Bella berjalan agak tergesa-gesa menuju unit apartemen Tristan sore itu. Ya, mendengar berita bahwa Tristan dikejar-kejar seseorang tak dikenal tadi malam membuatnya khawatir sehingga memaksa Tristan mengirimkan alamatnya pada Bella. Alih-alih menunggu pria itu menjemputnya jam tujuh malam, Bella malah sudah di depan pintu apartemen Tristan.
Mengetuk pintu tiga kali, Tristan kemudian membukakan pintu, masih dengan penampilan santainya di akhir pekan.
"Repot-repot Kamu tuh kesini, Saya bilang gak kenapa-kenapa juga," ujar Tristan sembari mengajak Bella masuk.
"Beda lagi sama Saya."
"Kenapa bedanya?" Tristan mempersilakan Bella duduk di sofa ruang tamunya, sementara Ia ke dapur mengambilkan beberapa minuman dan makanan ringan untuknya.
"Saya gak biasa dengar berita seperti itu dari orang terdekat, kalau Kamu mungkin sudah biasa karena sering," jawab Bella.
Tristan kembali dengan minuman dan makanan, lantas duduk disebelah Bella, "Tenang aja, Saya masih bisa atasi hal-hal seperti itu. Benar kata Kamu, Saya udah biasa. Lain kali tenang aja ya," ujarnya seraya tersenyum.
"Tapi masa sih pelakunya bisa ngilang gitu aja?" Bella masih penasaran.
Tristan tampak berpikir, "Saya juga masih menyelidiki. Tapi pengalaman sebelumnya ... kalau terjadi seperti itu pasti terkait dengan kasus atau pekerjaan penting yang sedang Saya tangani," ujarnya.
"Berarti sekarang kemungkinan terkait 'The Retro'?"
"Betul, Saya curiga kesitu. Tapi soal siapa itu, entah si pembunuhnya langsung atau bukan, Saya belum bisa menebak," ujar Tristan serius.
Bella ikut berpikir, "The Retro itu satu orang kan?"
"Kalau investigasi selama tiga tahun terakhir iya satu orang, tapi kalau tahun ini Saya sepenuhnya menginvestigasi ulang, bisa jadi tidak hanya satu."
Bella menggelengkan kepalanya, semakin khawatir, "Kalau yang ngikutin Kamu itu pelakunya, apa iya dia ... menargetkan ..."
"Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Kalau berurusan dengan psikopat, Saya benar-benar sulit untuk menarik kesimpulan dalam waktu singkat. Bisa aja yang menguntit Saya ini pelakunya, yang ingin menjadikan Saya korbannya, atau sekedar ... menyulitkan investigasi, alias dia sudah tahu kalau Saya sedang menginvestigasi ulang kasus ini."
Hening kemudian, Bella dan Tristan sibuk dengan pikirannya masing-masing. Terutama Bella, Ia khawatir sekali, dan hebat sekali Tristan bisa setenang ini.
"Ya sudah, Saya juga selalu jaga diri, gak sendirian juga mengusut kasus ini," ujar Tristan kemudian.
Bella mengangguk dan tersenyum, "Iya. Selalu hati-hati ya," ujarnya. Akhirnya Bella memaklumi, atau tepatnya memaksa diri untuk memaklumi karena mungkin kekhawatirannya justru membebani Tristan lebih jauh.
"Tentu. Saya siap siap dulu ya," ujarnya kemudian berdiri. Bella hanya mengangguk sebagai respon.
"Mau nonton, atau apa silakan aja anggap rumah sendiri."
"Iya. Yaudah sana."
"Lah kok ngusir?"
Tiba tiba terdengar suara pintu dibuka dari dalam apartemen, rupanya dari kamar di belakang ruang tamu yang mereka tempati sekarang ini. Itu Gia, dengan wajah bangun tidur dan terkejut melihat siapa yang sedang berduaan dengan adiknya itu.
"Lho kok?" Gia mendekat, Tristan sudah menduga kakaknya itu akan heboh, maka Ia memutuskan untuk segera kembali ke kamarnya, meninggalkan Bella dan Gia. Tidak masalah, mereka juga sudah kenal kan.
"Sore, Mbak Gia. Apa kabar?" sapa Bella seraya berdiri dan mengangguk sopan.
"Iya, sore." Gia akhirnya duduk di sebelah Bella, "Kok jadi Kamu yang kesini? Bukannya dijemput si Tristan itu?" tanyanya.
"Iya Mbak, jadi kesini soalnya abis denger Mas Tristan diikutin orang gak dikenal semalem," jawab Bella jujur.
Gia mengangguk paham, Ia juga sudah mendengar berita itu, "Oh iya. Jangan terlalu khawatir, Bel. Udah sering."
"Ya walaupun gak ada yang menjamin dia selalu lolos, selamat, dan baik-baik aja, setidaknya dia udah bisa jaga diri dengan maksimal lah gitu," lanjut Gia menenangkan calon adik iparnya yang Ia tahu pasti khawatir. Tidak hanya itu, Ia juga ingin memberikan pemahaman bahwa inilah profesi berbahaya yang dimiliki adik semata wayangnya, jangan sampai Bella gagal memahami.
"Iya, Mbak."
"Ya sudah kalau gitu tunggu ya, Kami belum siap-siap ini abis tepar karena sama-sama pulang malem kemaren." Gia tertawa pelan.
"Oalah. Iya Mbak."
Gia lantas kembali ke kamarnya, sama seperti adiknya yang bersiap-siap untuk acara super penting malam ini. Tadinya Gia ingin bertanya banyak pada Bella soal kesiapannya bertunangan dengan Tristan, tapi setelah dipikir-pikir, lebih baik sekalian nanti saja dengan Ibunya di rumah.
****
Diluar dari dugaan Bella bahwa acara pertemuan dengan keluarga Tristan itu akan dibuat sangat formal, malah sebaliknya. Acara malam itu sangat santai, dimulai dengan makan malam. Masakan yang dibuat langsung oleh Ibu dan Bibi Tristan. Ya, hanya dua orang itu saja anggota keluarga Tristan yang sesekali berada di Jakarta dan menempati rumah keluarga. Ayah Tristan sudah tiada, dan sisanya ada di Yogyakarta.
"Jadi gimana ceritanya kalian bisa kenal itu gara-gara kecelakaan pesawat tempo waktu lalu?" tanya Linda, ibu Tristan.
Bella mengangguk, "Iya, Tante. Tapi sebenarnya dari kan Kami ada seminar bareng, disitu udah kenal sedikit ya, Mas?" Bella melirik Tristan yang masih asik dengan puding sebagai hidangan penutup itu.
"Iya. Tristan aja sih sebenarnya yang nanya, Bella pembicara seminarnya."
"Oh gitu. Hebat ya Bella, sekarang aktif jadi dosen berarti?" Kali ini Siwi, Bibi Tristan.
"Iya, Tante. Saya sekarang di ICS Jakarta."
"Aduh, dibedain aja ini manggil Saya sama Kakak Saya," ujar Siwi akibat bingung sama-sama dipanggil Tante padahal calon beda status.
Semua orang tertawa pelan disana.
"Bener juga, Bella mending panggil Saya Mama aja, biar sama kayak Tristan sama Gia," kata Linda yang direspon agak canggung oleh Bella. Sementara Tristan disampingnya asik saja dengan makanannya sembari senyam-senyum sendiri.
"Oh ... iya, Mah, Tante, hehe."
"Nah kan lebih enak."
Gia menggelengkan kepalanya, "Itu yang lagi makan puding nyengir tuh," ledeknya pada Tristan, membuat perhatian terfokus pada si pemilik hajatan malam ini.
Linda tersenyum, "Kalian berarti memang sudah siap ya untuk rencana pertunangan kalian? Sudah yakin? Bella, Tristan?" tanyanya kali ini serius.
Tristan dan Bella ikut berubah serius, lantas mengangguk.
"Iya Ma, Kami sudah bicarakan ini matang-matang," ujar Tristan yang disetujui oleh Bella.
"Bagus kalau gitu. Tapi kalian sendiri apa ada tujuan yang masih ingin dilakukan sebelum tunangan apalagi menikah? Yang sekiranya gak akan mudah terlaksana kalau kalian sudah menikah nanti?" tanya Siwi.
Keduanya tampak berpikir.
"Bella sudah selesai kuliah? Atau ada rencana studi lagi barangkali?" tanya Linda, mengingat Bella sepertinya belum menemukan jawaban.
Bella mengangguk dan tersenyum, "Kuliah sudah selesai sampai S3, Ma. Sepertinya sih sudah ya, gak ada tujuan tertentu yang harus selesai sebelum menikah," jawabnya yakin.
"Nah, kalau Tristan gimana?" tanya Linda lagi.
Tristan menghela nafasnya sejenak, "Ada, makanya Tristan inginnya tunangan dulu, mungkin tahun depan baru Kami menikah," ujarnya. Bella mengangguk, sudah tahu alasannya karena sudah dijelaskan waktu itu.
"Kenapa memang?"
"Pekerjaan Ma, ada kasus yang lagi Tristan tangani sampai tahun depan target selesainya."