***
Sejak kejadian dirumah sakit, Brian hanya terdiam dengan wajah yang tidak bisa ia mengerti. Arin merasa khawatir pada Brian, tapi ia tidak berani mengatakan apapun padanya karena takut membuat suasana hati Brian tertambah buruk.
Hari sudah semakin malam. Hanya bisa menunggu Brian dan juga menunggu mie cup yang sedang ia masak. Sudah beberapa menit yang lalu mereka sampai didepan minimarket sambil membeli cup mie dan cola.
" Maaf .." ucap Brian dengan wajah yang bersalah karena sudah melibatkan Arin dengan masalahnya. Ia baru menyadarinya apa yang ia lakukan pada Arin saat melihat pergelangan tangan Arin yang memerah karena dirinya yang menarik Arin begitu kasar.
" tangan lu gak apa-apa ?" tanya Brian dengan merendakan suaranya.
Sentak membuat Arin langsung mengenggam tangannya yang terlihat sedikit memerah, terlebih lagi tangan yang ditarik Brian tadi merupakan tangan yang baru saja ia lepas gips-nya.
" ahh .. nggak apa-apa kok, ini karena kulit ku terlalu sensitif .." ucap bohong Arin yang menyembunyikan rasa perih pada tangannya " kayanya mienya udah mateng, dimakan " ucap Arin yang mengalihkan suasana agar Brian tidak terlalu kepikiran tentang tangannya.
Dengan lahap Arin memekan mie-nya. Tapi tidak dengan Brian perasaan bersalah dan kekhawatirannya semakin bertambah saat melihat wajah Arin yang sama sekali tidak bisa berbohong.
" kenapa nggak dimakan ? nanti keburu ngembang mie nya .." ucap Arin mencoba membujuk Brian yang masih saja termenung dalam pikirannya sendiri.
Kemudian Brian mulai membuka penutup mie-nya dan mengaduknya secara perlahan. " kenapa lu nggak tanya apa-apa tentang kejadian tadi ?" tanya Brian kembali mengungkit masalah yang ingin Arin hindari karena tak ingin Brian tambah kepikiran.
Arin terdiam beberapa saat. " cuman .. nggak mau tanya aja" ucap Arin kembali melahap mie-nya.
Brian terdiam mendengar ucapan Arin yang entah kenapa membuatnya tersenyum dan membuatnya kembali teringat dnegan perkataan Arin malam itu, mungkin alasan Arin tidak bertanya karena tidak ingin menambah luka padanya walau wajahnya terlihat menyimpan banyak pertanyaan.
" Dia Ayah gue .. lebih tepatnya mantan Ayah, udah lama gue ngebuang dia .." ucap Brian dengan santai, membuat Arin melihat kearah Brian yang raut wajahnya tampak biasa saja, tapi suaranyta terdengar sangat berat seakan ia mencoba menahan sesuatu didalamnya.
" dan wanita yang tadi itu bukan Ibu .. dia istri barunya sekaligus Ibunya Fathan, gue udah nggak berhubungan sama pria tua itu .. ehfk .. nggak disangka harus liat muka orang itu lagi, menyebalkan .." jelas Brian yang tampak begitu kesal.
" dia ninggalin gue hanya karena cinta pertamanya, ninggal Ibu yang saat itu sedang sakit dan bahkan dia nggak datang saat Ibu dimakamkan .. gue ngeliat dengan mata kepala gue sendiri mereka bersama .. dan setelah gue ngebuang dia sekarang mereka mohon-mohon buat kembali setelah apa yang mereka kalian sama gue dan Ibu gue .. benar-benar masa lalu yang menyebalkan .." ungkap Brian, masalalu yang selama ini ia pedan seorang diri kini perlahan menjadi berkurang saat ia menceritakannya pada orang lain.
" tapi ... apa aku boleh tanya satu hal ?" tanya Arin dengan wajah berharap.
" apa ?".
Arin menjadi merasa ragu dan tidak enak hati saat melihat wajah Brian yang terlihat seoerti orang yang penuh luka, tapi dia tidak ingin luka itu dilihat oleh siapapun. Seperti anak kucing yang kehujan karena sang pemilik membuangnya. Berjalan dengan kaki kecil, mencari tempat teduh hingga tanpa sadar kakinya penuh dengan luka.
" sekarang kamu tinggal sama siapa ?" tanya Arin.
" sejak SMP gua udah tinggal sendirian .. rumah itu milik peninggalan Ibu, dan disanalah Ibu menghembuskan nafas terakhirnya " jawab Brian yang kemudian meneguk cola miliknya sambil menahan air matanya yang hendak mengalis karena ia tidak tahan saat kembali mengingat ingatan yang menyakitkan itu.
Arin terdiam memandangi Brian yang selama ini ia anggap orang yang paling tidak memiliki kesulitan apapun, ternyata dia juga memiliki penderitaannya dan masalalu yang kelam. Orang sedingin apapun dia, dia hanyalah manusia yang mencoba agar tidak dipandang kasihan oleh orang lain.
" Ibu meninggal 5 tahun yang lalu .. sejak saat itu gua terbiasa hidup sendiri .. " ungkap Brian.
" jangan pasang wajah bersalah kaya gitu " ucap Brian yang membuat Arin langsung mengalihkan wajahnya dari Brian dan melanjutkan makan agar Brian tidak menyadarinya.
Mereka hanya terdiam menghabiskan makan mereka.
Brian terus memandangi Arin yang begitu lahap, membuatnya merasa tenang. Focusnya hanya tertuju pada Arin tampak menahan air matanya karena tidak ingin terlihat oleh dirinya.
Arin terus menghela nafas mecoba mengendalikan dirinya dihadapan Brian, karena ia tidak ingin Brian melihatnya menangis. Setelah ia merasa airmatanya mulai mengering, Arin perlahan melihat kearah Brian yang ternyata sedang menatapanya tanpa berkedip.
" kenapa ? ada sesuatu dimukaku ?" tanya Arin sambil memegang wajahnya.
Perlahan Brian mengulurkan tangannya mengambil sepotong mie yang menempel didagu Arin. " Emangnya lu anak bayi apa ? makan aja belepotan " ucap Brian sambil menunjukan serpihan mie yang menempel didagunya.
" ahh .." Arin langsung mengelap dagu, memastikan tidak ada lagi yang tersisa.
" kenapa dia tiba-tiba begitu ? bikin orang jantungan aja " ucap Arin dalam hatinya yang masih terheran dengan sikap Brian yang membuatnya berdebar hingga salah tingkah.
Setelah selesai makan, Arin terdiam dalam pemikirannya sambil melihat kearah jalanan yang mulai sepi. Melihat langit tampak begitu muram, bahkan tercium aroma tanah yang berbaur dengan air. Sepertinya hujan akan turun, pikirnya.
Tiba-tiba Brian keluar dengan membawa eskrim yang kemudian diberikan pada Arin yang masih terdiam memandanginya.
" buat gue ?" tanya Arin sambil menunjuk dirinya sendiri.
" gua nggak suka eskrim" ucap Brian sambil terduduk dibangkunya dan meletakan sebuah eskrim tapi bukan terbuat dari cream pada dasarnya, berwarna hijau, seperti rasa buah melon berbentuk panjang.
Arin mulai menerimanya dengan ragu, lalu membuka bungkus eskrim tersebut dan memakannya. Wajah tersenyum karena Brian dengan kebetulan membeli eskrim yang ia sukai.
" tangan lu !".
Brian kembali membuatnya binggung.
Tiba-tiba Brian langsung meraih tangan kiri Arin dan langsung mengkompresnya dengan es berwarna hijau tersebut dengan penuh hati-hati. Arin tersentak merasa merinding saat es itu mulai menempel dikulitnya. Rasa dingin yang menusuk perlahan membuatnya nyaman.
Tanpa sadar ia terus memadangi wajah Brian yang entah mengapa membuatnya terpesona seakan sebuah magnet yang menariknya dengan sangat kuat, jantung yang berdebar dan perasaan hangat yang memeluknya.
" pasti gua udah gila".
***