"Kalo tau gimana kelakuan lo disini, dia pasti langsung mutusin lo!"
Aldi bangkit dari tidurnya dan menghampiri Salsha. "Lo lagi ngerjain apaan?"
"Lo ngalihin pembicaraan?"
"Gue lagi nggak pengen bahas pacar-pacaran. Lagi pula itu bukan urusan lo!" Aldi membolak-balik buku tulis Salsha yang berada di atas meja. "Ngerjain tugas Matematika?"
Salsha mengangguk. "Susah banget nyari rumusnya."
"Makan dulu, baru kita kerjain bareng-bareng," kata Aldi sembari menutup buku Salsha dan menarik tangan gadis itu.
Salsha pasrah saat Aldi membawanya ke dapur. Lelaki itu bahkan menyiapkan makanannya. Salsha memandang aneh dengan sikap Aldi malam ini.
"Jadi gini cara lo narik perhatian orang lain?" tanya Salsha datar sembari mengaduk nasi gorengnya.
"Gimana maksud lo?" tanya Aldi tak paham.
"Lo selalu perhatian sama orang lain. Sama Bella, sama Dinda juga. Itu buat narik perhatian mereka biar suka sama lo, 'kan?" tuduh Salsha. Ia menyeringai tajam. "Gimana perasaan pacar lo di Bandung kalo tau kelakuan pacarnya kayak gini disini. Suka tebar pesona."
"Gue nggak ngerasa ngasih perhatian sama mereka. Bella cuma gue anggap sebagai teman gue begitupun Dinda. Kalo misalnya mereka kebawa perasaan jelas itu bukan salah gue, dong?" jelas Aldi tak ingin di salahkan. Aldi merasa apa yang ia lakukan tidak salah. "Salahnya cewek itu disitu, mudah kebawa perasaan."
"Gue nganter Dinda pulang, gue makan malam sama dia bahkan di sekolah gue dekat sama Bella itu nggak bikin perasaan gue sama Tania jadi berubah," kata Aldi menjelaskan. "Gue bisa bedain mana pacar gue dan mana orang yang gue anggap teman. Gue pacaran sama Tania bukan berarti gue nggak bisa dekat sama cewek manapun. Gue masih tahu batasan. Tania mungkin nggak ada disini, tapi Tania selalu ada di hati gue."
Salsha mati kutu. Ia sudah tidak tahu harus berkata apalagi kepada Aldi. Jika menjadi Tania mungkin Salsha akan marah besar. Salsha tidak ingin prianya dekat dengan gadis lain meskipun itu hanya sebatas teman.
"Sikap lo sama gue di rumah sama di sekolah juga beda." Salsha mengalihkan topik pembicaraan. "Di sekolah lo selalu nyari masalah sama gue. Tapi dirumah lo lumayan baik, meskipun sedikit nyebelin. Lo juga nggak pernah bawa-bawa masalah yang ada di sekolah kerumah."
Aldi tersenyum sinis. Ia meminum segelas air putih. "Gue sebenarnya nggak pengen ikut campur masalah lo sama Bella. Tapi kadang gue ngerasa lo kekanakan dengan cara cari masalah mulu. Masalah lo sama Bella itu biar jadi masalah lo. Di luar dari itu, lo nggak punya masalah sama gue, selain lo cewek yang di jodohin sama gue."
Aldi berdiri dari duduknya. "Makan nasi gorengnya sebelum dingin. Gue mau mandi dulu, habis itu kita ngerjain tugasnya di ruang tamu."
Salsha menatap kepergian Aldi dengan sedikit kagum kepada lelaki itu. Aldi mempunya pemikiran yang dewasa. Salsha juga bisa menilai jika Aldi adalah lelaki yang setia. Aldi juga ramah kepada yang lainnya. Meskipun sifat ramah Aldi itu bisa di salahgunakan oleh orang lain. Seperti Dinda contohnya. Gadis itu pasti berpikir jika Aldi mau membuka hati untuknya tanpa ia sadar Aldi memang adalah tipe lelaki yang baik dan suka menolong.
"Kenapa gue jadi muji-muji Aldi, harusnya gue eilfeel sama tuh, cowok," dumel Salsha sembari mulai mencicipi nasi gorengnya.
****
Farel beserta kedua temannya sedang berada di club malam. Setelah mengantar Bella kerumahnya, Farel langsung menemui kedua temannya itu.
Farel meneguk segelas kecil bir dengan tenang. Ia sudah terbiasa minum bir sehingga rasanya sudah tidak aneh lagi. Farel bahkan bisa menghabiskan satu botol besar bir semalaman.
"Waktu lo tinggal besok," kata Dimas mengingatkan Farel tentang taruhan mereka.
"Besok gue tembak dia. Tenang aja," jawab Farel santai. Farel yakin akan memenangkan lagi taruhan ini.
Bisma mengisap rokoknya lamat-lamat dan menghembuskan asapnya. "Lo yakin Bella bakal nerima lo? Saingan lo si murid baru itu."
"Aldi maksud lo?" tanya Farel dengan nada mengejek. "Dia itu nggak ada apa-apanya di banding gue. Duel basket aja dia nggak berani."
"Tapi gue setuju sama apa yang Bisma bilang." Dimas menepuk pundak Aldi. "Saingan lo itu si Aldi. Gue yakin kalo Aldi terus-terusan ada di samping Bella, kehadiran lo bakal terancam."
Farel tidak mengindahkan ucapan Dimas dan Bisma. Farel yakin seribu persen jika Bella akan menerimanya besok. Setelah itu, motor yang jadi bahan taruhan mereka akan menjadi miliknya.
"Ingat, setelah lo jadi pacar Bella, lo harus bikin dia sesayang mungkin sama lo. Setelah itu lo mutusin dia di depan anak-anak. Tapi kalo Bella duluan yang mutusin lo, itu artinya lo kalah." Pengingat Dimas tentang rules taruhan mereka.
"Gue nggak bakal lupa!"
*****
Setelah selesai makan malam, Salsha mengambil buku-bukunya dan membawanya ke ruang tamu. Tak berani lama Aldi dengan membawa buku tulis.
"Lo yakin bisa ngerjain ini?" tanya Salsha tak yakin. "Gue dari tadi udah coba buat mecahin soalnya tapi nggak bisa."
"Ngampang," jawab Aldi acuh sembari duduk di samping Salsha. "Mana soalnya?"
Salsha menggeser buku paket Matematika ke arah Aldi dan menunjuk soal tentang logaritma. "Soal nomor 11 sampai 15."
"Gini doang lo nggak bisa?" ejek Aldi sembari membaca soal yang ada di buku itu.
Salsha memutar bola matanya. "Nggak usah kebanyakan ngomong. Kerjain dulu, bisa nggak."
"Yang lo kerjain tadi mana?" tanya Aldi mulai fokus.
Salsha memperlihatkan buku tulis yang berisi jawaban asal-asalan yang ia kerjakan tadi. "Jawabnya nggak ada tuh di pilihannya."
Aldi melihat buku Salsha dengan seksama sembari menghitung. Aldi sangat suka pelajaran yang menghitung seperti Matematika dan Fisika. Makanya soal seperti ini tidak terlalu sulit bagi Aldi.
"Rumus lo ini salah, makanya hasilnya nggak ada di pilihan. Harusnya kalo soalnya kayak gini rumusnya itu, ini." Aldi mulai mencoret buku Salsha dengan rumus yang benar.
Salsha meneliti semua apa yang di tulis oleh Aldi. Rumus dan caranya Aldi jelaskan dengan detail sehingga Salsha bisa mengerti. Memang benar, rumus yang ia gunakan salah.
Salsha mengangkat wajahnya dan menatap wajah Aldi yang tengah fokus mengerjakan tugasnya itu. Salsha tertegun, jika fokus seperti ini Aldi kelihatan sangat ganteng dan berwibawa. Berbeda dengan yang selama ini ia lihat, urakan dan nyebelin.
"Tuh, ada kan di pilihannya," ucap Aldi setelah selesai mengerjakan satu soal.
Salsha tersadar dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Apa yang barusan ia pikirkan, ia tidak sedang memuji Aldi 'kan?
"Udah ngerti?" tanya Aldi.
Salsha mengangguk pelan. Sedari tadi ia hanya fokus menatap wajah serius Aldi. "U--dah."
"Sekarang lo kerjain soal nomor 12 dulu. Baru gue koreksi bagus atau salah."
Salsha hanya mengangguk mengiyakan ucapan Aldi dan mulai mengerjakan soal nomor 12, sementara Aldi memainkan ponselnya.
Ponsel Aldi berbunyi, ada panggilan masuk dari Iqbaal, sahabatnya di Bandung. Tanpa berpikir dua kali Aldi segera mengangkat telfon itu.
"Hall--" Belum sempat Aldi melanjutkan ucapannya Iqbaal di sebarang sana sudah memotongnya.
"Lo ada masalah apalagi sih sama Tania?"
Aldi menghela nafasnya. Pasti Tania sudah bercerita kepada Iqbaal. "Tania bilang apa aja sama lo?"
"Tania nggak cerita apa-apa sama gue. Tapi dia nangis." Suara di seberang sana terdengar kesal. "Plis laa, hubungan kalian udah lama, masa harus bubar cuma karna masalah sepele kayak gini."
Aldi memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. "Tania duluan yang mulai."
"Lo cowok, harusnya lo bisa lebih dewasa dan ngasih pengertian sama dia. Gue kesal tapi juga kasihan sama dia."
Aldi menghela nafasnya. "Yaudah, nanti gue bicarain baik-baik sama dia. Udah malam banget, gue tidur duluan ya."
Aldi memutuskan sambungan telfonnya secara sepihak. Aldi lelah, dan ia tidak mau mendengar ceramah orang lain tentang hubungannya.
Salsha yang sedari tadi diam mendengarkan percakapan Aldi dengan seseorang di telfon menatap polos lelaki itu.
"Pacaran seribet itu, ya?"
Aldi mengusap wajahnya dan menarik buku di depan Salsha. "Gue aja yang ngerjain biar cepat."
.