Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

EXIST

🇮🇩Shi_lunaticblue
--
chs / week
--
NOT RATINGS
5.1k
Views
Synopsis
Mereka ada di sekitarmu.. Mereka melihatmu bergerak, dan berputar-putar di setiap jengkal hidupmu. Mereka menyatu denganmu. Ini adalah kisah nyata yang aku alami tentang pengalamanku dengan mereka. Karena itu aku ingin katakan bahwa mereka EKSIS --- update setiap Kamis malam.
VIEW MORE

Chapter 1 - Kontrakan Bu Bambang

Sejauh yang aku ingat.

Usiaku saat itu 5 tahun, aku tidak mungkin mengingat cerita ini dengan detail kalau tidak diberi tahu oleh ibuku.

Dulu kami tinggal secara nomaden, berpindah dari tempat satu ke tempat lain, karena ayahku pekerja serabutan. Lalu seorang juragan melinjo menawarkan sebuah kontrakan pada ayahku untuk ditinggali, ayahku hanya perlu membayar listrik setiap bulan, karena air disana menggunakan sumur, tentu saja dengan harga yang murah itu kami tidak bisa seenaknya. Ayahku menerimanya, dan berjanji akan menjaga tempat itu.

Rumah itu tidak bisa di sebut kontrakan. Sebuah bangunan berbentuk L yang dulunya di gunakan Bu Bambang, sang juragan sebagai gudang penyimpanan. Aku dan keluargaku tinggal di bangunan bagian ujung huruf L. disana tempat kami tidur dan menonton televisi, ruangan sebelahnya adalah kamar mandi yang menyatu dengan sebuah sumur timba khas jepang. lalu ada lorong beratapkan kanopi yang menghubungkan bangunan tempat kami tinggal dengan sebuah bangunan utama yang tampak lebih bagus. Disana tempat menyimpan berbagi dokumen-dokumen penting, aku rasa. Karena ruangan itu selalu terkunci dan tidak boleh kami jamah.

Seluruh bangunan ini di kelilingi pagar beton setinggi 2 meter. dan bagian depan dengan pagar besi dengan ketinggian yang sama.

Ada halaman terbuka di depan bangunan kami, sebuah pohon mangga, pohon melinjo dan beberapa pohon pisang tumbuh disana. aku dan ibuku selalu menyapu halaman itu setiap pagi dan sore.

Rumah yang nyaman bukan?

Tidak. tentu saja tidak.

Jarak antara bangunan ini dengan para tetangga sangat jauh, paling dekat adalah rumah tetanggaku si Afi yang jaraknya 50 meter. lalu, hal yang paling mengusik jiwa anak-anakku saat itu adalah, bangunan ini di kelilingi Pohon-pohon besar dan rindang, memang bangunan ini berada tepat di depan jalan aspal sebuah gang besar, tapi jalan ini adalah jalan menuju sebuah pemakan besar di lingkungan ku. Kutakosod namanya, jika kau pernah mendengarnya. Kau akan mengerti betapa tempat ini sangat tidak nyaman untuk ditinggali. Tepat di samping rumahku adalah Kebon (hutan kecil) yang tak terurus, pohonnya besar-besar, lalu ada sebuah jembatan di atas kali yang cukup dalam tapi airnya sudah mengering. setelah jembatan itu, sebuah bangunan bekas persinggahan seorang sultan Cirebon, tempat itu sudah menjadi puing-puing dan tidak lagi berbentuk. Hanya pagar bata yang masih terususun setinggi kurang lebih satu meter yang menandakan batas tempat itu dengan jalanan. Aku tidak terlalu yakin karena tidak banyak membaca sejarah, tapi orang-orang bilang bangunan itu dulunya akan di bangun sebuah tempat petilasan, namun dibatalkan sehingga tempat itu dikenal dengan nama Perwatalan atau pembatalan. Konon ada 3 buah makam besar dan panjang di dalam puing-puing itu. Aku masih ragu dengan desas-desus makam itu dan jika benar entah siapa yang dikuburkan di sana.

Tempat itu sangat menakutkan. Banyak desas-desus yang menceritakan tempat angker ini. Dan kami mengalaminya.. Desas-desus itu, bukan lagi sekadar cerita.

***

Tinggal di tempat sepi seperti ini sebenarnya adalah keinginan ayahku. Dia tidak terlalu pandai bersosialisasi, ibuku juga begitu. Tapi, kejadian-kejadian janggal terus berlangsung.

Saat malam hari sebelum isya setelah mengaji, biasanya aku dan kakaku akan bermain sepeda di lorong. Jarak lorong cukup panjang kurang lebih 5 meter, cukup untuk kami menghabiskan energi kami yang tidak bisa kami lampiaskan saat siang hari, dengan balapan sepeda mini kami tentu saja.

Lalu saat di pertengahan permainan, Kakakku dengan sedikit menjerit memanggil namaku yang saat itu memang melaju menuju dekat bangunan utama. Dengan bingung aku mendekat ke arahnya, aku pikir dia marah karena aku selalu menang, tapi melihat wajah pucatnya. Aku tahu itu bukan hal yang bagus.

"Kenapa a?" tangannya meraih tanganku dan menarikku untuk mundur menjauh dari bangunan utama. Matanya melihat ke arah sudut lorong, aku ikut takut dan mengikuti isyarat yang kakakku berikan.

"Ayo masuk!" Katanya tanpa melepaskan tanganku, berjalan cepat menuju bangunan dimana kami tinggal.

Ayahku sedang duduk di depan dan meminum kopinya, ia melihat bingung ke arah kami yang tiba-tiba memutuskan untuk berhenti main. "Ada apa?"

"Ayos nggak mau main malem lagi. Takut!" Kakakku masih terlihat pucat, masuk ke dalam lalu duduk disamping ibuku yang menonton televisi sambil melipat pakaian.

"kenapa aayos, nis?" Ayahku masih penasaran dan bertanya padaku. Aku tidak tahu sebenarnya apa yang kakakku lihat, yang jelas itu bukan wujud yang nyaman untuk di pandang lama-lama.

***

Esoknya.

Dari sore sampai malam gerimis, hujan tidak cerah juga tidak. Aku dan kakakku tentu saja tidak bermain di luar, sibuk dengan belajar mengenal huruf yang ibu kami ajarkan. Kakakku sudah 6 tahun, sudah belajar membaca kalimat. Sedangkan aku masih menghafal alfabet.

Ayahku masih bekerja dan belum juga pulang. Lalu suara pagar besi gemerincing terdengar di telinga kami. kupikir itu suara ayahku membuka pagar, dengan semangat kakakku menuju jendela dan mengintip dari sana.

Jarak antara pagar dan bangunan tempat kami tinggal cukup jauh kurang lebih 8 meter. Jadi untuk melihat siapa di balik pagar besi, kami harus sedikit lebih fokus.

Kurasa, melihat ekspresi yang kakakku tunjukan ia bukan sedang fokus melihat ayahku. Salah.. yang benar, bukan ayahku yang ada disana. Aku iseng ikut melihat dari balik jendela. Dan pemandangan itu.. tidak bisa aku dan kakakku lupakan.

Seseorang dengan pakaian hitam berdiri mematung di balik pagar besi kami, tingginya .. hampir menyamai tinggi pagar, aku yakin melihat jari-jemarinya yang panjang meraih pagar besi, warna kulitnya bisa aku pastikan abu-abu. Lalu wajahnya.

Tuhan.. Wajah yang berbingkai rambut panjang yang acak-acakan itu memiliki mata hitam yang besar dan hidung yang panjang. Ia tersenyum!! Dia menatap kami!!

Aku menutup tirai jendela, membuat kakakku mundur dan menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ibuku bingung melihat kami, lalu segera beristighfar. Aku bisa mendengar ia membaca ayat-ayat Alquran, lalu mendekap kami berdua.

Perasaan takut itu perlahan sirna, suara televisi membuat kami merasa lebih baik.

Selang beberapa menit suara pintu pagar dibuka terdengar, aku dan kakakku tidak mau mengulangi kebiasaan kami mengintip dari jendela. Kami berdua menunggu sampai akhirnya ayah kami mengetuk pintu dan mengucapkan salam.

Perasaan lega benar-benar aku rasakan saat itu, kami menyeduh teh manis hangat dan memakan ubi goreng yang sudah ibu siapkan dari sore.

Aku dan Kakakku menceritakan apa yang kami alami beberapa hari belakangan, ayahku mendengar dengan seksama, sesekali ia melihat wajah ibuku yang tidak nyaman.

Ayahku bilang, Bu Bambang pernah mengatakan bahwa bangunan ini ada yang menjaga. Itu sebabnya makhluk dari luar tidak bisa masuk untuk menganggu. Karena saat itu aku masih kecil yang aku pikirkan adalah penjaga rumah ini pastilah sosok yang keren.

Ternyata sosok itu lebih mengerikan dari wanita hidung panjang yang suka mengintip kami dari pagar.

Aku melihatnya di lorong saat Maghrib tiba. Susunan tubuhnya abnormal. Ia berjalan melata di sepanjang lorong yang minim cahaya, rambutnya yang panjang terurai tampak menyapu lantai lorong yang sedikit berpasir.. kini aku tahu, kenapa selalu ada pola unik di lantai lorong setiap pagi.

Aku tidak mau melihat wajahnya. Aku tidak mau melihatnya lebih lama.

Sosok inilah yang saat itu kakakku lihat. Aku tidak pernah bertanya padannya tentang sosok ini. Aku harap kakakku melupakannya.

Ibuku terus membujuk ayahku agar kami pindah. Lagi pula sebentar lagi kami masuk sekolah, di sini sekolah cukup jauh.

Akhirnya seminggu kemudian kami pindah dari kontrakan itu dan tinggal bersama dengan nenekku.

Saat ini tempat itu sudah direnovasi dan kembali menjadi sebuah gudang. Kepemilikannya juga sudah berganti.

Disekitar gudang itu sudah banyak rumah-rumah penduduk. Semoga mereka tidak pernah disapa makhluk hidung panjang yang sukanya mengintip dari pagar rumah.

***