Chereads / The Retro: Art and Death / Chapter 1 - Mimpi Buruk

The Retro: Art and Death

🇮🇩aleyshiawein
  • 295
    Completed
  • --
    NOT RATINGS
  • 163.7k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Mimpi Buruk

Di atas kasur, seorang wanita tampak gusar dalam tidurnya. Sedari tadi kepalanya bergerak, menoleh ke kanan dan ke kiri dengan ekspresi ketakutan di wajah. Peluh membasahi pelipis dan dahinya. Pergerakannya bahkan membuat benda-benda di tempat tidur hotel jatuh ke lantai. Bukan tanpa alasan, mimpi yang menghantuinya selama bertahun-tahun kembali datang. Tidak kenal waktu, bahkan saat wanita itu tengah bertugas di luar kota seperti sekarang.

Mimpi itu begitu nyata bagi seorang Arabella El-Gauri. Kilasan sepasang mata jernih disertai suara bayi yang menjerit takut dan kesakitan akibat percobaan pembunuhan yang dilakukan wanita paruh baya di depannya. Ibu bayi itu, mencoba menghabisi nyawa si bayi dengan menindihkan bantal besar. Nafas Bella sesak kemudian, jalur nafasnya tercekat. Rasa takut itu nyata, rasa sakit itu apalagi.

Lalu bagaikan skenario sebuah film, seseorang datang menyelamatkan bayi itu dari kematian. Bahkan sang Ibu dihempaskannya ke lantai hingga tak berdaya. Sosok bayi itu kembali bernafas meskipun tetap menangis. Nafas Bella dalam keadaan setengah sadar itu kini terasa lebih luas, namun sayang penyelamat si bayi tidak sepenuhnya adalah penyelamat.

Mimpi buruk Bella berganti latar belakang menjadi panti asuhan. Bayi itu juga sudah tumbuh menjadi anak berusia sekitar lima tahun. Penyelamat itu pergi entah kemana, digantikan oleh seseorang yang sangat kejam, menyiksa anak lima tahun tanpa ampun. Anak itu dicambuk dengan sabuk berkali-kali hingga menangis kejar meminta ampun, namun yang Ia dapati justru dirinya yang diseret dan dikunci di kamar mandi, tubuhnya basah diuyur air dingin. Nafas Bella kembali sesak, rasa dingin sontak terasa di tubuhnya, air matanya kini mengalir nyaris menangis dalam tidur. Kesendirian, ketakutan, dan kesakitan kembali dirasakannya dengan nyata.

"Hhhh!" gusarnya, menghela dan menghembuskan nafas sekuat-kuatnya seolah Ia akan kehabisan oksigen.

Masih dalam skenario mimpi yang sama, sebuah suara dan tepukan di tangannya perlahan menarik Bella dari alam bawah sadar. Itu Sierra, asistennya yang tidur satu kamar dengannya dalam dinas luar kota di Batam kali ini.

"Mbak! Mbak Bella!" panggil Sierra. Takut-takut Ia membangunkan Bella. Namun Ia lebih takut melihat Bella seperti seperti itu.

Bella akhirnya membuka mata, nafasnya terengah-engah. Sierra cekatan memberikan segelas air untuknya. Perlahan Bella meneguk air mineral itu, membuat denyut jantung dan aliran darahnya kian normal.

"Mimpi buruk ya, Mbak?" tanya Sierra, mendudukan diri di bibir ranjang Bella, mengusap pelan kaki dan lengan atasannya itu bergantian.

Bella mengangguk, kembali menghembuskan nafas, "Iya Sier. Maaf ya, jadi keganggu," ujarnya tak enak. Pasalnya, ini jam dua pagi, sangat nikmat untuk tidur malam.

Sierra hanya mengangguk, "Gak papa Mbak, sekarang coba tidur lagi aja, masih malem. Besok kita harus ngisi seminar," ujarnya.

Bella menurut, kembali mencoba memejamkan mata setelah menenangkan dirinya, begitu juga dengan Sierra yang sudah kembali terlelap dalam hitungan menit di ranjang seberang.

"Sampai kapan mimpi itu akan terus muncul Ya Tuhan?" batin Bella.

Satu hal, Bella lelah akan trauma dan memorinya sendiri.

Mimpi yang menyayat hati dan menguras emosi itu bukan sekedar mimpi. Bayi yang nyaris dibunuh oleh ibunya itu, anak lima tahun yang disiksa itu, adalah sungguh dirinya sendiri. Dianugerahi bakat luar biasa dalam mengingat, menjadikan dua dari sekian banyak kenangan buruk yang dialami gadis itu terekam jelas dan nyata.

Bukan Bella yang susah payah mengingatnya, itu tidak masuk akal karena untuk apa mengingat masa lalu yang buruk? Lebih dari sekedar trauma, mimpi yang nyata secara visual dan perasaan itu adalah bukti bahwa Ia sungguh seorang pengidap hyperthymesia; tidak dapat melupakan apapun yang terlanjur terekam otaknya.

Delapan tahun lalu, dokter memvonisnya dengan suatu fenomena langka di kalangan umat manusia itu. Bella yang mengingat pengalaman mengerikan di masa kecilnya bahkan saat usia lima bulan dengan sangat jelas dan detail sudah masuk kategori tidak normal.

Tidak dipungkiri jika Bella banyak diuntungkan dengan kemampuan mengingat luar biasa. Katakan itu adalah anugerah jika menyangkut pekerjaan dan karirnya, namun soal kejadian buruk yang tidak bisa Ia lupakan, Bella harus merutuki nasibnya sendiri.

****

Pagi itu, sebuah ballroom hotel di Batam sudah ramai. Seminar nasional yang diadakan dan dikhususkan oleh pegawai pemerintahan bertema penelitian terkini kriminilogi, hukum, dan ilmu sosial itu akan segera dilaksanakan. Kebanyakan pengisi dan peserta acara seminar itu berasal dari kalangan akademisi, kejaksaan, POLRI, dan TNI.

Trailer yang menggugah semangat di pagi hari sudah beberapa kali diputar selagi menunggu pengisi acara dan juga peserta acara datang seluruhnya.

Seminar tahunan kali ini tentu dijadikan ajang untuk memperluas relasi bagi kebanyakan peserta dan pengisi acara..

"Letnan Tristan! Selamat atas kenaikan pangkatnya ya, ah salah, sekarang sudah jadi Kapten berarti ya?" sapa seorang wanita ramah pada seorang pria berseragam kepolisian.

Pria yang dipanggil Letnan Tristan itu lantas berdiri, menyalami sopan wanita tadi."Ah, terimakasih Mbak Vina, lama gak ketemu ya? Masih di Kementerian Luar Negeri sekarang kan ya?"

Wanita bernama Vina tersenyum ramah, "Iya Kapten, masih disana, hanya saja sedang bertugas di dalam negeri tahun ini. Kalau begitu Saya duluan ke depan," pamitnya kemudian.

"Oh ya, silakan, Mbak," ujar Tristan. Lantas Ia kembali duduk bersama dua temannya, Jevan dan Yudha. Seperti yang dikatakan Vina barusan, Tristan dan kedua rekannya itu baru saja naik pangkat beberapa hari lalu, buah kerja keras mereka mengusut tuntas sindikat narkoba di Aceh.

Jevan menyenggol lengan Tristan pelan, mengangkat sebelah alisnya, "Cantik juga, gak mau dimasukin bursa calon istri nih Kapten?" godanya.

Tristan memutar bola matanya malas. Sial, tidak Mama dan Kakaknya di rumah, tidak rekannya, sama-sama terus menanyakan kapan pria berkarir cemerlang yang sudah mendekati kepala tiga itu menikah atau sekedar membawa calon istri.

"Kamu aja gimana Jev? Jomblo, kan?" ledek Tristan.

Jevan menggeleng, "Gak ah, kayaknya terlalu dewasa, cocoknya sama Kapten lah, ya gak Yud?"

Yudha di sebelah Jevan yang sedari tadi hanya menyimak pembicaraan keduanya hanya mengangguk dan mengacungkan jempolnya. Turut mendukung kalau atasannya itu segera menikah. Apa sih yang kurang dari seorang Tristan Emilio Fariq? Mapan, tampan, berkucupan dan 'pan' 'pan' lainnya di belakang.

Akhirnya ketiga orang itu lanjut mengobrolkan hal-hal acak, mulai dari percintaan tadi, hingga ke kasus apa yang akan mereka tangani setelah naik pangkat. Juga, apa sekiranya hal yang membantu pekerjaan mereka setelah mengikuti seminar nasional ini.

Tak lama kemudian, MC mulai membuka acara. Seperti biasa, dimulai dengan sambutan penyelenggara, intermezzo, dan peresmian simbolis. Tristan tampaknya tidak terlalu antusias, menurutnya itu tidak penting. Katakan Ia berpikiran sempit, tapi Ia lebih berpikiran praktis.

Hingga akhirnya inti acara dimulai, pembicara pertama diperkenalkan. Seorang wanita canrik yang diketahui adalah dosen dari institut riset dan pendidikan kriminologi dan ilmu sosial kenamaan naik ke podium.

Melihat ke arah podium, sosok wanita dengan image smart dan independen itu menarik perhatian Tristan. Tanpa sadar Tristan balas tersenyum tipis ketika dosen itu membungkuk hormat ke seluruh peserta. Lucu, padahal itu hanya formalitas seorang presenter.

"Tanpa mengulur waktu, kita akan mendengarkan pemaparan materi pertama dari Doktor Arabella El-Gauri, dosen Departemen Kriminologi Social Science and Criminology Institute, Jakarta!"