'Terimaksih? bagaimana bisa Syma justru mengatakan terimakasih. Padahal ucapanku tidak ada satupun yang membuatnya senang. Wanita macam apa Syma ini....' batin Ersad dikala air sedang mengguyur tubuhnya dengan deras.
Ersad keluar dari kamar mandinya. Pandangan yang pertama kali dia lihat, adalah sebuah setelan pakaian yang berada diatas tempat tidur. Bahkan sampai pakaian dalam yang seharusnya dia kenakan, sudah ada disana. Tidak pernah dia duga sebelumnya. Syma sudah menyiapkan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Erika sekalipun.
Tentu hal itu terasa asing baginya. Namun dia juga senang, karena ada yang memperhatikan kebutuhannya.
Ersad segera memakainya. Bahkan warna kemeja yang Syma pilihkan sesuai dengan seleranya.
Ersad segera keluar ketika semuanya sudah selesai.
Samar-samar dia mendengarkan suara canda dan tawa seorang anak kecil yang dia yakini adalah suara dari Zea. Sesekali terdengar suara lantunan ayat-ayat pendek terdengar dari mulut kecilnya. Meski suaranya bicara masih cedal. Namun Ersad tidak menduga bahwa anak sekecil itu bisa dengan lancar mengucapkan ayat-ayat itu.
Sejenak. Ersad terpaku dengan pemandangan yang ada dihadapannya. Ada rasa hangat... hangat karena merasa menjadi bagian dari mereka yang terlihat bahagia. Ersad sendiri bingung, apa yang membuat Syma seolah sangat bahagia menikah dengannya.
Dan Ersad juga tidak bisa memungkiri bahwa dia juga iri dengan pemandangan itu. Sesuatu yang tidak pernah dia dapatkan sedari kecil. Ersad iri dengan Zea yang mendapatkan kasih sayang seorang ibu, sementara hal itu tidak pernah dia dapatkan dari ibunya.
"Kenapa berdiri disana? ayo bergabunglah... kita sarapan bersama," ucap Syma yang menyadari kehadiran Ersad disana.
Ersad sedikit kikuk. Namun dia langsung menguasai dirinya dan berjalan mendekati Syma dan Zea.
"Hay bocah kecil. Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Ersad pada Zea. Zea hanya menatapnya malu-malu. Karena masih terasa asing dengan Ersad yang baru dia kenal.
"Em... maaf, Mas mau dipanggil apa oleh Zea," tanya Syma sedikit ragu.
Ersad sendiri terdiam. Bukan karena bingung, untuk memilih panggilan seperti apa. Hanya saja, hal seperti itu tidak pernah dia duga.
"Papa... panggil aku dengan sebutan itu," ucap Ersad menoleh kearah Zea.
Syma sendiri tersenyum mendengarnya.
"Ze... papa Ersad bertanya padamu. Ze sedang melakukan apa?" ucap Syma dengan lembut. Mengajari anaknya untuk menjawab ketika orang tua bertanya.
"Ze sedang menghapal sulat Al-Ikhlas Papa..." cicitnya yang membuat senyuman hangat terukir diwajah Ersad. Senyuman yang baru pertama kali dia tampilkan. Syma bahkan baru menyadari bahwa Ersad memiliki sebuah lesung pipi dipipi kirinya. Membuatnya langsung terpaku pada suaminya itu.
"Wah... kau hebat Ze."
"Apa Papa juga hapal sulat itu? sepelti Bunda."
Ersad langsung menoleh kearah Syma. Dan hal itu membuat Syma sedikit kaget karena telah tertangkap basah sedang menatapnya. Syma langsung membuang wajahnya dan beralih mengambil lembaran roti untuk diberikannya pada Ersad dan juga Zea.
"Sebaiknya kalian sarapan dulu," ucap Syma terlihat berpura-pura sibuk. Sengaja menghindari tatapan Ersad yang sulit sekali dia artikan. Jantung Syma berdegup kencang. Hal itu juga membuatnya gerogi dan tidak fokus pada apa yang dia lakukan.
Mereka sarapan dalam diam. Sampai akhirnya selesai dan Ersad beranjak untuk pergi bekerja.
Ersad berjalan hendak keluar tanpa berucap sepatah katapun.
Langkahnya terhenti ketika sadar bahwa Syma dan Zea mengikutinya dari belakang, sampai didepan pintu. Ersad langsung berbalik dan menatap heran pada kedua orang itu.
"Apa?" ujarnya dingin. Dia semakin heran, ketika melihat Syma mengadahkan tangannya. Matanya menatap tangan itu. Sebelum sebuah senyuman sinis terukir diwajahnya. 'Semua wanita sama saja!' batinnya.
Ersad segera mengeluarkan sebuah kartu yang bisa digunakan untuk belanja. Dan memberikannya pada Syma.
"Apa ini?" tanya Syma melihat sebuah kartu yang ada ditangannya.
"Itu yang kau inginkan, bukan? kau bisa membeli apa saja dengan benda itu," ucapnya terdengar mengejek.
Diluar dugaannya, Syma justru terbahak mendengarnya.
"Berikan tanganmu," ucap Syma masih dengan senyuman gelinya.
"Untuk apa?" Ersad semakin heran dengan wanita ini. 'Apa yang dia inginkan sebenarnya?'
"Berikan saja!"
Dengan ragu... Ersad memberikan tangannya. Dan hal itu langsung disambut lembut oleh Syma yang menundukkan kepalanya untuk mencium punggung tangan suaminya.
Ersad terbelalak kaget. Sebuah sentuhan hangat dipunggung tangannya seolah menjalar keseluruh tubuhnya, hingga membuatnya membeku. Jantungnya berdegup kencang dengan tatapan tidak lepas dari wanita itu sampai kepala Syma kembali terangkat. Mata mereka seketika bersibobrok saling menatap satu sama lain.
"Hati-hati di jalan, baik-baik di tempat kerja," ucap Syma begitu lembut.
Ersad merasa terhenyak. Lagi-lagi dugaannya salah pada wanita ini. Dia yang berpikir Syma ingin meminta uang untuk bersenang-senang, seperti yang biasa dilakukan oleh Erika.
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Ersad sebagai tanggapan. Pria itu hanya mengangguk kikuk sembari melenggang pergi dari sana.
Sementara Syma menatap kepergian suaminya sembari berdoa, 'Ya Robb berikanlah kemudahan dalam segala urusan suamiku. Jadikanlah lelahnya sebagai berkah, dan pahala yang berlimpah.'
******
"Apa yang membuat anda terlihat bahagia sepagi ini, Pak? apa anda baru saja menang jackpot?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Kevin tanpa bisa difilter. Sadar akan perbuatannya membuat Kevin segera menutup mulutnya. Namun diluar dugaannya, Ersad yang biasanya tempramen, malah terkekeh dengan pertanyaannya itu.
"Apa itu terlihat jelas diwajahku?" ucap Ersad bertanya balik padanya. Sontak Kevin langsung cepat-cepat mengangguk.
"Ah, sepertinya hanya perasaanmu saja. Bagaimana dengan keadaan Erika. Apa sudah ada perkembangan?"
"Sepertinya belum. Nyonya Erika masih sangat kritis. Dokter mengatakan sangat jauh kemungkinan baginya untuk sembuh. Namun mereka akan tetap berusaha yang terbaik untuk kesembuhan nyonya,"
Mendengar hal itu, membuat Ersad menghela nafas beratnya.
Dan tiba-tiba saja salah seorang karyawannya masuk. "Maaf Pak, ada yang ingin bertemu dengan anda."
"Baiklah, suruh orang itu masuk," saut Ersad yang menyangka bahwa orang itu adalah teman sesama rekan bisnisnya.
Namun ternyata dia salah ...
Matanya berubah tajam menatap siapa yang datang. Senyuman hangat yang tadi dia pancarkan, kini berubah dingin dan memancarkan aura mengerikan. Pandangan tidak suka bahkan dia perlihatkan secara terang-terangan. Giginya terdengar menggertak dan menahan geram.
Bahkan baru melihat wajahnya saja, sudah membuat Ersad sangat ingin sekali mematahkan lehernya. Namun sekuat tenaga dia tahan ambisinya itu.
Kevin yang menyadari situasi itu, segera keluar. Dia yakin sebentar lagi akan ada perang dingin antara kedua orang itu. Yang Kevin sendiri takut untuk menyaksikannya.
"Beraninya kau datang kesini!" ucap Ersad begitu dingin dan tajam seakan menguliti orang tersebut secara hidup-hidup.
****
TBC