Chereads / YUWARAJA / Chapter 3 - Chapter 3 : Siasat Licik

Chapter 3 - Chapter 3 : Siasat Licik

Taman, halaman, kamar para pelayan, dan jalan-jalan di lorong Istana, entah kenapa terasa begitu sunyi. Tak satu pun keberadaan makhluk hidup dapat Candra rasakan di sana.

Sungguh aneh, apa yang sebenarnya sedang direncanakan oleh Raja licik itu?

Candra tiba di depan pintu, kamar paling pojok lantai teratas, ruangan terbesar yang ada di Istana ini. Candra mulai merasakan pirasat buruk, setiap kali dia dipanggil ke ruangan ini, selalu berakhir dengan kekacauan. Sudah banyak keputusan yang dibuat di kamar ini yang mengacaukan hidupnya, seperti disuruh menghadiri pesta minum teh para Putri Bangsawan, ditinggal sendirian di hutan untuk latihan, menghadiri wajib militer, dan didikkan guna pembunuhan.

"Masuklah!" Terdengar suara seorang Pria dari dalam kamar.

"Permisi!" ucap Candra.

Segera setelah Candra masuk, dia langsung di hadapkan dengan seorang Pria berusia 30-an yang bertubuh kekar, dengan rambut putih sama sepertinya. Pria itu  sedang duduk membaca surat yang berada di genggaman tangannya. Candra memperhatikan area sekitar dan benar saja, tidak ada satu pun pelayan atau penjaga di depan kamar. Sungguh aneh, tempat yang biasanya dijaga dengan sangat ketat, sekarang menjadi sunyi tanpa penjagaan.

"Duduklah!" Pria itu berbicara tanpa melihat ke arah Candra.

Candra duduk mematuhi perintahnya. Sudah ada segelas kopi yang masih terlihat hangat terletak di hadapannya kini. Candra segera meminum kopi tersebut setelah mendapat izin dari Pria itu.

Pria yang sedari tadi sangat acuh itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Ayah Candra sendiri. Dia adalah Raja dari Kerajaan Nataprawira yang bernama Dierja.

Dierja melemparkan selembar kertas yang sedari tadi digenggamnya kepada Candra, kertas itu melayang dan mendarat di hadapannya dengan sangat anggun, seakan gaya gravitasi tidak berpengaruh padanya. Di pojok kanan atas terdapat simbol Dewa Ular Laut yang sedang melilit pohon besar. Candra mulai menyipitkan matanya, tanpa ia duga suaranya terdengar ke luar, "Kerajaan Harsana!"

Dewa Ular Laut merupakan simbol dari kerajaan Harsana, si Negeri Hujan. Candra menatap mata Ayahnya, setelah mendapat anggukkan kecil darinya, Candra mulai mengambil dan membaca surat tersebut.

Setelah membaca paragraf awal, hal pertama yang terbersit di pikiran Candra adalah betapa membosankannya. Hanya basa-basi dan kata-kata manis yang menjilat sepatu orang lain.

Candra kembali menatap wajah Ayahnya, tapi hanya ekspresi datar seperti biasa yang ia lihat. Candra sudah hidup bersamanya lebih dari dua puluh tahun, tapi Candra masih tidak mengenal watak dari orang ini. Mereka hanya bertemu satu minggu sekali, itu pun kalau orang yang disebut sebagai Ayahnya ini tidak terlalu sibuk, tidak ada ikatan emosional di antara mereka, hanya orang asing yang tinggal di bawah atap yang sama.

Candra kembali membaca surat tersebut, setelah selesai membaca keseluruhan isinya, Candra menyimpulkan bahwa surat ini tidak lebih dari omong kosong.

"Kau sudah selesai membacanya, bagaimana pendapatmu?" tanya Dierja.

"Tidak lebih dari omong kosong," jawab Candra dengan lugas.

Candra tidak menyembunyikan apapun yang ada di pikirannya, karena Candra tahu bahwa orang ini tidak akan peduli tentang apa yang sedang di pikirkan oleg orang lain.

Sejak kecil ia tidak pernah peduli pada Candra, baik saat Candra mendapat kesialan maupun prestasi, ia tidak akan membuang-buang waktunya hanya untuk mencaci maupun memuji. Bahkan kalau Candra membunuh selusin pelayan pun, ia pasti masih tetap tidak akan peduli.

"Hahaha. Ya, benar sekali. Mereka mungkin panik melihat bagaimana Askara bertindak," Dierja tertawa, tapi tidak menyiratkan bahwa ia bahagia.

Candra selalu kagum bagaimana orang ini begitu mudahnya mengubah ekspresi. Apabila ada kejuaraan drama antar Negara, pasti Ayahnya ini akan mendapat Juara, begitulah apa yang ada dipikiran Candra.

"Kerajaan Askara, ada apa dengan mereka?" Untuk pertama kalinya Candra terlihat antusias.

"Putri pertama Kerajaan Askara akan bertunangan dengan Pangeran kedua dari Kerajaan Gandana," ucap Dierja dengan pelan. Dia menyipitkan matanya seakan menunggu ekspresi apa yang akan dibuat oleh anaknya ini.

Cndra tersentak. Untuk sesaat ia merasa linglung, seperti mendapati jantungnya ditikam pedang tumpul yang selalu ditempa oleh anak-anak lugu dengan senuym manis menghiasi paras mereka.

Candra terlihat pucat, keringat dingin mulai bercucuran dari sekujur tubuhnya. Candra mengepalkan kedua tangannya sekuat tenaga, menahan rasa marah dan kecewa.

Ahh ... aku tahu pasti akan seperti ini. Kata sayang, janji hidup bersama, hanya omong kosong darinya, hanya kata-kata indah yang menutupi luka dengan manisnya gula.

"Kau terlihat tidak terlalu baik," Dierja menatap tajam ke arah Candra. Tatapan yang sangat tajam, sampai-sampai Candra merasa akan terluka bila terus menatapnya.

"Tidak, aku hanya sedikit terkejut," jawab Candra setelah berhasil mengembalikan kesadarannya.

"Lucu. Kau kira aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kau dan si Putri Api itu," Dierja berdiri dan menghadap jendela yang ada di belakang punggungnya.

Dngan suara yang sangat dingin tanpa perasaaan, Dierja berkata, "Akan lebih mudah kalau kau saat itu membunuhnya."

Suaranya tidak terlalu keras, tapi karena ruangan ini begitu sunyi, sehingga Candra dapat mendengarnya dengan sangat jelas.

Candra hanya bisa tertunduk. Dia tahu bahwa mereka itu adalah musuh, bahwa mereka akan saling membunuh, tapi ... Bisakah? Sebentar saja, setidaknya ....

Cndra kembali teringat bagaimana suara lembut dan senyuman menawan itu, suara yang selalu ingin membuatnya menangis. Bgitu indah, begitu mewah, yang membawa banyak darah. Air mata itu, saat ia bertanya, "Apa kau baik-baik saja?" Perkataan yang terasa begitu tulus, dari wanita berdarah yang terus melangkah menginjakkan kakinya di bawah tanah.

"Udangan itu, Sepertinya Kerajaan Harsana akan melakukan langkah yang sama," Suara Dierja memecah keheningan yang ada.

"Aku juga merasa begitu." Surat itu dikirim tepat setelah tindakan dari Kerajaan Askara, bahkan orang bodoh sekali pun bisa menebak niat asli mereka. Setidaknya Candra yakin akan pemikirannya itu.

"Bukan pilihan yang buruk, Putri Kerajaan Harsana terkenal akan kecantikannya. Dia tidak kalah dengan Putri Api itu," Sambil tersenyum Dierja melanjutkan.

"Motif mereka juga sangat mudah ditebak. kalau kau bertunangan dengan Putri Kerajaan Harsana maka kedua Kerajaan akan terikat dengan hubungan Keluarga. Kerajaan kita sangat kuat di bidang Militer, tapi kekurangan makanan dan perekonomian pun tidak terlalu baik. Sedangkan Harsana mempunyai sumber daya melimpah, tapi lemah bila di hadapkan dalam pertempuran," jelasnya, dengan ekspresi tak tertarik.

"Tapi ... aku tidak tahu dia orang seperti apa? Baik wajahnya maupun sifatnya, aku juga tidak men-" Sebelum Candra bisa menyelesaikan perkataannya, dia merasakan tatapan yang sangat berbahaya. Seperti seekor Singa yang hendak menerkam Kelinci mungil yang lemah.

"Berhenti bicara omong kosong, Mencintainya. Sudah aku bilang bahwa rasa cinta tidak pernah ada di dunia ini," teriaknya marah.

Suhu di ruangan ini menjadi lebih dingin dari biasanya, Candra yang sudah terbiasa hidup ditemani dengan es dan butiran salju bahkan hampir tidak kuat menahannya.

Sungguh bodoh, apa yang aku harapkan dari orang yang tidak mengenal cinta ini, kalau bukan untuk melanjutkan Takhta Kerajaan, aku ragu bahwa orang ini akan mau menikahi seseorang.

"Mekipun begitu, ak-" Candra menelan kembali apa yang ingin ia ucapkan setelah melihat ekspresi marah dan jijik yang ditunjukan Dierja kepadanya.

"Kalau kau tidak suka dia, cukup nikahi saja dan mencari penggantinya. Setelah kita berhasil menguasi sumber daya Kerajaan itu, kau bebas ingin membuangnya ataupun membunuhnya. Ahh ... karena dia cukup cantik, pasti akan sangat mahal bila dijual ke Rumah Bordil," Tegas Dierja dengan senyuman tidak manusiawi menghiasi wajahnya.

Candra mengepalkan tinjunya, dia ingin sekali menghajarnya, memukul wajahnya bahkan Candra ingin sekali membunuhnya.

Candra mengutuk dirinya sendiri karena harus hidup dengan membawa darah dari seoramg Raja yang lebih mirip Iblis ini. Tapi sekeras apa pun dia berusaha, Candra masih akan kalah bila melawannya. Jadi, sekarang dia hanya bisa menuruti perkataannya, bagaikan boneka tanpa jiwa.

"Kita akan berangkat dua hari lagi, persiapkanlah dirimu. Itu saja, kau bisa pergi sekarang," Dierja kembali duduk tanpa bertanya bagaimana perasaan Candra. Perintah Absolut, itulah Raja Nataprawira.

Candra hanya mengangguk sebagai tanggapannya. Setelah Candra keluar dari ruangan, Dierja kembali berdiri sambil memandang ke luar jendela, dia berkata, "Bagaimana persiapannya?"

"Kita dapat memulainya kapan saja, Tuanku!" Seseorang yang mengenakan topeng dengan pakaian hitam datang entah dari mana.

"Baiklah, lakukan segera!" Dierja memandang langit dengan tatapan dingin yang seakan siap untuk membekukan langit itu sendiri.

Dierja berbalik memandang kertas yang masih terlihat kosong di atas mejanya. Seketika itu juga, sebuah pena yang terbuat dari bulu melayang mendarat di atas kertas, pena itu mulai menggoreskan tinta hitamnya. Selang beberapa menit, kertas tersebut sudah terisi penuh oleh tulisan.

Kertas tersebut masuk ke dalam amplop dengan segel Kerajaan Nataprawira di atasnya. Seperti sudah mengetahui akan tugasnya sendiri, kertas itu mulai terlipat membentuk makhluk hidup, dan terbang ke luar jendela menyerupai burung.

Kertas yang digunakan untuk menyampaikan pesan ini, sangat kuat, tahan api, tidak akan rusak ketika terkena air, dan tidak akan mudah disobek bahkan oleh pedang sekali pun. Inilah, salah satu keajaiban Sihir.