Viza baru saja kembali dari olahraga paginya. Hanya berlari mengelilingi jalanan sekitar komplek barunya saja. Dahaga yang melanda menggiringnya melangkah menuju dapur. Baru saja ia memasuki pintu dapur, matanya sudah dikejutkan oleh seorang gadis yang terlihat sibuk di depan tempat cucian piring. Siapa lagi kalau bukan Jissy. Si pengantar makanan pribadi Viza. Tengah sibuk mencuci tempat makanan yang selalu Viza tumpuk dalam keadaan kotor.
"Sejak kapan disini?" tanya pria itu sembari menuangkan segelas air putih ke dalam gelas.
"Belum lama," jawab Jissy singkat tanpa menatap Viza.
Baru saja semangat Viza menggebu hendak mengisi perut. Tapi justru terpekik begitu membuka penutup makanan di atas meja makannya. Kosong.
"Lho, makananku?" menatap heran pada Jissy yang sedari tadi memunggunginya.
"Kau tidak mengembalikan tempat makan padaku kemarin. Masih berharap mendapatkan jatah makan?" sarkas Jissy. Dan kini ia telah menyelesaikan kegiatannya. Menata dengan rapi beberapa tempat makan itu ke dalam tasnya. "Aku pergi dulu," begitu saja ia berlalu.
"Hei!" Viza tidak percaya Jissy benar-benar melakukan hal itu padanya.
Baru saja Jissy menenggelamkan dirinya dibalik pintu. Tiba-tiba suara horornya kembali terdengar.
"Viza!!"
Baru saja ia meneguk air dalam gelasnya. Alhasil tumpah ruah dari mulutnya. Basah tak karuan dagu hingga baju depannya. "Yaik!" pekik Viza. "Kenapa selalu berteriak seperti itu?!" geramnya. Lalu berjalan keluar mengecek apa gerangan yang terjadi. Sembari mengelap mulutnya dengan tisu.
"Ada apa?" bersandar pada kusen pintu sambil melipat kedua tangannya.
"Viza, sepedaku dimana?" menunjuk ke arah halaman dimana ia memarkir sepedanya tadi. Tentu dengan raut paniknya.
"Mana aku tahu. Aku kembali sudah tidak melihat sepedamu," jawabnya santai.
"Viza aku tidak sedang bercanda. Bagaimana ini?" kakinya seolah tak dapat berhenti mondar-mandir sambil memegang kepalanya, sesekali menggaruk kasar rambutnya yang tidak gatal.
"Siapa yang bercanda. Jangan-jangan kau lupa tidak membawa sepeda saat kemari."
"Enak saja! Terus bagaimana caranya aku bisa sampai kesini?!"
Baiklah, nampaknya Viza tidak begitu memperdulikan sepeda Jissy. Lantas ia masuk begitu saja ke dalam rumah. Jissy kelabakan sendiri mencoba mencari kesana-kemari.
"Ayo, naik!" tiba-tiba saja Viza sudah berada di atas sepedanya sendiri. Sepeda gunung kesayangannya. Jissy hanya melongo menatap pria tampan itu mengayuh sepeda ke arahnya.
"Ayo, aku antar pulang saja," menyapu rambutnya ke belakang lalu memakai topi hitamnya dengan posisi terbalik.
"Sepedaku bagaimana?" menghentak-hentakkan kakinya.
"Nanti juga ketemu sendiri. Ayolah!"
Tak heran jika Viza tak begitu khawatir dengan sepeda Jissy. Selain karena itu bukan sepeda miliknya sebenarnya saat Viza jogging tadi ia melihat tetangga sebelah mengayuh sepeda mirip seperti milik Jissy. Tak tahu itu sepeda Jissy atau bukan, tapi Viza yakin sepeda Jissy akan kembali dengan sendirinya.
Bibir Jissy tak hentinya memanyun sedari tadi. Melihat hal itu, jiwa usil seorang Viza pun keluar.
"Hei, bibirmu," menarik bibir bawah Jissy seenaknya sambil tertawa tipis. Mungkin lebih tepatnya dia gemas.
"Akk!!" Jissy dengan cepat menepis tangan Viza dan mendesis kesakitan.
Jika dipikir-pikir keduanya ini memang belum lama saling mengenal. Tapi tampak sudah tidak canggung satu sama lain. Jissy juga baru melihat Viza setelah pria itu pindah kemari. Lain halnya Viza yang sudah beberapa kali melihat Jissy. Tetapi hanya lewat sebuah foto dari galeri ponsel milik ibunya.
Entah kenapa selalu ada Jissy yang nyempil di tengah para ibu-ibu itu. Dan tak disangka, gadis yang terlihat kalem nan anggun di foto itu bisa sekonyol ini saat bertemu secara langsung.
"Cepatlah!" seru Viza lagi pada Jissy yang hanya bengong melihat sepedanya.
"Lalu, aku naik dimana?" melihat tidak adanya injakan kaki di antara roda belakang.
Lantas Viza melepaskan kedua tangannya dari stang. Mempersilahkan gadis itu untuk menempati tempat yang dimaksud, "Duduk didepanku."
"Hah??"
Di tengah keraguan Jissy—karena pasti pantatnya akan sakit jika naik di depan—Viza pun menarik lengan Jissy begitu saja. Mengangkat pinggulnya naik ke atas sepeda, "Kelamaan."
"Yaik!!" pekik Jissy yang terkejut akan perlakuan Viza, seenak jidat mengangkat tubuh mungilnya tanpa permisi.
"Terus ini bagaimana?" Jissy yang tampak kesusahan meletakkan posisi tasnya yang lumayan besar.
Viza hanya mampu menghela napas panjangnya. Sungguh, Jissy ini ribet sekali. "Letakkan di samping seperti ini masa tidak bisa?!" membenarkan posisi tas Jissy dan menuntun kedua tangan gadis itu berpegang pada bagian tengah stang sepeda, "Pegangan!"
Kaki panjang Viza mulai mengayuh dan perlahan mereka pun melaju di atas satu sepeda.
"Kau yakin bisa?" tanya Jissy khawatir. "Hati-hati, pelan saja. Awas ya, kalau sampai terjatuh. Aku penggal kepalamu!" ancam gadis itu.
"Berisik!" ucap Viza singkat. Membuat Jissy terdiam begitu saja.
Laju sepeda yang awalnya sedikit goyah pun berangsur lancar. Melalui jalanan komplek yang sepi pagi itu. Cahaya matahari juga belum begitu terik. Ya, setidaknya masih aman untuk kulit Jissy yang belum memakai sunblock.
Merasakan tubuhnya menempel pada kaos Viza yang basah, lantas membuat Jissy kembali berkicau.
"Ihh, bajumu ini basah sekali. Bau keringat pula. Seharusnya kau mandi dulu tadi!" protesnya sembari menjauhkan tubuhnya dari Viza, sedikit condong ke depan.
"Memangnya kau pikir kau itu wangi?! Rambutmu saja bau apek," balas Viza tak mau kalah.
Jissy sukses menganga mendengar pernyataan Viza barusan. "Enak saja, aku baru saja keramas tadi," meraih ujung rambutnya dan meletakkan pada hidung. Mengendus-endus aroma rambutnya sendiri. Seolah membuktikan pernyataan Viza. "Baunya wangi kok, bau strowberry."
Viza mengatupkan bibirnya menahan tawa. Jujur dia begitu gemas dengan tingkah Jissy. Lihat saja cara gadis itu mengendus-endus. Mulutnya manyun seperti bebek. Dan begitu percayanya dia pada mulut Viza yang jelas-jelas berkata tak sesuai realita. Viza sebenarnya begitu menikmati aroma itu sedari tadi. Strowberry. Mirip seperti sampo bayi.
Bahkan jepit rambut yang bersemayam di rambut hitamnya pun berbentuk hello kitty. Tidak hanya satu. Tapi empat. Berjajar seperti keluarga berencana. Viza curiga, Jissy ini jelmaan dari bayi atau apa.
"Eh, eh, lho! Kita mau kemana?" terkejut saat Viza lurus saja tanpa melihat gang menuju rumahnya.
"Ikut saja," terus mengayuh sepeda dengan kaki panjangnya.
"Kau mencoba menculikku, ya?! Kurang ajar sekali kau ini," memukul dada Viza lemah.
Tapi Jissy bisa apa. Sepanjang perjalanan Viza seolah tak menggubris ocehannya. Hanya napasnya yang terdengar tersengal-sengal saat jalanan naik. Dan berseru senang saat jalanan mulai turun. "Yuhuuu!!" begitu menikmati terpaan angin di wajahnya.
Sedangkan Jissy hanya mampu terpejam serta tangannya yang berpegang erat pada sisi stang sepeda. Menjerit ketakutan namun terkadang suaranya seolah tertahan. Pasalnya, di jalanan yang menurun Viza justru merentangkan kedua tangannya.
"Aaaakk!! Kau gilaa!!" teriak Jissy saat merasa dirinya berada di antara hidup dan mati.
Viza tertawa girang. Puas menjahili gadis itu. Dan pada akhirnya ia menghentikan sepedanya tepat di depan sebuah tempat makan.
"Turun!" seperti tadi, Viza angkat saja tubuh Jissy menjauh dari sepedanya.
"Yakkk!! Jangan pegang-pegang seperti itu!!" memukul lengan kekar pria itu.
Tapi lagi-lagi Viza tak menggubrisnya. Pukulan Jissy bak kupu-kupu yang tengah menggelitik dilengannya. Dia malah fokus pada sebuah papan bertulis daftar menu yang terpampang di depan rumah makan itu.
"Apa maksudmu malah mengajakku kemari?"
"Kau mau makan apa?" bertanya tanpa mengalihkan pandangannya pada papan itu. Tak perduli seperti apa dongkolnya hati Jissy.
"Viza, ayolah! Ibu bisa marah jika aku pulang terlambat."
"Tenang, bilang saja aku yang mengajakmu. Beres, kan?! Ayo masuk!" melenggang begitu saja meninggalkan Jissy yang masih tak habis pikir. Bahkan kedua tangannya dengan santai ia semayamkan di kedua kantong celananya.
"Viza, apa kau tidak mendengarku! Aku tidak ingin makan, aku ingin pulang!" teriak Jissy hingga membuat pengunjung di tempat itu berfokus padanya.
Sontak hal itu menghentikan langkah Viza yang sebelumnya begitu pasti. Menghela napas panjang sembari terpejam. Sungguh ya, Jissy ini cerewetnya bukan main. Bahkan bebek saja mungkin akan kalah jika beradu ocehan dengannya.
Mencoba untuk sabar namun nampaknya rasa geram mulai menggerogoti kesabaran Viza. Pribadi tinggi itu memutar tubuhnya dan berjalan ke arah Jissy. Menatapnya lekat. Tak peduli dengan seribu mata yang tertuju pada mereka saat ini.
"Antar aku pulang sekarang!" masih saja mengomel bahkan suaranya juga tetap melengking. Menatap tajam pada Viza yang semakin mendekat padanya.
"Kalau tidak mau ya sudah aku pulang mphh—" mana sempat Jissy melanjutkan ucapannya saat bibir Viza tiba-tiba mendarat di bibirnya.
tbc..