Di lapangan yang begitu luas, berjajar rapi pohon besar dan menjulang tinggi seolah mereka anggota PBB. Sebut saja pohon itu pohon Baobab. Pohon yang sangat besar seolah jika ditebang akan menghasilkan puluhan hingga ratusan kursi, meja, tempat tidur dan rekan-rekannya. Namun, siapa yang mampu menebangnya? Bahkan tinggi pohon itu mampu mencapai 30 meter dengan diameter batang 11 meter. Tapi, apa pedulinya mengetahui itu?
Kita tinggalkan para anggota PBB yang berupa pohon Baobab itu. Jauh dari tempat, yah sangat jauh, kita akan menemukan lagi beberapa pohon Akasia. Kali ini mereka tak tumbuh berjajar, melainkan tumbuh sesuka mereka tanpa menghiraukan aturan baris-berbaris.
Di salah satu pohon Akasia itu, bergelantungan sesosok makhluk. Ia bergelantung terbalik di salah satu dahan. Kakinya ia tautkan di dahan, sedang kepalanya terjuntai ke bawah, menampilkan rambut panjangnya yang berantakan jika diterpa angin. Padahal itu adalah rambut palsu.
Belum diketahui makhluk sejenis apa itu. Mentari pun telah terbenam, namun makhluk itu masih setia bergelayutan di pohon. Sesekali kaki makhluk itu akan terluka dengan duri-duri yang berada di pohon itu jika ia bergerak. Namun, luka itu tak sebanding dengan luka yang berada di hatinya.
Tiba-tiba terdengar puluhan derap langkah kaki kuda. Sebuah cahaya kecil menghampirinya. Cahaya itu berasal dari lilin-lilin putih yang dibawa oleh salah satu penunggang kuda.
Sosok itu terperanjat, terngangah hingga mulutnya terbuka lebar namun bibirnya tetap seksi, saat melihat makhluk yang bergelantungan di pohon Akasia.
"Adik!! Apa yang kau lakukan di sana, hah?!" seru sosok yang membawa lilin itu.
Oh... ternyata sosok yang berada di pohon tadi adalah adik dari seorang kakak.
"Kakak Alpha, kok tahu saya berada di sini?! Kalau Kakak menyuruh saya pulang, maaf saya tidak bisa. Saya terlalu terluka mendengar percakapan Kakak bersama Ibunda dan Ayahanda," ucap sosok yang berada di pohon.
"Uughh? Jangan terlalu percaya diri, Adik!! Aku ke sini hanya mau berburu kok. Siapa yang perduli kamu mau bergelayutan di situ sampai satu dekade pun, heh?!"
Pria yang dipanggil 'Kakak' itu pun masuk ke hutan bersama puluhan pengawal berkudanya.
Karena merasa lapar tiba-tiba, akhirnya sosok yang dipanggil ADIK tadi pun pulang tanpa beban. Ia terima kekalahannya. Berjalan dengan gontai dan sesekali akan terjatuh karena laparnya sudah tingkat Nebula.
Sesampainya di istana megah dengan benteng yang menjulang tinggi mengelilinginya, ia masuk melalui pintu gerbang belakang. Ia mengendap-endap menuju dapur istana, mencari apapun yang mungkin bisa di makan.
Pranghh!!
Klothak!!
Pyaarrhh!!
Gubrak!!
Gedebhugh!!
Ia menyenggol beberapa alat dapur dan terjatuh.
"MALIINNGGGG!!"
Seorang bibi paruh baya datang dengan membawa sapu meneriakinya dan memukulinya tanpa ampun. Membuat sosok pria itu jatuh 'nyungsruk dan nyungsep' di kolong meja.
"BIBI! AKU INI ETHAN!!" seru sosok yang masih berada di kolong meja itu. Ia meringis kesakitan setelah mendapat serangan sapu lidi no jutsu dari pelayan wanita itu.
Bibi Pelayan akhirnya membantu keluar pria itu dari kolong meja.
"Astaga!! Pangeran Ethan?! Maaf, Pangeran. Bibi kira maling hehehe," ucap Bibi Pelayan tanpa rasa bersalah.
Tiba-tiba dari sisi pintu terdengar derap langkah kaki. Ternyata, sosok wanita cantik memakai gaun bangsawa warna ungu tua itu menghampiri keributan di dapur. Rambutnya ditata rapi dengan hiasan mewah di kepala menunjukkan bahwa ia ratu di istana itu.
"Keributan apa tadi?!" tanya Ratu Aria dengan angkuhnya.
"Maaf, Ratu. Tadi, Pangeran Kedua mengendap-endap masuk dapur. Saya kira tadi maling. Jadi saya hajar dia."
"Hmm ... jadi seperti itu? Tindakanmu hebat, Pelayan."
Sesaat kemudian pandangan Ratu tertuju pada Pangeran Ethan, putra keduanya. Tatapannya tajam dan dingin.
"Maafkan Ethan, Ibu!"
Ethan tertunduk sedih.