"Aku mencintaimu. Dulu, kini dan nanti hingga akhir hayatku, Maura."
Maura memandangku. "Aku tahu. Aku pun begitu."
"Lalu, kenapa tidak mau menikah denganku? Aku sudah menunggumu selama 2 tahun waktu itu, jadi aku tidak akan masalah menunggu sampai anakmu lahir 4 bulan kemudian. Aku tidak mau mendengar kalau kau berucap bahwa kau tak pantas untukku."
"Tapi, itulah alasannya."
"Apa karena aku pemuda berandalan, makanya kau merasa tidak selevel dan tak pantas bagimu, Maura?"
"Astaga Hilal!! Di sini, akulah yang penuh ketimpangan."
"Justru itu kita harus menikah. Tuhan yang maha suci menciptakan Adam dan Hawa. Bukan hanya Adam atau Hawa saja, Maura. Kau tentu sudah tahu hal itu, bukan?"
Maura tertawa. "Hilal, ucapanmu tidak nyambung sekali!"
Aku jadi ikut tertular tawanya. Kemudian menyerahkan tas kertas yang tadi kubawa. Ia menerimanya. Ketika ia buka isinya, bertambah lebar senyumnya.
"Inai?!"