"DEMI Tuhan kamu kemana aja, Ara? Kamu hampir buat aku mati karena serangan jantung tahu!!" Repetan suara Felix yang keluar dari ponsel membuat Aurora tidak bisa menahan senyumnya. Di seberang panggilan, Felix menggerutu tidak jelas dengan bibir mencebik, dan Aurora tahu pria itu sedang kesal bukan main terhadapnya.
"Emangnya kenapa? Seingatku, kamu nggak punya riwayat sakit jantung," Aurora membalas dengan enteng.
Senyum gadis itu semakin mengembang kala melihat lawan bicaranya merotasikan bola mata. Melalui layar ponsel yang menampilkan Felix dalam balutan jas rapih. Terlihat sedang berjalan bersama Han Jisung, sekretaris pribadi sekaligus sahabatnya yang mengekor menenteng beberapa berkas yang Aurora yakini adalah pekerjaan Felix. Satu-satunya alasan yang membuat pria itu menolak ajakan Aurora. Setelah berhasil mengalahkan puluhan wanita dalam hidup Felix, pada akhirnya Aurora malah dikalahkan oleh berkas pekerjaan sialan.
Membuat Aurora memahami situasi yang terjadi. Rupanya Felix-nya sedang berada di rumah sakit dan masih sempat menghubungi sampai Aurora mendapat belasan panggilan tak terjawab. Lengkap dengan puluhan pesan penuh kekhawatiran.
Tidak terlalu mengherankan bagi Aurora karena dari dulu sampai saat ini sikap berlebihan Felix masih belum berubah. Kalau diingat-ingat lagi, Rhino Kim, kakak kandungnya sendiri malah belum menelpon. Hanya sempat mengirimkan pesan singkat yang dibacanya sewaktu tiba di hotel.
Basa-basi menanyakan apakah Aurora sudah tiba dengan selamat atau malah terlibat kecelakaan pesawat? Yah, kalau yang kedua sih Aurora tahu itu cuma bentuk kasih sayang dan kekhawatiran dari kakaknya yang seorang tsundere.
"Kata Rhino kamu udah sampai sejak dua jam yang lalu dan pesannya juga udah kamu baca sekaligus kamu balas," suara Felix terjeda berganti dengan anggukan setelah samar-samar Aurora mendengar Han Jisung bertanya sesuatu. "Tapi kenapa kamu belum menghubungiku?" Lanjutnya lagi, bersamaan dengan muka bayinya yang tidak pernah gagal menjadi moodbooster Aurora.
Dalam derap langkahnya yang melambat, Aurora tertawa kecil. Alih-alih menjawab pertanyaan Felix, jarinya bergerak mengalihkan mode kamera belakang pada panggilan video mereka.
Menampilkan pemandangan langit sore yang menakjubkan. Semburat merah tua di atas cakrawala. Awan-awan putih tenang yang memayungi langit, serta latar kesukaan Aurora yang rela membuatnya bergegas meninggalkan hotel hanya berselang tiga puluh menit setelah tiba, tanpa sempat mengganti pakaiannya, demi mendatangi tempat yang kini dia pijak.
"Aku emang sengaja nggak langsung menghubungi kamu karena mau menunjukkan ini," ucapnya dalam intonasi antusias yang kentara.
Matanya berbinar cerah ketika melihat bangunan megah yang tampak menakjubkan di bawah naungan langit sore.
"Kamu ada di mana?" Pertanyaan polos Felix seketika membuat Aurora mengernyit tidak suka sekaligus terkejut.
Mengganti mode kamera, Aurora menyipit pada Felix. "Kamu lupa sama tempat ini?" Balasnya seraya mengerang sebal.
Hei! Si pria ini baru saja melupakan tempat bersejarah mereka padahal seingat Aurora, siapa yang dulu begitu antusias dan memaksa untuk mengunjungi ulang saat mereka sudah beranjak dewasa?
"Coba tunjukkin sekali lagi. Tadi kamu cuma nunjukkin atap dan langitnya, Ara," timpalnya, masih tidak merubah apapun.
Aurora masih merengut. Tujuannya buru-buru datang berkunjung adalah untuk pamer pada sahabatnya. Soal tempat penuh kenangan masa kecil mereka dulu.
Barangkali setelah melihat, pria itu akan menyesal karena tidak ikut bergabung bersamanya. Malah sibuk berpacaran dengan berkas-berkas rumit pekerjaan.
"Awas kalau masih nggak ingat!" Setengah mengancam, Aurora memberi tatapan protes meskipun tetap menuruti Felix.
Kesekian kali mengubah mode kamera belakang yang kali ini menyajikan lanskap bangunan katedral nan megah. Memiliki atap berujung lancip dengan patung santo-santa di ujungnya, di mana patung emas Bunda Maria menjadi yang tertinggi di antara patung-patung sekeliling dan dibuat dengan ciri khas sentuhan arsitektur gotik.
Bangunan ini adalah bukti bahwa Milan membuatnya jatuh cinta sejak kali pertama berkunjung.
"Ah... Itu kan tempat kita menikah besok ya? Kamu ke Duomo del Milano? Sendirian?"
Kekesalan Aurora menguap seiring dengan Felix yang sama antusias dengannya.
"Kamu lihat, tempat ini jadi makin dan jauh lebih cantik dari terakhir kita kemari. Aku bersumpah kamu harus datang kesini!"
"Kita cuma pernah berkunjung sekali, Ara, dan pasti... Nanti kita datang untuk mengurus janji suci kita kan?"
Aurora mendecak keras. Bukan itu maksudnya. Dia heran. Kenapa akhir-akhir ini Felix selalu membahas soal impian masa kecil mereka?
Terakhir, sebelum keberangkatan Aurora, Felix tidak henti-hentinya meminta Aurora untuk mengirimkan gambar keadaan Duomo del Milano. Sekaligus menitipkan doa supaya impian mereka bisa terwujud.
"Kalau masih bahas itu lagi aku tutup ya?"
"Aku bercanda, Ara," Felix terkekeh puas, menikmati pemandangan lewat layarnya, wajah menggemaskan Aurora yang belum sampai sehari sudah dia rindukan. "Ngomong-ngomong apa rencana kamu setelah ini? Jangan terlalu semangat mengunjungi semua tempat yang masuk list. Ingat, kamu punya waktu satu minggu di sana."
"Aku tahu. Mungkin habis ini aku mampir untuk berdoa sebentar dan cobain makan malam di dekat sini," Aurora tersenyum kecil mendapati anggukan Felix. "Kamu sendiri, apa rencanamu hari ini?"
"Hari ini Papa minta, hmm, memaksaku untuk datang lebih awal. Kamu tahu, minggu depan aku resmi menjabat wakil direktur rumah sakit."
"Kamu emang harus kerja keras, kan? Untuk memenuhi janji kamu soal membukakan perusahaan berlian dan mode untukku."
"Kamu juga harus penuhin janjimu untuk jadi——" Aurora memicingkan kedua matanya mengetahui kelanjutan omongan Felix yang sudah pasti masih berkaitan dengan.... sudahlah. Dan pria itu sepertinya tahu, malah tertawa senang di seberang sana. "Baiklah, aku mengerti... aku tutup panggilannya, Ara! Bersenang-senanglah di Italia!"
Aurora tersenyum lebar saat melihat layarnya yang berpindah menampilkan wallpaper di homescreen ponselnya. Foto masa kecilnya bersama Felix saat perayaan ulang tahunnya yang ketiga. Di mana Felix yang notabene tiga tahun lebih tua, malah terlihat sepantaran. Sial. Kalau mereka sedang dalam mode saling mengejek Felix pasti selalu menggunakan tampang bayinya yang awet bahkan hingga usianya sekarang.
Beruntung Felix mewarisi genetik percampuran Papa dan Mamanya yang memang Aurora akui selalu tampak awet muda. Padahal Jennie Kim, Mommy Aurora, juga terlihat menggemaskan dan muda meski sudah menginjak kepala lima. Sementara kata banyak orang, Aurora mendapatkan genetik dari Daddynya. Daddynya tetap tampan hei! Visual Aurora juga tidak bisa diremehkan. Begitu-begitu dia cukup terkenal saat di kampus dulu. Hanya saja Aurora akui, Daddynya tidak terlihat menggemaskan sama sekali. Lebih sering menampilkan wajah garang soalnya. Mungkin pengaruh dari pekerjaannya.
Menyudahi pikirannya yang membandingkan genetiknya dengan Felix, fokus Aurora kemudian beralih pada Duomo del Milano yang seakan melambai dan membujuknya untuk bergegas masuk. Jam di tangannya sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Lalu lalang turis lokal maupun mancanegara juga sudah mulai surut di halaman katedral. Beberapa terlihat memasuki katedral. Sebagian besar lainnya mampir ke Galleria Vittorio Emanuele II yang memang letaknya ada di Piazza del Duomo.
Memasukkan kedua tangannya ke saku kardigan, Aurora mengekori orang-orang yang memasuki katedral. Petang ini Aurora hanya akan mampir untuk berdoa. Lagipula dia punya waktu satu minggu ke depan dan hotel tempatnya tinggal, seingatnya, masih berada di dekat-dekat sini.
Aurora mencari tempat duduk yang tidak terlalu di bagian depan sementara matanya tidak bisa diam. Terus berkelakar ke langit-langit dan sisi setiap tembok serta pilar-pilar besar yang kokoh menopang. Seandainya tiga sampai lima orang bersembunyi di balik salah satu pilar, sepertinya mereka tidak akan ketahuan, saking besar tiap pilarnya.
Aurora merenung... bagaimana hebatnya para arsitektur yang sudah bekerja keras menghasilkan karya se-megah dan se-luar biasa ini?
Sudut bibirnya terangkat. Menerbitkan senyuman tipis saat kilas balik kenangan Aurora kecil dan Felix kecil tiba-tiba muncul. Saling berlarian berebut siapa yang paling cepat sampai di bangku paling depan. Sesekali bersenda gurau khas anak kecil di tengah misa dan hanya melempar senyum polos ketika ada yang menegur lewat tatapan. Saling berbisik, sesekali ikut serta menyanyikan lagu-lagu pujian, dan juga... candaan Felix soal menjemput Aurora di depan altar untuk mengikrarkan janji di hadapan Tuhan ketika sudah dewasa.
Aurora terkekeh pelan. Diam-diam angannya berkelakar. Seandainya pria itu punya waktu luang dan bisa pergi bersamanya kemari. Tidak perlu sampai satu minggu. Sehari saja rasanya sudah cukup bagi Aurora untuk menjelajahi tempat-tempat penuh kenangan masa kecil mereka.
Dia dan Felix benar-benar tumbuh bersama tanpa terpisahkan. Sekalipun Felix harus menempuh sekolahnya di Sydney tetap tidak merubah keadaan. Pria itu rela terbang dan menghabiskan libur pendeknya demi menemui Aurora.
Aurora baru mendudukkan dirinya di bangku nomor tiga dari depan. Mengedarkan pandangannya sekilas pada orang-orang yang sudah lebih dulu datang, saat matanya tanpa sengaja bertemu dengan sorot tajam seseorang.