Terik mentari pagi itu begitu setia mengiringi Jissy menyusuri gang per gang jalanan di sebuah komplek dekat tempat tinggalnya. Kakinya terus berusaha mengayuh sepedanya dengan berbalut alas micky mouse bertekstur lembut hadiah dari Yuga sang kakak.
Bukan main betapa senangnya gadis bersurai hitam panjang itu mendapati sebuah bingkisan di atas tempat tidurnya kemarin lusa. Memang, ini moment yang sangat langka, pasalnya Yuga itu seperti kulkas berjalan. Hemat bicara, hemat tenaga dan hemat perhatian. Jarang sekali memberikan hadiah semacam ini. Dia sih bilangnya itu sandal fia temukan di jalan.
Peluh yang mengalir dibalik bajunya serta hembus napas yang mulai berat begitu terasa tatkala jalanan mulai menanjak. Namun seolah terbayarkan kala rodanya berputar cepat melalui bidang yang menurun. Hembus angin yang menerpa tubuhnya serta menyibak rambut panjangnya ke belakang hingga paras cantik itu sepenuhnya terpampang nyata. Dan disaat suasana seperti ini alunan lagu sudah pasti akan keluar dari bibir mungilnya.
Roda yang mulai menipis permukaannya itu berhenti di halaman sebuah rumah bercat putih dengan air mancur mini menyambut sebellum pintu masuk. Memarkirkan sepeda berwarna biru itu dan mengambil sebuah kotak makan yang sedari tadi ia semayamkan di keranjang depan.
"Viza!" teriaknya dari depan pintu utama tanpa mengetuk. "Vi!" sekali lagi suara itu melengking naik satu oktaf lebih tinggi.
Sedangkan pribadi yang masih membuntal tubuhnya dengan selimut bermotif lumba-lumba itu tampak terusik saat suara melengking Jissy selalu saja menusuk gendang telinganya. Bukannya keluar Viza justru menaikkan selimutnya hingga ujung kepala.
"Argghh, gadis itu lagi," racau Viza sambil terus berusaha menutup kedua rungunya.
Tapi bukan Jissy namanya kalau menyerah begitu saja sebelum sang pemilik rumah menunjukkan batang hidungnya.
"Viza!! Kalau tidak keluar aku dobrak pintunya!" ancam gadis itu.
Dan bagai sebuah jurus yang jitu, ucapan Jissy barusan benar-benar membuat pria gagah itu membuka selimutnya kasar. Padahal ia tahu anak gadis tante Hanna itu tidak sungguh-sungguh akan mendobrak pintunya.
Masih berbalut singlet putihnya lengkap dengan celana boxer yang kusut, entah sudah berapa lama Viza tidak mencucinya. Serta mata sembab dan bibirnya yang tak berhenti bergumam kesal mengiringi langkahnya sampai depan pintu utama.
"Ada apa?" mulutnya terbuka lebar—menguap—tangannya mengacak rambut yang sudah acak sedang tangan satunya bersemayam di balik celana bagian belakangnya. Menggaruk-garuk bokongnya dan entah kenapa rasa gatal itu seolah menjalar ke bagian tubuh lainnya. Alhasil Viza tak berhenti menggaruk tubuhnya.
"Aish, apa tidak bisa sesekali keluar dengan wajah segar dan wangi. Tidak kusut seperti itu," protes Jissy.
"Apa tidak bisa sesekali keluar dengan wajah segar dan wangi," menirukan kata-kata Jissy sambil mencembik lalu memutar bola matanya. "Apa tidak bisa kau tidak berteriak di depan rumahku setiap pagi?" lanjutnya terlihat lebih menantang.
Sebuah kotak makan Jissy sodorkan begitu saja tepat di depan wajah bare face Viza, hampir mengenai ujung hidung mancungnya. Hingga membuat kedua bola mata pria itu membola dan sedikit memundurkan kepala.
Tangan kanan Viza menyingkirkan tangan Jissy hingga kotak merah jambu dengan motif bunga di beberapa sisinya itu bergeser dari hadapannya. Dan menampilkan wajah cantik yang tersenyum lebar seolah tanpa dosa itu. "Bukankah sudah aku bilang, letakkan saja di meja depan. Tidak perlu berteriak seperti orang kesurupan begitu."
Ekspresi Jissy berubah seketika. Bibirnya terlihat menurun dan mata yang seolah malas untuk terbuka seutuhnya—setengah terbuka. "Kau pikir aku juga tidak malas berteriak setiap pagi seperti ini. Lain kali kau ambil sendiri saja makananmu ke rumah! merepotkan saja!" gerutu Jissy lantas mendorong kotak makan itu secara kasar tepat pada dada Viza. Dan mau tak mau kedua tangan Viza harus menerimanya jika tak ingin kotak makan itu berserakan di lantai beserta isinya. Jissy memutar tubuhnya begitu saja dan sengaja menyibakkan rambutnya hingga mengenai wajah Viza.
"Bahh—" spontan Viza mengerutkan mulut dan hidungnya serta mengkibas-kibaskan tangan di depan wajah. "Awas ya, aku gunting rambutmu nanti!" ancam Viza.
Entah ini sudah kotak makan yang ke berapa setelah ia menginjakkan kaki di rumah barunya itu—kebetulan Viza baru saja pindah seminggu yang lalu.
Masih dengan wajah malasnya, Viza duduk di depan meja makan. Kedua maniknya menatap datar pada benda yang ada hadapannya itu.
Baiklah, kali ini kotak makan merah jambu bermotif bunga. Kita lihat sore nanti kira-kira akan datang warna biru atau hijau? Dengan motif panda atau sepasang pengantin? Apapun itu yang pasti akan ada rantang lagi di meja makannya nanti. Viza sudah dapat menebak itu.
"Sup pangsit lagi? Huft—" Viza menghela napasnya panjang setelah ia melihat isi kotak makan tersebut. Sudah tiga hari berturut-turut tante Hanna selalu mengirimkan menu yang sama tiap pagi.
Daripada harus kelaparan dan mubazir jika tidak dimakan apa boleh buat. Dan kini mulut pria itu sudah penuh mengunyah hidangan tadi. Tidak lebih dari sepuluh menit kotak makannya sudah kosong.
Viza baru saja pindah ke kota kecil itu seminggu yang lalu. Dan kedua orang tua beserta kakaknya akan menyusul delapan hari mendatang mengingat masih ada beberapa yang harus diurus di tempat tinggal lama mereka.
Viza bukan pria yang mahir dalam urusan dapur. Beruntung ibunya memiliki teman yang tinggal tak jauh dari tempat tinggal barunya. Tak lain dan tak bukan adalah ibu Jissy. Permintaan tolong ibu Viza tentu disambut baik oleh rekannya tersebut. Memberikan jatah makanan untuk putranya.
Tak terasa hari sudah berlalu begitu saja. Jam berdenting dengan gema yang menggetarkan rungu Viza dimana hari-harinya hanya dia habiskan di atas tempat tidur. Pria itu berusaha membuka kedua matanya yang sebenarnya masih sangat malas untuk bangun, tapi perutnya yang terasa mulas sudah tak tertahankan lagi. Menatap ke arah jam dindingnya—pukul lima sore—sebelum akhirnya kaki panjang itu berjalan cepat hendak menuju toilet. Baru berapa langkah, suara lengkingan horor itu kembali terdengar.
"Viza!!" pribadi cantik itu sudah berada di luar pintu depan seperti pagi tadi.
Viza masih memegang perutnya menahan rasa sakit itu. Masa bodoh dengan gadis di luar sana. Kali ini ada yang lebih mendesak. Hingga dia memutuskan untuk melanjutkan langkahnya menuju ke toilet. Tapi lagi-lagi suara menakutkan itu kembali menghentikan langkahnya.
"Viza! Buka pintunya! Jangan membuatku menubggu terlalu lama!" Mungkin Jissy baru saja menyantap tiga speaker milik Yuga hingga suaranya memecahkan gendang telinga.
"Agrhh..sial!" Dan tak mau acara nongkrongnya terganggu nanti, Viza pun memutuskan untuk menemui gadis itu terlebih dahulu.
Membuka pintu dengan ukiran kotak elegan itu secara kasar, "Kenapa selalu datang disaat yang tidak tepat?!" teriak Viza masih setia memegang perutnya.
"Kenapa kau ini selalu marah-marah setiap kali aku datang?" Jissy tak mau kalah.
"Iya-iya, sini!" mengambil kotak makan dari tangan Jissy. "Sudah, sana-sana!" mengkibas-kibaskan tangannya menyuruh Jissy pergi.
Sialan memang Viza ini, sudah diberi malah mengusir. Kedua tangan Jissy bergerak dengan cepat menahan pintu yang hendak Viza tutup. "Hei!! Tunggu dulu!"
"Apa lagi?" keluh Viza di tengah peluhnya yang mulai bercucuran menahan sesuatu yang hampir meledak di bawah sana. Kakinya merapat dan kini berdirinya pun tak setegak tadi.
"Ibu menyuruhku mengambil tempat makan yang tadi pagi dan juga yang kemarin."
"Nan...nanti saja lah. A-aku..belum mencucinya," suaranya terbata dengan terus mendorong pintu hendak menutupnya, sudah tidak tahan memang.
"Nanti kapan? Di rumah sudah tidak ada tempat makan. Ibu bisa marah kalau aku tidak membawanya pulang," terus berusaha menahan pintunya. Dan keduanya kini saling dorong mendorong pintu.
"Jissy, aku sedang tidak bisa sekarang. Tolong mengertilah!" kata Viza dengan raut muka yang menegang pun memerah hingga garis otot lehernya terlihat.
"Kembalikan dulu rantang ibu!" paksa Jissy berusaha memasukkan kepalanya ke dalam celah pintu. Tapi yang ada justru kepalanya yang terjepit pintu, "Aduh, Vi kepalaku! Tolong, kepala-kepala."
"Kalau begitu pulanglah!" tangan panjangnya masih tetap mendorong pintu itu tentu tak sekuat tadi saat melihat kepala Jissy seperti dipenggal. Dengan satu dorongan dari kekuatannya pada akhirnya Viza berhasil mengeluarkan kepala Jissy dan tentu memenangkan pertandingan dorong mendorong pintu ini. Karena tenaganya memang lebih kuat dibanding Jissy. Mengunci pintu dan berlari terbirit-birit seperti dikejar makhluk tak kasat mata. Dan, yah.. Sudah tahu sendiri bukan kemana tujuan utamanya. Toilet.
"Hei!!," Jissy masih menggedor-gedor pintu dengan telapak tangannya. "Viza, awas kau ya! Jangan salahkan aku jika kau tidak mendapat jatah makan besok!" teriak gadis itu lalu beranjak sambil mulutnya yang terus berguman kesal. "Dia kenapa,ya? Jangan-jangan dia menyembunyikan gadis dikamarnya." Jissy berhenti sejenak berpikir sembari memiringkan kepala dan berkedip beberapa kali.
Masa bodoh dengan pria itu. Tak peduli dengan apa yang dia sembunyikan. Tapi masalahnya ada pada sang ibu. Jissy hanya mampu memanjatkan doa agar tidak mendapat omelan sang ibu karena pulang dengan tangan kosong tanpa kotak makan kesayangan ibunya itu.
Memutar arah sepeda mininya dan kini rodanya telah berputar membawa gadis cantik itu meninggalkan rumah Viza.
Belum sampai Jissy mengayuh sepedanya sampai belokan gang dekat rumahnya, seekor kucing yang berada ditengah jalan menghentikan lajunya. Dengan iba gadis itu menghampiri dan mendekap hewan manis itu. Atensinya teralihkan oleh suara perdebatan dari dalam sebuah rumah. Menarik Jissy pada rasa penasaran. Mencari sumber suara.
Dan Jissy baru menyadari sekarang ia berdiri dimana saat seorang pria secara mengejutkan menampilkan diri di depan pintu sebuah rumah. Disusul seorang wanita yang berlari cepat dari arah yang sama. Menarik kasar pundak sang pria diiringi lengkingan suara yang kasar pula. Astaga, ia berada di depan rumah Jion sekarang.
"Apa maumu sebenarnya, Jion?" teriak Leisya.
"Kau tanya apa mauku? Ch!" terlihat Jion mendecih sembari menarik sebelah sudut bibirnya. "Aku mau kau tidak ikut campur urusanku!" tegasnya.
"Tapi kau suamiku! Aku berhak mengetahui semua tentangmu!"
"Tapi itu tidak berlaku untuk kau dan aku," menunjuk ke arah Leisya lalu dirinya sendiri.
"Jion,kau—" wanita itu kehabisan kata-katanya. "Terserah kau saja!" seolah menyerah, Leisya dengan wajah geramnya pun berbalik ke dalam rumah. Meninggalkan lelakinya sendiri dalam gusar pun amarah. Terlihat Jion mengusap kasar wajah tampannya. Dan tatapannya terhenti pada sosok Jissy yang tak sengaja menyaksikan drama rumah tangganya tersebut.
Jissy yang menyadari hal itu lantas membuang pandangannya ke arah lain. Menghindari Jion dalam salah tingkahnya sendiri. Hingga seekor kucing yang berada dalam dekapannya pun meloncat, seolah ikut enggan berkontak mata dengan mantan kekasih Jissy tersebut.
Jion dengan nanarnya yang menatap Jissy begitu dalam. Seolah mata itu berbicara. Rasa sesal pun rasa masih ingin bersama terus hinggap di hati Jion selama ini. Bahkan sampai saat ini. Meskipun ia telah beristri dan memiliki seorang putra.
Jion masih terlalu muda. Masih banyak mimpi dalam angannya. Dan satu kesalahan membuat sebuah penyesalan yang seolah tak berujung. Bahkan hingga kini ia belum bisa mencintai Leisya. Atau mungkin tidak akan pernah bisa. Karena dihatinya hanya terukir satu nama yaitu Jissy.
Tak ingin terlalu lama larut dalam masa lalu, Jissy bergegas meraih sepeda dan mengayuhnya cepat. Selalu seperti ini setiap mereka bertemu secara tidak sengaja. Ini bukan kali pertama gadis itu mendapati Jion dan Leisya berada dalam pertengkaran semacam ini. Hingga menimbulkan spekulasi akan sebuah ketidakharmonisan dalam rumah tangga mereka.
Entah apa yang dirasakan Jissy saat ini. Ingin rasanya ia kabur ke Antartika hanya agar dapat melupakan Jion seutuhnya. Pasalnya rumah Jion itu satu komplek dengannya. Sempat menjadi buah bibir tetangga atas kisah cintanya dulu. Menutup telinga nampaknya menjadi pilihan terbaik. Walau tak dapat ia pungkiri rasa malu dan geram atas celotehan orang sekitar bersarang dalam hatinya. Meskipun sekarang ocehan itu sudah samar terdengar tapi tetap saja berbagai rasa kurang nyaman itu membekas dihatinya.