Tahun 2xxx.
Dunia sudah diselimuti wabah pandemik suatu virus. Dikabarkan virus tersebut adalah jenis virus baru dan belum ditemukan obatnya hingga saat ini. Seluruh dunia gencar melakukan usaha proteksi penuh untuk mencegah penyebaran virus dan berlomba-lomba melakukan penelitian penemuan vaksin hingga segala macam pengobatan.
Pada awalnya virus ini ditemukan oleh seorang dokter di daratan China dengan gejala yang sangat mirip dengan influenza ataupun pneumonia. Akan tetapi, virus ini menular dengan sangat cepat antar manusia bahkan dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Tidak membutuhkan waktu yang lama umat manusia jatuh ke dalam keadaan darurat bahaya.
Setiap pemimpin negara melakukan usaha terbaik mereka dalam menghadapi pandemik ini untuk warga negaranya. Dilaporkan virus ini sangat rentan menyerang orang dewasa muda, orang tua, dan anak-anak. Usia pra-remaja hingga pemuda-pemudi jarang tertular tetapi berpotensi sebagai pembawa (carrier).
Selang setahun lamanya wabah pandemik ini tak kunjung usai, diputuskannyalah perintah yang harus dilakukan seluruh negara di dunia yaitu menempatkan anak-anak usia pra-remaja hingga pemuda-pemudi di suatu tempat pembelajaran terisolasi yang sudah didesain sedemikian rupa untuk menjaga generasi muda tetap hidup tanpa tertular virus ini.
Keputusan perintah ini mutlak dilakukan oleh setiap negara. Tiap negara memiliki beberapa tempat pembelajaran yang memuat seluruh generasi mudanya dengan kriteria-kriteria tertenti. Tempat pembelajaran tersebut bernama "Quarantine Boarding School". Sekolah yang berbasis asrama dengan fasilitas terlengkap yang pernah ada. Tempat dimana murid-muridnya dapat menimba ilmu sesuai kompetensinya, melakukan aktivitas harian, berolahraga, bahkan kebutuhan sandang pangan semuanya tercukupi dengan sangat baik. Semuanya sudah tersedia tanpa terkecuali.
Sekolah yang sangat besar untuk menampung murid-murid usia pra-remaja hingga pemuda pemudi. Sekolah dengan fasilitas keamanan tercanggih dan dapat memonitor perkembangan jiwa raga setiap generasi muda.
Sekolah ini resmi dibuka tepat saat bulan penerimaan murid baru dan kenaikan kelas pada tahun itu. Berbondong-bondong generasi muda yang sesuai kriteria didatangkan dari berbagai tempat untuk dikumpulkan di 'sekolah karantina' ini.
Indonesia, Pulau Jawa. Tahun 2xxx.
Seorang gadis berseragam putih-abu sedang mengantri antrean pengecekkan fisik dan suhu dengan jarak satu meter depan-belakang maupun samping kanan-kiri. Kucir kudanya ikut mengayun saat dia melihat sekelilingnya yang sama-sama memakai pelindung masker, sarung tangan, beberapa ada yang memakai jaket almamater. Gadis itu melihat semua yang berbaris memiliki pandangan yang tidak bersemangat. Termasuk dirinya.
Ini adalah tahun dimana ia menduduki kelas 3 SMA. Rasanya sudah sekian tahun lamanya dia menjalani karantina di rumah dan hampir lupa bagaimana menjalani kehidupan normal sekolahnya. Meski awalnya terasa menyenangkan sehari-hari berada di rumah, tetapi selama hampir satu tahun lebih membuatnya tertekan bahkan bisa saja gila.
"Kupikir aku akan menjadi gila menjadi manusia gua di rumahku sendiri! Pemerintah sudah bergerak cepat untungnya," gumam gadis itu.
"Kudengar sekolah ini memiliki fasilitas yang sangat lengkap sehingga kita tidak perlu mengeluarkan uang sepersen pun. Aku penasaran darimana pemerintah Indonesia dan dunia mendapatkan anggarannya ya? Yang pasti kita dijanjikan dapat menjalani kehidupan normal sekolah seperti semestinya bukan?"
Hingga tiba giliran gadis itu untuk dilakukan serentetan pengecekkan dan pemeriksaan untuk menghindari potensi resiko penularan virus. Gadis itu takjub serta kagetnya bukan main, karena semuanya dilakukan oleh teknologi termutakhir tanpa perlu kehadiran sesosok manusia tenaga kesehatan. Yang bahkan orang awam pun dapat melongo melihatnya.
Tak banyak yang dibawa oleh setiap murid yang dikumpulkan selain alat komunikasi, pakaian yang mereka kenakan, dan surat-surat dokumen yang dibutuhkan untuk pendataan personal di bagian administrasi. Lalu, tiba di bagian ujung pengecekkan terakhir sebuah layar sistem terpampang di hadapan gadis itu.
"Semua data personalmu sudah kami rekam. Di sekolah ini kami menjamin semua kebutuhanmu seperti sekolah, kesehatan, dan kesejahteraanmu. Setelah ini, kamu tidak boleh menggunakan ataupun memberitahu siapa nama aslimu kepada siapapun di sekolah ini. Selamat datang di Quarantine Boarding School, Anzu."
"…Anzu? Siapa?" Kemudian layar sistem itu menutup dan terbukalah pintu masuk tersebut.
Gadis itu menyipitkan matanya karena pantulan cahaya dari balik pintu masuk tersebut, selang beberapa menit ia melihat pemandangan lingkungan yang luar biasa indah dan luas.
Dia berjalan dan pintu masuk otomatis tertutup di balik punggungnya. Banyak gedung-gedung sekolah yang luar biasa kokoh dan tertata. Tak jauh dari gedung sekolah terdapat gedung-gedung asrama yang megah, taman hijau, air mancur dengan kolam ikan, gedung maupunlapangan olahraga, pertokoan, kantin, dan masih banyak lagi.
Gadis itu tidak bisa mendeskripsikan lagi bagaimana pemandangan itu tersajikan di penglihatannya. Seperti di suatu tempat di masa depan dimana semuanya sangat canggih dan terstruktur.
"Ini sih bukan sekolah asrama tapi kota masa depan!" seru gadis itu. Gadis itu masih terpana hingga dia tidak memperhatikan kemana langkah membawanya pergi. Tanpa dia sadari, kepalanya terbentur sesuatu yang sangat keras.
'DUAK!!'
Gadis itu berlutut sambil merintih kesakitan, "Adudududuh, sakit banget!"
"Itu kalimatku, bodoh! Makanya kalau jalan dilihat baik-baik!" sahut suara bass yang lantang.
"Ma-maaf ya…" Mata gadis itu melihat sesosok laki-laki dengan potongan rambut pixy di depannya sambil memegang kepalanya yang kesakitan. Laki-laki tersebut mengernyitkan dan agak melotot ke arah gadis itu.
"Seram, ih! Dia masih marah ya?" Gadis itu bergidik ngeri dengan tatapan dari laki-laki tersebut.
Laki-laki menghela napas sejenak, "Sudahlah, toh ya sebentar lagi juga sudah tidak akan sakit lagi. Apa kamu pendatang baru di sekolah ini?" nada dari laki-laki tersebut sekilas melembut. Gadis itu mengangguk.
"Tunggu dulu, bisakah kamu melepaskan masker wajahmu?" pinta laki-laki itu dan si gadis menurut. Begitu si gadis melakukan apa yang disuruh olehnya, laki-laki tersebut mengedipkan matanya beberapa kali.
"Kamu… tidak salah lagi, aku sudah menanti kedatanganmu. Tidak lama ini." Laki-laki tersebut menekan sebuah tombol di jam tangannya, lalu sebuah layar sistem mencuat memampangkan foto wajah gadis itu.
"Woah, teknologi canggih! Apalagi bisa kutemui di Indonesia!"
"Nama aliasmu Anzu bukan?"
Gadis itu mengangguk ragu, "Oh, jadi itu sekarang namaku di sekolah ini?" batinnya.
"Panggil saja namaku Rei. Aku yang akan bertanggung jawab menjadi kakak pembimbingmu, salam kenal." Katanya singkat dengan pandangan datar.
"Sa-salam kenal, Re-Rei…" ujar Anzu terbata-bata. Rasanya canggung setelah sekian lama Anzu tidak bertatapan langsung dengan seorang laki-laki semasa karantina di rumah selain ayahnya sendiri.
"Kenapa canggung? Apa kamu memiliki banyak pertanyaan sesampainya kamu di tempat ini?" Sebelum Anzu memberikan jawaban, Rei meraih tangan Anzu dan menariknya menjauhi tempat dimana mereka berdiri.
"Kakak pembimbing yang kumaksud tidak beda jauh sebagai wali sementaramu di sekolah ini. Aku akan menjelaskan beberapa informasi terkait sistem maupun aturan di lingkungan sekolah ini sesampainya kita di kamar asramamu. Paham?"
Anzu mengangguk cepat, tarikan Rei mau tidak mau memacunya untuk menyamakan langkah kakinya. Meski perawakan dari Rei hampir sama tingginya dengan Anzu, tetapi Rei memiliki rambut abu-abu, punggung yang lebar, dan tenaga yang kuat seperti seorang pemuda umumnya.
"Parfumnya bau mint…" tak sengaja Anzu mengendus bau parfumnya Rei.
Rei terus berjalan sambil tetap menggandeng Anzu di belakang tanpa banyak bicara. Pandangan Anzu tetap saja tak lepas dari bangunan-bangunan dengan teknologi tercanggih yang belum pernah dia temui sebelumnya. Anzu sampai kehabisan kata-kata betapa luar biasa lengkapnya fasilitas untuk sebuah sekolah karantina.
Kemudian Rei berbelok ke arah sebuah gedung asrama perempuan B dan berjalan naik melalui tangga menuju lantai tiga. Ini memang bukan pertama kalinya Anzu menaiki tangga, karena kurangnya olahraga selama di rumah menaiki tangga ke lantai tiga pun cukup membuatnya terengah-engah.
Langkah kaki Rei terhenti di depan sebuah kamar bernomor 308, menandakan kamar deretan ke-delapan di lantai tiga gedung asrama perempuan B. Rei melirik sekilas Anzu yang terengah-engah.
"Kita sudah sampai. Jangan kaget kenapa asrama ini didesain menggunakan tangga biasa itu memiliki tujuan. Mengadaptasikan tubuh murid-muridnya yang kurang olahraga selama karantina belakangan ini." Kata Rei sambil membukakan pintu kamar 308 dengan sebuah master card key.
'CKLAK!' Pintu pun terbuka. Rei mengajak Anzu masuk ke dalam.
Anzu memperhatikan desain interior kamarnya tersebut. Di dekat pintu masuk ada gantungan untuk menempatkan jaket atau payung dan di bawahnya ada rak sepatu mini. Tak jauh dari situ ada bilik kamar mandi dalam, barulah lurus sedikit adalah tempat tidur. Di samping kanan-kiri tempat tidur terdapat meja belajar dan lemari pakaian, di seberang tempat tidur ada televisi yang menempel di dinding. Terakhir di ujung dari kamar tersebut ada jendela yang cukup untuk cahaya matahari masuk.
"Rei, ini kamar asrama atau apartemen minimalis?" ujar Anzu spontan. Rei terkekeh mendengar respon Anzu yang lucu.
"Mulai sekarang ini tempat tinggalmu hingga wabah pandemik virus di luar sana benar-benar berakhir,"
"Rei, aku memiliki banyak pertanyaan setelah ini."