?".
Oakley meminta orang itu untuk mengulangi kata-katanya barusan karena dia tidak dapat mendengar dengan jelas.
"Emm, intinya oddies itu berbahaya dan untuk sekarang, kita harus bergabung dengan yang lain di aula pengungsian, di gedung utama...".
Bersama dengan kata-kata itu, mereka berdua akhirnya sampai di depan gedung utama kampus. Mereka pun masuk ke dalam gedung. Begitu masuk, keadaan di dalam terlihat tidak ada orang sedikit pun. Oakley bertanya kepada orang itu, tentang keberadaan orang-orang yang katanya berada di aula gedung, padahal tidak ada seorang pun di sini.
"Dimana orang-orang? Bukankah seharusnya mereka disini?".
" Semua orang ada di ruangan itu! Ayo ke sana!", orang itu menunjuk ke arah sebuah pintu besi yang terlihat cukup modern, lalu mengajak Oakley kesana.
Sebelum mulai melangkah ke arah pintu yang berada di ujung aula tersebut, Oakley teringat akan suatu secara tiba-tiba. Dia ingin menanyakan nama dari orang itu.
"Tunggu! Ada yang ingin gue tanyain! Sejak kemarin kau belum memperkenalkan dirikan?".
Seketika orang itu berhenti lalu membalikkan dirinya ke hadapan Oakley.
"Oh! Benarkah? Maaf kalo begitu... Baiklah, biar ku perkenalkan diri ku, nama ku Viestrange Cole, semester 2 jurusan guru pendidikan, aktif di kegiatan bela diri persatuan kampus...~", dan masih terus berlanjut. Oakley hanya bisa terdiam, dia mulai terheran melihat orang itu yang tiba-tiba jadi sedikit agak formal meskipun sejak awal dia selalu meminta supaya bersikap tidak terlalu formal, aneh.
Untuk beberapa saat orang itu memperkenalkan dirinya dengan sangat detailnya, hingga Oakley tidak dapat kesempatan untuk memotong kata-katanya itu. Namun beberapa menit kemudian, akhirnya dia selesai dengan perkenalan dirinya.
"Ehehe... Begitu, Viestrange Cole ya? Jadi kau biasa dipanggil Cole kan?", Oakley jadi sedikit bingung untuk mengatakan apa yang sebenarnya iya ingin katakan.
"Tidak! Jangan nama itu! Viestrange! Viestrange lebih baik!", Orang itu menolak cara Oakley memanggilnya.
"Oh! Vie---strange(aneh)...?", Oakley mencoba mengkonfirmasi.
" Ya, begitu! Seperti aku memanggil mu menggunakan nama depan mu,... Emh... Ugly(jelek)? Begitu!", Orang itu meminta Oakley memanggilnya dengan nama depannya, namun untuk yanh kesekian kalinya, caranya menyebutkan nama Oakley selalu salah.
"Oakley!", Oakley membenarkan.
"Okey!?", Orang itu mencoba mengulangi cara Oakley menyebutkan namanya.
Oakley!!", Oakley sedikit agak dengan nada tinggi.
Untuk beberapa kali mereka berdebat tentang hal itu. Sampai akhirnya mereka mencapai kesepakatan.
"Oai!!!?", Orang itu menggunakan nada marah saat pengucapannya.
"Hhh!... Terserah kau sajalah!!", Oakley menyerah dengan perdebatan itu.
"Ok! Oai! Sudah diputuskan sekarang aku akan memanggilmu, Oai!... Hm! Kalo begitu untuk mempermudah mu juga! Panggil aku Vie saja mulai dari sekarang! Karena Viestrange sebenarnya terdengar cukup aneh buat ku sekarang ini...", Orang itu, Vie, menetapkan bagaimana mereka saling memanggil.
"Kubilang terserah kau saja! Jangan buat hal-hal lain menjadi lebih aneh lagi!", Oakley, Oai sekarang, mencoba menahan rasa kesalnya.
"Ada apa dengan mu kenapa kau terlihat kesal begitu!?".
Mereka berdua terus berbicara dengan suara yang cukup besar di tengah-tengah aula gedung kampus yang sepi sampai seketika, tiba-tiba suara seseorang berteriak ke arah mereka dari pembatas lantai 2 gedung yang menghadap aula lantai 1.
"Hentikan perdebatan konyol kalian itu dan segera masuk ke ruang pengungsian sekarang! Saat ini masih belum aman untuk berkeliaran di luar... Kalian mengerti!".
Kata-kata itu berasal dari seorang yang Oai kenal, seorang yang pernah menolongnya saat dia dipalak di dalam gedung asrama saat hari pertamanya. Salah seorang pengajar di kampus itu.
"Baik, Master Wesh-- maksud ku, baik, pak Wallace! Kami akan segera masuk ke ruang pengungsian...".
Jawab Vie menanggapi teguran pengajar itu sambil menarik Oai untuk segera masuk ke ruangan pengungsian. Dan bersamaan dengan itu si pengajar itu pun pergi ke arah lain di lantai dua gedung meninggalkan mereka berdua.
Dengan menggunakan kartu tanda pengenal pelajar yang digunakan sebagai akses untuk membuka pintu besi modern itu, Vie membuka jalan menuju ruangan pengungsian. Setelah pintu terbuka, terlihat lorong dengan anak tangga menuju ke bawah. Mereka pun bergegas masuk sebelum pintu besi modern itu tertutup kembali. Selama menuruni tangga, Oai bertanya pada Vie tentang pengajar tadi karena ada hal yang membuat dia penasaran tentang suatu hal.
"Hei, Vie! Tentang pengajar tadi, siapa sebenarnya dia? Bukankah seharusnya dia juga masuk ke ruangan ini juga?".
" Dia adalah pak Wallace Hillman, pengajar bidang sosial, em, atau hukum, aku jarang melihatnya mengajar, tapi dia sering berpatroli ke seluruh wilayah kampus untuk mengecek keadaan sekitar. Akhir-akhir ini, dia jadi bahkan tak pernah terlihat mengajar sama sekali karena dia lebih sering turun lapangan untuk mengecek keadaan sekitaran kampus, mendisiplinkan para pelajar yang menyimpang atau kau tau, memantau keberadaan oddies... Oops! Sebaiknya kau jangan pernah bilang hal ini kepada siapa pun, atau aku akan kena masalah nanti, kau mengerti!", Jelas Vie.
" Oh! B-baiklah, aku mengerti... Ngomong-ngomong tentang oddies, seperti apa bentuk oddies ini? Apakah mereka sangat menyeramkan atau menakutkan- eng, maksudku sadis dalam artian ini...", Oai bertanya tentang oddies kepada Vie.
"Kau benar-benar tidak mengetahui apapun tentang oddies? Walaupun keberadaan mereka masih dirahasiakan federation, tapi sudah banyak orang yang membicarakannya dimana-mana kan? Apa kau tidak pernah mendengarnya?".
Untuk yang kesekian kalinya, Vie mempertanyakan pengetahuan Oai tentang oddies. Dia sedikit tidak percaya bahwa Oai tidak pernah mendengar tentang oddies. Keberadaan oddies memang masih dirahasiakan bahkan oleh Federation, namun pembicaraan tentang oddies sudah banyak menyebar dikalangan penduduk biasa dengan berbagai nama lain, terutama di wilayah Baratside.
Sementara Oai terus mencoba mengingat dikalau dia pernah mendengarnya atau tidak, perjalanan mereka menuruni anak tangga menuju ruang pengungsian sampai di anak tangga terakhir, mereka sampai di bawah, di depan mereka terpampang pintu besar yang tertutup rapat. Perlu kartu akses untuk membuka pintu itu. Dengan segera Vie menggunakan kartu tanda pengenalnya untuk membuka pintu itu. Pintu pun terbuka dan terlihat semua orang di dalamnya. Sebagian dari mereka melihat ke arah mereka berdua. Seketika mereka berdua terdiam. Melupakan perbincangan yang tadi mereka lakukan.
"Lihat! Itu pasti mereka! Orang-orang aneh itu pasti oddies! Semenjak kedatangan mereka, kampus ini jadi terdeteksi sebagai tempat kemunculan oddies!".
Seseorang berteriak ke arah mereka berdua beberapa saat setelah mereka masuk ke ruang pengungsian. Orang itu Argo, dia menuduh Oai dan Vie adalah oddies yang datang ke kampus yang akan membuat kekacauan dan kerusakan di kampus itu.
"Argo, hentikan! Jangan asal menuduh seseorang tanpa bukti yang jelas".
Pengajar wanita yang berada di antara mereka, mencoba melerai untuk membuat situasi menjadi tenang, karena berkat teriakan Argo, situasi yang sudah cukup menegangkan, menjadi lebih runyam.
"Coba ingat! Sebelum kedatangan si rambut aneh ini beberapa bulan lalu, kampus ini adalah kampus yang teraman di seluruh wilayah Baratside ini. Lalu dia datang! Beberapa waktu berselang, kemunculan oddies terdeteksi ada di wilayah sekitar kampus. Bukankah itu sudah cukup jelas? Sekarang ada si botak ini, baru beberapa hari saja sudah menunjukkan kemunculan oddies lain di kampus ini. Lihat sekarang, mereka berteman akrab seperti itu, menghilang sedari semalam saat tanda peringatan dibunyikan, dan sekarang mereka baru kembali, bukankah sekarang sudah lebih jelas. Bagaimana menurut kalian semua? Apakah kalian ingin satu per satu dari kalian hilang setiap kemunculan oddies itu berlanjut, seperti akhir-akhir ini?", lanjut Argo menjelaskan sembari meminta pendapat orang-orang di sekitar.
"Cukup Argo! Hentikan omong kosong mu itu!!".
Pengajar wanita itu membentak Argo dengan keras, membuat Argo berhenti berbicara lagi. Namun keadaan setelah itu malah menjadi lebih berisik. Orang-orang mulai berpikir tentang perkataan Argo barusan, dan mereka mendiskusikannya dengan orang di sampingnya, masing-masing dari mereka membicarakan hal itu hingga akhirnya mereka terlihat setuju dengan ucapan Argo itu. Merasa diatas angin, Argo pun kembali memperpanas suasana.
"Apa kalian mau berlindung di satu tempat bersama dengan para oddies ini? Ku pikir kalian pun tak akan setuju kan?", Argo mulai berkata-kata lagi.
" Hei! Kau salah! Kami bukan oddies! Kami hanya tersesat tadi, maksudku, aku hanya mencari keberadaan Oai tadi, dan aku menemukannya tersesat di gedung belakang, makanya aku bawa dia kesini sekarang", Vie mencoba memberi penjelasan.
" Apa kalian percaya kata-kata darinya?".
Argo menganggap kata-kata dari Vie hanyalah sebuah alasan, dan dia membuat semua orang disana berpikir demikian pula. Semua orang pun mulai berpikir kalau Vie dan Oai adalah benar-benar oddies.
"Keluar kalian! Kami tak mau ada kalian disini! Keluar! Keluar!!".
Argo menyuruh Vie dan Oai untuk keluar, dia mengajak orang-orang untuk meneriaki mereka untuk keluar dari ruangan itu, dan mereka pun beramai-ramai meneriaki mereka berdua. Pengajar yang berada diruangan itu pun tidak dapat berbuat apa-apa selain diam melihat kejadian itu. Suara mereka semua membuat ruangan itu jadi bising. Kata-kata pembelaan yang keluar dari Vie tak dapat terdengar lagi. Sedangkan Oai hanya bisa terdiam mendengar semua itu, hingga beberapa waktu kemudian dia memutuskan untuk pergi keluar dari ruangan itu. Dia pun berbalik ke arah pintu dan keluar tanpa kata-kata. Vie mencoba mengejarnya. Setelah mereka berdua pergi, pintu ruangan itu pun tertutup kembali.
"Hei! Mau pergi kemana kau? Di luar tidak aman!", Vie menanyakan tujuan Oai pergi sesaat dia dapat mengejarnya di tangga naik itu.
"Kembali ke kamar di asrama", jawab Oai singkat.
Lalu mereka berdua terhenti ketika pintu besar berada di hadapan mereka. Oai merogoh kantung celananya, mengambil dompet miliknya, lalu mengeluarkan kartu tanda pengenal miliknya untuk digunakan sebagai akses membuka pintu besi itu. Pintu pun terbuka, Oai terus berjalan tanpa kata-kata. Vie mengikutinya. Terus sampai keluar gedung utama kampus tersebut. Lalu ditengah perjalanan Oai mulai bicara kepada Vie.
"Apa kau akan ke kamarmu juga?".
"Huh?! Emm, aku tidak tinggal di asrama".
" Oh! Rumahmu ada disekitar sini?".
" Bisa dibilang begitu... Ngomong-ngomong, yang Argo katakan itu tidak benarkan? Kau bukan oddies kan?".
Mendengar pertanyaan Vie tersebut, Oai berhenti berjalan. Mereka berhenti ditengah jalan di depan gedung utama.
" Huh!? Aku bahkan tidak tau apa itu oddies, aku juga baru mendengarnya baru-baru ini... Apa oddies seperti diriku ini?".
" Ah! Tidak! Tidak begitu! Maksudku, kalau kau memang bukan oddies, kenapa kau pergi dari tempat pengungsian tadi?".
Vie mencoba mengklarifikasi kesalah pahaman Oai dengan pertanyaannya barusan. Namun Oai malah lanjut berjalan, lalu memberi penjelasan kepada Vie tentang tindakannya tadi.
"Walaupun aku sudah bilang aku bukan oddies, dan tetap berada di sana, pandangan mereka tentang perkataan Argo tersebut tidak akan berubah terhadapku, aku tidak memiliki bukti yang bisa kutunjukkan kepada mereka. Ditambah sejak awal aku datang ke kampus ini pun, aku sudah tidak nyaman dengan pandangan mereka terhadapku. Mungkin seharusnya aku tidak pindah atau keluar saja dari kampus ini, tapi aku tidak punya pilihan lain, aku dapat kesempatan untuk meneruskan program belajarku secara gratis karena suatu pihak, dan aku tidak boleh menyia-nyiakannya. Kalau cuma hal seperti ini, bukan apa-apa untuk masa depanku nanti. Aku sudah terbiasa sendiri tanpa teman sejak dulu, jadi ini bukan apa-apa".
"... Kalau cuma teman, kita bisa berteman, aku pun tidak memiliki begitu banyak teman".
Bersama kata-kata Vie itu, tak terasa perjalanan mereka pun telah sampai di depan gedung asrama. Dan menanggapi kata-kata Vie barusan, Oai pun tersenyum.
"Baguslah kalau begitu...".
Lalu mereka pun masuk ke dalam asrama. Setibanya di aula bersama dari gedung asrama tersebut, Vie mulai berbicara lagi.
"Ini pertama kalinya aku masuk gedung asrama ini. Mereka punya banyak permainan di aula ini ya!?".
Vie terlihat antusias melihat beberapa fasilitas permainan yang ada di aula tersebut. Dia mulai bermain permainan yang ada disana. Untuk Oai, dia tidak pernah datang ke aula tersebut, karena selalu ramai dipenuhi dengan penghuni-penghuni lain, terutama Argo dan perkumpulannya.
"Em, aku akan pergi ke kamarku dulu", Oai berkata demikian seraya meninggalkan Vie sendiri di aula itu.
Vie cukup menikmati fasilitas permainan di aula itu hingga tidak terlalu mempedulikan Oai lagi. Oai pun pergi ke kamarnya. Asrama itu sangat sepi, ditambah dengan hari yang sudah memasuki waktu malam, membuat suasana benar-benar senyap. Selain keributan di area aula yang baru saja dibuat ramai oleh Vie sendirian. Setiap sudut gedung asrama sangat sunyi.
Oai sampai di depan kamarnya. Tanpa sengaja dia melihat ke arah tangga untuk ke lantai atas yang tepat berada di depan lorong kamarnya. Disana terlihat lebih gelap dibandingkan lorong yang baru saja dia lewati. Lampu yang menempel di dinding tidak seterang lampu penerang jalan atau lampu yang berada di aula tadi. Oai hanya melihat sekejap lalu masuk ke kamarnya. Dia belum pernah pergi ke lantai atas, tetapi bukan berarti dia ingin kesana sama sekali.
Di dalam kamar, Oai melihat ke sekeliling kamar mencoba mengamati jika ada sesuatu yang aneh, tetapi dia tidak menemukan hal aneh apapun. Lalu secara reflek, dia berjalan ke kasurnya dan langsung merebahkan dirinya. Kejadian yang terjadi hari itu sejak siang tadi atau bahkan awal pagi, membuat tubuhnya kelelahan hingga dia tak dapat menahan saat sudah bersentuhan dengan kasurnya. Diapun menutup matanya, tertidur. Namun saat dia tersadar, dia langsung membuka matanya mengingat saat itu adalah waktu yang genting dan bukan waktunya bersantai-santai. Dia langsung beranjak dari tempat tidurnya, dengan tergesa-gesa. Pikirannya penuh dengan tanya, " Apakah aku ketiduran?", "Sudah berapa lama aku ketiduran?", " Jam berapa sekarang?".
Oai segera ingin mengambil mobile devicenya, namun tiba-tiba dia merasakan sesuatu hal lain melintasi dirinya. Suatu perasaan yang familiar, dia pikir dia pernah merasakan hal ini sebelumnya. Suatu perasaan yang sama dari aura yang terjadi tadi pagi lebih tepatnya.
"Perasaan ini!!?".
Seketika Oai merasakan hal yang sama seperti sebelumnya. Rasa sakit di kepala yang sangat menyakitkan. Oai menggeram menahan sakit itu, sesekali teriakannya terlepas karena dia tidak dapat menahannya. Dia tetap sadar ketika merasakan kesakitannya itu. Dia berputar mengelilingi kamarnya. Sekilas dia melihat sosok di luar jendela kamarnya itu bersamaan dengan suara teriakan wanita, namun pada saat itu dia tidak dapat berfokuskan pada hal lain selain rasa sakit di kepalanya itu. Hingga beberapa saat kemudian rasa sakit pun mulai menghilang perlahan hingga benar-benar hilang. Dia tidak merasakan sakit itu lagi, lalu dia tergeletak di kamarnya itu, meskipun dia masih tersadar saat itu. Beberap menit berselang seseorang datang menghampirinya. Orang itu Vie, dia masuk ke kamar Oai yang pintunya tidak tertutup itu. Sejak awal Oai memang hanya berpikir untuk mengecek keadaan kamarnya lalu kembali ke aula dimana Vie berada, karenanya dia tidak menutup pintu kamarnya.
"Hei! Kau tidak apa-apa? Apa yang terjadi?", Vie menghampiri Oai.
" Ugh! Entahlah, tiba-tiba saja kepalaku terasa sakit sekali", jawab Oai seraya mencoba bangun, Vie membantunya.
"Penyakitmu kambuh?".
Setelah itu mereka berdiri, Vie mencoba mencari tahu sebab Oai terkapar di lantai kamarnya itu. Namun Oai hanya menggelengkan kepalanya sembari berjalan ke arah jendela kamarnya, satu-satunya jendela yang menghadap ke arah luar bangunan yang berada di kamarnya itu. Dia coba memandangi seluruh wilayah luar yang terlihat dari jendela itu, tapi tidak ada apa pun yang dia cari disana. Lalu, karena penasaran, Vie pun mendekat dan ikut mencoba melihat ke arah luar dari jendela tersebut.
"Kau lihat apa?", tanya Vie.
"Aku pikir tadi aku melihat sesuatu ada di luar sana".
" Hei, apa mungkin itu oddies yang berkeliaran di sekitar kampus ini? Ini bahaya! Mungkin sebaiknya kita kembali ke gedung utama kampus!".
" Aku merasa tidak enak dengan mereka yang di pengungsian, keberadaanku di sana hanya akan membuat mereka tambah khawatir dengan keamanan mereka. Aku tidak akan ke sana!".
" Paling tidak sebaiknya kita berada di dalam gedung utama kampus, di sana masih ada beberapa pengawas dan penjaga yang dapat melindungi kita dari oddies yang berkeliaran, setidaknya disana lebih aman dari pada di sini. Bagaimana menurutmu?".
Vie memberi saran agar mereka berdua pergi ke gedung utama kampus karena di sana lebih aman dibanding gedung asrama. Tanpa kata-kata, Oai bergerak keluar kamarnya. Lalu Vie segera mengejarnya keluar dan menutup pintu kamar Oai sebelum dia sedikit berlari mengejar Oai yang berada di depannya untuk menyusulnya. Setelah menyusul Oai, Vie berhenti di tengah lorong itu untuk melihat cermin yang panjang yang berada di dinding samping lorong.
"Wow! Cermin ini besar sekali! Aku tidak sadar kalau ada cermin selebar ini tadi saat lewat sini", Vie berkata pada Oai sembari melihat dirinya sendiri di cermin tersebut.
"Oh! Cermin ini memang sering tidak terlihat karena memantulkan dinding di depannya yang membuatnya jadi tersamarkan", Oai menjelaskan ketika berhenti tepat di belakang Vie yang sedang berkaca, sambil menunjukkan dinding di belakangnya yang bermotif sama dengan dinding cermin itu. Membuatnya menjadi tersamarkan.
"Kau benar! Motifnya terpantulkan oleh cermin ini, jadi terlihat seperti tidak ada cermin disini", Vie memperhatikan segala yang di pantulkan cermin itu, selain pantulan dirinya di cermin, motif dinding yang saling berhadapan itu membuat cermin itu berkamuflase.
"Ayo pergi!", sembari menepuk pundak Vie dari belakang, Oai berjalan meninggalkan Vie sendiri di hadapan cermin itu.
"Ok!".
Setelah puas memandangi dirinya di cermin, Vie pun pergi mengejar Oai. Dari belakang, Vie melihat Oai dengan bajunya yang cukup cerah membuatnya agak bersinar di ruangan yang sedikit agak redup itu. Lalu ada sedikit hal yang mengganggu pikirannya dalam seketika. Dia coba memikirkannya, namun dia tidak dapat menemukan apa hal yang mengganggunya itu. Lalu dia membiarkan pikirannya dan berfokus mengikuti Oai.
Setelah mereka berdua keluar dari gedung asrama, mereka melihat daerah sekitar, waspada akan oddies yang berkeliaran di sekitar kampus saat itu. Keadaan terlihat sepi tanpa ada pergerakan apapun, bahkan angin pun tidak begitu terasa malam itu. Mereka pun berjalan ke arah gedung utama kampus. Di tengah perjalanan, mereka mendengar suara jeritan wanita dari arah lain dari gedung utama. Seketika, Oai malah berlari ke arah jeritan wanita itu, menjauh dari gedung utama.
"Hey! Apa yang kau ingin lakukan!?!", Vie berteriak ke arah Oai.
Akan tetapi Oai tidak berhenti dan terus berlari ke arah jeritan tersebut. Tanpa pikir panjang lagi, Vie pun berlari mengejar Oai. Mereka berlari ke arah kantin. Dan ketika sampai di sana, Oai berhenti, karena tidak melihat seorang pun di sana. Sesaat kemudian Vie sampai.
"Hey! Apa yang kau pikirkan? Ini sangat berbahaya kau tahu!?", Vie terdengar membentak di sela-sela nafasnya yang ter engah-engah.
" Aku mendengar wanita berteriak, aku pikir dia perlu bantuan", jawab Oai, yang juga kelelahan setelah berlari cepat barusan.
"Ya, aku juga mendengarnya, tapi... Ini berbahaya kau tahu?! Kita seharusnya berada di gedung utama karena di sana lebih aman", kembali Vie memberitahukan hal yang seharusnya mereka lakukan.
"Di gedung utama lebih aman karena ada para penjaganya kan? Hey, apakah ada penjaga yang berpatroli di seluruh wilayah kampus?", Oai bertanya dengan serius.
"... Em, seharusnya sih ada, tapi karena berita tentang oddies masih simpang siur, pihak keamanan utama hanya mengirim sedikit sekali petugasnya untuk melindungi kampus ini, dan untuk memaksimalkan peindungan mereka semua ada di gedung utama selama waktu darurat, dan baru mulai mengecek seluruh wilayah kampus setelah keadaan mulai membaik... Jadi, untuk sekarang, sepertinya tidak ada yang berpatroli...", Jelas Vie kepada Oai dengan nada yang terdengar sedikit kecewa.
"Kalau begitu orang yang tidak berada di gedung utama tidak mendapat perlindungan jika diserang oddies, begitu? Berarti wanita yang berteriak tadi dalam bahaya!", Ujar Oai menyimpulkan keadaan.
" Ya, kau benar, tapi kita juga dalam bahaya, kau tau!?", Balik Vie kepada Oai.
Tepat saat Vie memperingatkan Oai kalau mereka pun juga dalam bahaya, suara jeritan wanita itu kembali terdengar.
" Hmm, kau bisa kembali ke gedung utama sendiri, mungkin kau bisa meminta bantuan penjaga ke sini... Aku akan mencoba mencari orang yang berteriak itu..".
Tanpa menunggu jawaban dari Vie, Oai langsung berlari ke arah teriakan itu. Dan lagi, Vie tidak dapat melakukan apapun untuk menghentikan Oai, namun mengingat saran yang di katakan Oai, Vie pun langsung pergi ke ke gedung utama. Membiarkan Oai pergi sendirian ke arah teriakan itu.
Oai terus berlari ke arah teriakan itu. Dan teriakan itu diduga dari bangunan belakang area kampus itu. Oai mempercepat larinya. Beberapa menit kemudian dia sampai di area yang familiar, tempat yang tadi sudah sempat dia datangi sebelum akhirnya bertemu dengan Vie dan diajak ke gedung utama. Oai berhenti sejenak, menghilangkan rasa ragu yang datang tiba-tiba. Namun dia mencoba terus berjalan menuju persimpangan ke arah jalan setapak bangunan yang terbengkalai itu. Beberapa saat kemudian, dia sampai di persimpangan itu. Dia terdiam melihat ke arah jalan setapak menuju bangunan terbengkalai itu. Dia melihat seseorang tergeletak di tengah jalan setapak itu. Oai bergerak dengan cepat menghampiri orang itu, wanita itu.
"Hei!".
Oai mencoba membangunkan wanita itu. Beberapa saat kemudian, wanita itu pun membuka matanya perlahan-lahan.
"Hei, apa yang terjadi padamu?", Oai menanyakan keadaan wanita itu sesaat wanita itu terbangun.
"Uuh... Mm...", Wanita itu sepertinya masih sulit berbicara.
"Em, hei! Apa kau bisa jalan? Sebaiknya kita pergi ke gedung utama untuk mengungsi, mungkin masih ada oddies yang berkeliaran di sekitar sini".
Oai menyarankan untuk pergi ke tempat pengungsian karena wilayah sekitar kampus masih belum aman. Wanita itu membalas perkataan Oai dengan anggukan kepala sembari berusaha untuk bangun dan berdiri, dan Oai mencoba membantunya. Setelah itu mereka mulai berjalan menuju gedung utama, mereka berjalan pelan karena Oai mencoba mengimbangi jalan wanita itu yang masih tertatih-tatih. Keadaannya kurang baik. Dan karena itu, Oai mempertanyakan apa yang terjadi kepada wanita itu, sekaligus memecah kesunyian dan keheningan suasana yang ada.
"Em, hey, apa yang telah terjadi padamu?".
Oai menunggu wanita itu untuk menjawab, tetapi dia terlihat tidak mau menjawab pertanyaan itu seraya dia memalingkan pandangannya ke arah lain. Oai berpikir mungkin dia tidak ingin menceritakan apa yang terjadi kepadanya, jadi Oai mencoba menanyakan hal yang lain.
"Em, siapa namamu? Oh, namaku Oakley, tapi kau bisa memanggilku Oai, temanku Vie memanggilku begitu, aku baru pindah ke kampus ini beberapa hari yang lalu dan oh! Maaf, aku terlalu banyak bicara".
Oai memulai dengan memperkenalkan dirinya terlebih dahulu, namun sepertinya dia terlalu banyak bicara hingga membuat wanita itu menjadi tidak nyaman, wanita itu tiba-tiba menjauhkan dirinya dari Oai yang mencoba membantu menopangnya untuk berjalan. Oai meminta maaf kepada wanita itu karena dia tidak ada maksud lain selain membantunya untuk berjalan. Untuk beberapa saat mereka hanya terdiam, hingga wanita itu mulai mengeluarkan kata dari mulutnya.
"Lesty...", kata yang keluar dari wanita itu.
"Maaf, apa yang barusan kau katakan?", Oai meminta wanita itu mengulang kata-katanya karena tidak terdengar jelas dan Oai tidak mengerti maksud dari wanita itu.
"Lesty! Namaku Lesty! Kita berada dikelas yang sama kemarin-..".
Wanita itu mempertegas suaranya, namun tiba-tiba ada suara keras lain yang membuat mereka berdua kaget.
"AWAS!!".
Bersamaan dengan suara keras peringatan itu, suatu benda melayang melewati mereka berdua, terus melesat ke arah belakang mereka. Sontak, mereka pun kaget dan melihat seseorang datang dari hadapan mereka berdua, orang itu adalah orang yang mereka kenal, pengajar Wallace Hillman. Setelah itu disusul dengan suara aneh seperti sebuah benturan antara dua benda lalu jeritan hewan yang kesakitan, dan dilanjutkan dengan suara benda yang terjatuh ke tanah.
"Jangan menengok ke belakang! Dan berlarilah ke gedung utama!", Wallace memerintahkan mereka berdua untuk pergi dari sana.
Namun perintah itu malah membuat Oai menjadi penasaran dan ingin melihat ke arah belakangnya. Seketika itu dia menengok ke belakangnya dan melihat suatu sosok terjatuh di tanah yang hanya beberapa meter dari jarak mereka itu. Sosok itu berbentuk aneh, mirip seperti bintang lau dengan setiap ujungnya yang runcing tajam, sebesar ukuran manusia, di setiap persendianya terdapat celah antara tubuh tajamnya, dan juga terlihat sosok itu memiliki dua mata di salah satu bagian dari lima bagian dengan sudur runcingnya itu. Dan di saat itu pula sepertinya sosok itu mencoba untuk bangun kembali dengan susah payahnya. Oai memperhatikannya dengan sangat serius sampai bentakan Wallace memecah keseriusannya.
"Hey! Kau ingin mati di sini?! Segera pergi ke gedung utama! Sekarang!!", Wallace berteriak memberi perintah.
" Oh! Baik, pak! Em, tapi sepertinya dia tidak dapat berlari, mungkin kakinya terkilir", Oai berbicara kepada Wallace tentang keadaan wanita itu.
"Saya akan membawanya, kau pergi duluan, sekarang!!", ujar Wallace memaksa.
Dengan segera pun Oai berlari ke arah gedung utama sembari masih melihat ke arah belakang. Terlihat Wallace akan menggendong wanita itu dan beberapa meter di belakang mereka, sosok itu masih bergerak ditanah, seolah berusaha dengan keras untuk kembali berdiri. Setelah melihat itu, Oai berbelok di persimpangan jalan dan terus berlari, dia sudah tidak dapat melihat mereka karena tertutup semak-semak yang tinggi di atas tembok dinding jalanan setapak itu. Oai terus berlari ke gedung utama kampus seperti yang diperintahkan Wallace. Sembari Oai berlari, dia teringat kata-katanya kepada Vie tentang minta bantuan, " Dia benar-benar meminta bantuan, tak ku sangka dia akan melakukannya", kata-kata yang terbesit dalam pikirannya tentang Vie. Dia tidak menyangka akan ada yang datang untuk menolongnya tadi.
Kembali ke waktu setelah Oai lari tadi, di tempat Wallace tadi. Wallace menggendong Lesty, wanita yang ditolong Oai tadi, dengan kedua tangannya, karena Oai bilang dia tidak dapat berlari karena kakinya terkilir. Namun saat Wallace menggendong Lesty, Wallace menyadari sesuatu dari Lesty.
"Kau!?".
Wallace seperti menemukan sesuatu pada Lesty, Lesty hanya terdiam sembari memalingkan wajahnya dari pandangan Wallace. Namun disaat bersamaan, suara auman aneh dari belakang mereka, membuyarkan mereka berdua. Sosok yang tadi terjatuh di tanah iti sudah kembali berdiri dan berjalan ke arah mereka berdua selangkah demi selangkah. Dengan segera, Wallace bergerak menjauh sembari menggendong Lesty, dia membawanya pergi ke gedung utama.