Redis merengut saat mengingat sebab ia mendapat satu luka di kepalanya. Harus diperban sebab luka tersebut cukup besar.
Perkataan sang papa yang bilang 'aku akan membuatmu menyesal seumur hidup' memang tak bisa dianggap main-main.
Tolong bayangkan lebih baik lagi, jumlah lukanya ada dua hingga Redis terlihat seperti seorang perempuan yang sedang memakai pita.
"Hahaha, Redis, kamu kenapa malah jadi begini...?"
Pletak!
Satu berkas pun langsung melayang tepat mengenai wajah Rey, sang sekretaris perusahaan Sanjaya Corp. Nama lengkapnya adalah Reytama.
Sungguh malang nasib sekretaris tersebut.
"Eh ini berkas lho, apa kamu gak sayang?" ujar laki-laki yang punya wajah baby face itu.
Jangan lupakan banyak perempuan yang rela melakukan apapun demi melihat wajah menawan seorang Rey. Dia dan sang ketua memang sangat cocok menjadi rekan kerja satu perjuangan.
Sama-sama punya wajah yang mempesona, sehingga banyak yang antri.
"Terserah, yang ku alami ini lebih buruk daripada berkas kantor," sunggut Redis marah.
Biasanya dia tidak seperti itu, sungguh.
Ia lebih sayang berkas kantor ketimbang diri sendiri.
Tak jarang berkas-berkas memusingkan tersebut dibawa tidur.
"Baiklah, daripada marah-marah lebih baik kita cari seorang perempuan yang kamu katakan tadi. Aku sudah menghubungi seorang intel kepercayaan, jadi kita tinggal memerintah."
Satu dengusan napas kasar pun keluar dari mulut Redis. Terlepas dari semua 'hal buruk' yang terjadi, bagaimana bisa seorang Redis Sanjaya malah menjilat ludah sendiri!?
Melawan prinsip hanya karena gertakan dari orangtuanya. Satu hal yang perlu ditekankan, walaupun Regis adalah orang yang tak berperasaan dan tak jarang melawan orangtua, tetap saja ia tak bisa melawan keinginan kedua orangtuanya tersebut.
Apalagi itu mengenai harta warisan. Hey, Redis masih punya perusahaan lain yang ia bangun sendiri dengan kedok perusahaan cabang, tapi tetap saja ia tak akan merelakan perusahaan inti.
Terlebih sang papa juga menyebut nama seseorang yang sangat Redis benci. Siapa lagi kalau bukan sepupu yang sok pintar dan bisa segalanya?
Mengancam, menggertak dan menakuti.
Memangnya dia Tuhan apa, yang bisa melakukan apapun?
Tentu saja tidak!!!
Redis tentu tak akan rela jika perusahaan inti yang sudah ia urus mulai saat keluar dari bangku kuliah berpindah tangan ke orang yang sama sekali tak ada hubungannya dengan keluarga mereka.
Maksudnya hubungan darah inti.
Radit Samira pun juga sudah punya perusahaan sendiri. Lalu kenapa masih mau diberikan kekuasaan?
What the fuck!?
Benar, nama sepupu Redis tersebut adalah Radit dari keluarga Samira.
Keluarga mereka kaya begitupun dengan keluarga Sanjaya. Lalu Redis dan Radit sama-sama berkedudukan sebagai anak tunggal.
Harta karun berharga. Pewaris tunggal.
Aura persaingan sangat terasa di hubungan keduanya. Terutama dalam masalah bisnis. Kalau perempuan sih Redis tak memikirkan apapun. Toh dia kan tidak percaya cinta.
Radit bermodal tampangnya punya banyak mantan pacar. Lalu Redis tak peduli akan hal tersebut.
Sungguh brengsek.
"Benar, kita harus mendapatkan gadis aneh itu. Waktuku hanya sampai malam nanti."
"What! Lalu kamu baru bilang sekarang. Oh astaga, tolong keluarkan aku dari tempat beracun ini."
"Intel kita cerdik jadi aku tak perlu mengkhawatirkan apapun. Kalau masih kurang, bawalah pengawal."
"Memangnya kamu pikir ingin menjemput presiden!?"
Hubungan kedua orang rekan kerja itu tak terlihat seperti sekretaris dan sang atasan. Percaya atau tidak, keduanya lebih cocok disebut kakak adik, daripada atasan dan bawahan.
Bicara santai sudah menjadi keseharian dan mendarah daging. Bahkan tak jarang saat rapat pun keduanya bicara santai walau itu tepat dihadapan karyawan kantor maupun klien.
"Berhenti berteriak padaku. Kepalaku semakin bertambah pusing."
"Oh astaga malang sekali nasibmu, Pak."
"Mana Intel kita, kenapa belum datang?"
"Sebentar lagi juga akan..."
Tok. Tok. Tok.
"Tuh kan, baru nyebut sudah datang."
Sebuah senyuman langsung terpatri pada wajah Rey. Orang itu memang murah senyum. Makanya kadar ketampanannya makin bertambah.
"Masuk," kata Rey yang langsung bicara, terlihat seperti seorang perdana menteri penuh hormat.
Sang atasan sih tinggal duduk nyaman di kursi kebesaran sambil menatap lurus. Sesekali juga menyesap kopi.
Hidup itu adalah untuk dinikmati dan bebas.
"Pak."
Sebuah senyuman pun langsung muncul pada sudut wajah Redis. Bagus, orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang.
"Temukan seorang perempuan yang berada pada club X yang pergi reuni bersama teman-teman satu kampusnya semalam. Ingat waktumu hanya sampai jam 15.00. Jika tidak ketemu, kamu akan dipecat."
Rey pun spontan langsung meringis. Kejam, itulah kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan seorang Redis Sanjaya. Entah bagaimana nasib perempuan malang yang akan menjadi calon istrinya nanti.
Pasti sangat menyedihkan.
Nelangsa.
"Baiklah, Pak."
Sudah biasa, Intel satu itu adalah orang kepercayaan perusahaan Sanjaya Corp. Jadi wajar bicara begitu.
Semua pegawai harus menyebut kata 'baik' walau perintah itu terdengar tak masuk akal sekalipun.
"Pergilah."
"Wah seperti biasa kamu memang sangat kejam," komentar Rey sambil menyeruput kopi.
Terlihat santai seperti atasannya.
Plak!
Satu lemparan pun kembali mendarat mulus di kepala orang tersebut. Kali ini bukan lagi berkas melainkan sebuah buku berjudul 'manajemen.'
Sang atasan memang gila kerja. Jangan bingung.
Rey pun hanya bisa menatap tanpa ekspresi.
"Silahkan kerjakan tugas Anda, pak Reytama."
Glek.
Rey sontak menelan ludah susah payah. Kalau Redis sudah menyebut nama panjang dengan embel-embel 'Anda ataupun Pak,' maka itu adalah pertanda bahwa ia sangat serius.
Mati muda atau bahkan dipecat bukanlah pilihan seorang Rey.
Redis, kalau sudah marah kadang emosinya tak bisa dikontrol. Memang, sejauh ini belum pernah main tangan terlalu berlebihan sih.
Namun justru kalimat belum itulah yang membuat Rey harus extra menjaga diri.
Tak meutup kemungkinan Redis berubah menjadi lebih kejam lagi.
Siapa yang akan tahu...?
Perkara pecat memecat sudah biasa bagi Redis. Jika melakukan satu kesalahan, maka siap-siaplah untuk di depak keluar.
Tak terhitung seberapa banyak Redis memecat karyawan. Seakan-akan mudah sekali mencari pengganti.
Lupakan itu.
***
"Lepaskan aku, apa-apaan ini!"
Tak perlu dijelaskan lagi suara tersebut berasal dari orang seperti apa.
Yup, siapa lagi kalau bukan Rein yang malang.
Perempuan itu sedang mengetik bab novel yang akan diterbitkan saat tiba-tiba banyak orang berpakaian serba hitam dan rapi langsung menerobos masuk ke rumah sederhananya.
"Hua Paman, aku tidak mengenal kalian. Secara otomatis aku pun juga tidak punya kesalahan apapun. Aku juga tidak punya hutang. Tapi kenapa malah ditangkap seperti buronan begini!?"
"Diam!"
Hiks, apa yang harus Rein perbuat?
"Hua..., tolong saya diculik!"
Rein hanya bisa menatap nanar suasana hening yang terasa saat itu. Bisa perempuan itu lihat banyak tetangganya yang langsung masuk rumah saat melihat orang berpakaian jas warna hitam membawa tubuh kecilnya.
Jadi..., bagaimana bisa ada keajaiban orang yang akan membantu!?
"Paman tolong lepaskan, setidaknya katakan kenapa saya malah dibawa seperti ini."
Air mata sudah merembes deras dari wajah mungil Rein.
Tak ada yang peduli, semua orang hanya memikirkan diri sendiri. Pahadal Rein itu orang baik lho.
Menghindari masalah, begitulah.
Rein pun juga sudah tak peduli dengan penggunaan kalimat 'aku dan saya' dengan benar.
"Tolong diam dan menurut saja Nona, kami tidak akan menyakiti Anda."
"Hua gak mau. Jelasin dulu kenapa saya di bawa seperti binonan gini. Siapa yang menyuruh Paman!?"
Akibat Rein yang tak bisa diam dan berusaha melawan, dengan berat hati para pengawal itu pun memberikan obat bius pada perempuan malang tersebut. Hanya saja dalam dosis rendah sebab pasti akan masalah jika sang target pingsan terlalu lama.
Hal itu pun juga berdasarkan perintah dari Redis sendiri.
***
"Akh."
Rein pun spontan langsung memegang kepala yang terasa berdenyut nyeri.
Kemudian saat sadar sepenuhnya ia pun langsung membelakkan mata. Apa yang terjadi!?
Kriet. Bunyi pintu terbuka. Menampilkan seorang yang Rein kenal.
Nasib hidupnya buruk.
Detik itu juga Rein pun langsung mengambil ancang-ancang untuk mempertahankan diri. Sebab ya, perempuan itu sedang berada di sebuah kamar yang entah milik siapa.
Memang sangat malang nasib seorang Rein Syakila. Sudah ditinggal begitu saja dalam keadaan mengenaskan, sekarang malah ditangkap layaknya seperti seorang buronan.
Lantas apa yang akan terjadi.
Rein sangat ingin membunuh.
*****