Chereads / Sayap Hitam / Chapter 34 - Kerja 2

Chapter 34 - Kerja 2

"Liam, aku tidak tahu harus mengucapkan berapa banyak terima kasih padamu?" Ravi berkata sambil tersenyum pada Liam yang tengah berdiri di hadapannya.

Ravi menggenggam sekantung kertas penuh roti dan dia memang merasa sangat senang atas pemberian dari Liam ini.

"Itu tidak perlu, apalagi yang bisa aku lakukan untuk membantumu selain ini?" Liam balas tersenyum. Dia kemudian bertanya pada Ravi. "Apakah kamu tinggal di sekitar sini?"

"Tidak juga, aku tidak mengenal daerah ini. Tapi itu di ujung jalan sana." Ravi tidak benar-benar ingin memberitahu Liam di mana dia tinggal. "Aku tinggal bersama Raymond."

"Raymond?"

Ravi mengangguk, Liam memang belum pernah bertemu dengan Raymond, tetapi dia mungkin tahu dengan rumornya. "Dia kerabat keluarga kami. Dia tiba-tiba ingin mengikutiku kabur dari rumah juga."

"Aku pernah dengar itu. Mungkin kita bisa bertemu nanti untuk berbicara banyak hal lagi?"

"Benar. Besok di hari liburmu, apakah kamu memiliki waktu?" tanya Ravi, dia juga harus membuat Raymond bergaul dengan orang lain juga. Namun, keraguan Ravi serta ketakutannya akan jati diri Raymond akan terungkap di depan orang-orang nantinya jika mereka tidak berhati-hati.

"Tidak. Tentu saja, aku selalu memiliki waktu kosong akhir-akhir ini. Bagaimana jika itu di rumahku?"

Ravi mengangguk. "Itu bagus."

"Baik, aku akan mengirim pesan besok tentang tempatnya."

Sekali lagi Ravi mengangguk. "Bagus. Aku akan pulang.

Ravi hendak berbalik pergi, tetapi dia kembali mendengar suara Liam yang kembali menginstrupsinya. "Ada apa?"

Liam tampaknya bingung akan apa yang akan dia katakan pada Ravi. "Ravi, kamu tahu bahwa ini memang kota kecil, tetapi aku harap kamu harus terus berhati-hati. Maaf sebelumnya, bukannya aku ingin mengaturmu, akan tetapi lebih baik tetap menggunakan penutup wajah seperti ini jika berjalan keluar. Orang-orang terkadang akan berbuat jahat tanpa pikir panjang."

Ravi otomatis terdiam setelah mendengar kalimat panjang yang Liam katakan padanya. Dia sangat mengerti, apalagi ketika pikirannya tiba-tiba tertuju pada kejadian buruk di toilet kala itu membuat Ravi seketika bergidik ngeri. Ravi sangat yakin tidak ada yang salah pada dirinya, dia tidak memancing orang-orang-orang untuk datang padanya. Namun, kumpulan pria itu rasanya tidak membiarkan Ravi cukup untuk bernapas bebas.

Dia hanya orang biasa, tidak ada istimewa darinya bahkan Ravi tidak pernah peduli dengan penampilan. Orang-orang mengerikan itu tampaknya selalu memandangnya berbeda. Ravi mengalihkan pandangannya pada Liam kembali. "Baiklah, aku juga tidak ingin itu terjadi lagi."

Liam tidak mengatakan apa-apa lagi dengan wajahnya berubah datar.

***

Ravi terlalu bahagia hari ini, sepanjang perjalanan dia hampir tidak pernah berhenti tersenyum di balik maskernya. Dia percaya bahwa Liam pastilah telah berubah sekarang dan Ravi hanya tidak menyangka bahwa mereka akan bertemu di sini.

Ravi sebenarnya hendak menanyakan kala itu apa yang terjadi saat Liam menelponnya untuk meminta tolong saat itu, tetapi Ravi menahan dirinya dan hanya melupakannnya. Perbincangan serta aroma roti yang menguar di sekitar mereka membuat Ravi melupakan sejenak bagaimana rasa sakit di sekujur tubuhnya, tetapi sekarang dia mulai merasakan kembali hingga Ravi dengan terpaksa berhenti di sebuah bangku pinggir jalan.

Hari mulai gelap dan dia langsung memikirkan Raymond yang sendirian di dalam rumah, bertanya-tanya apa yang dia lakukan sekarang. Namun, untuk berjalan sampai di rumah Ravi masih tidak memiliki tenaga untuk melakukannya. Jika dia mulai bekerja dan menghasilkan, Ravi akan memeriksa segera ke dokter. Tidak ada penyakit yang tidak bisa di sembuhkan. Walaupun Raymond mengatakan bahwa Daniel adalah satu-satunya cara, Ravi tidak akan pergi ataupun bertemu dengannya lagi. Bagi Ravi kebohongan terasa sangat menyakitkan, apalagi ketika dia tahu selama ini Ravi tinggal bersama seseorang yang asing baginya. Mereka bukanlah keluarganya.

"Aku akan membuat penawaran padamu."

Kepala Ravi tersentak ke samping setelah dia mendengar sebuah suara, wajah Ravi mengeras melihat siapa yang dia temui di sini sekarang. Ravi langsung bertanya tajam. "Apa yang kamu inginkan?"

Adrian, pria itu tiba-tiba saja telah duduk di sebelahnya. Walaupun baju besinya telah ditinggalkan dan memakai pakaian aneh, tetapi terlihat biasa tetap saja dia terlalu mencolok untuk tidak dilihat oleh orang-orang apalagi dengan rambut terangnya.

Ada suara dengusan dari Adrian yang membuat Ravi segera memandang lurus ke depan dengan alisnya yang menukik. Dia tidak menyangka bahwa Adrian tahu di mana dia berada sekarang dan bagaimana caranya pria ini menemukan dirinya, tetapi sungguh bahwa Ravi tidak ingin diusik lagi.

"Tentu saja balas dendam."

"Kepada siapa kamu melakukannya, itu sama sekali tidak berhubungan denganku. Pergi jauh dari hidupku." Ravi berkata sungguh-sungguh dia mencengkeram tangannya dengan amarah yang meluap.

"Tentu saja itu berhubungan denganmu. Memiliki efek yang luar biasa."

Omong kosong dengan semua ini. Ravi tidak peduli. Dia tidak ingin terlibat apapun. Ravi bangkit berdiri menghadap pria itu, dia membuka maskernya dengan kasar untuk mengatakan lebih jelas lagi. "Aku tidak peduli apa yang kamu katakan, tetapi kamu yang sudah jelas sangat membenci manusia ini. Jadi, sebaiknya pergi."

Adrian ikut bangkit berdiri, jelas perbedaan ukuran badan mereka sama sekali tidak membuat Ravi takut, dia justru balik menatap Adrian dengan menantang. Pria seperti Adrian pastilah tidak akan terpengaruh pada orang-orang yang tengah berlalu lalang di sekitar mereka, memperhatikan apa yang tengah terjadi. Adrian menyerigai dengan kebencian di matanya dan sekali lagi Ravi tidak terpengaruh tentang itu.

"Manusia menjijikkan seperti kamu, seharusnya tutup mulut dan terima apa yang sudah menjadi takdir."

Ravi ingin tertawa sekarang, pria dewasa yang membencinya ini membicarakan takdir di hadapannya?

"Jika aku bisa menentangnya, mengapa aku harus menerimanya? Takdir itu terkadang datang dengan buruk, apakah aku harus menerimanya?" tanya Ravi menantang tanpa sadar menaikkan suaranya, dia sudah tidak peduli lagi jika orang-orang akan melihat serta mendengar keributan yang mereka ciptakan. "Mahkluk seperti kamu, yang sangat membenci manusia untuk apa datang kemari?"

Adrian sekali mendengus, tatapannya berduri pada Ravi. "Seolah-olah aku peduli apa yang kamu katakan."

Ravi berdecak, tiba-tiba merasa sangat lemah untuk berdiri terlalu lama. Berbicara dengan Adrian sama sekali tidak penting baginya dan untuk dasar apa Ravi menghabiskan waktunya di sini. Dia dengan terburu-buru merogoh kantung kertasnya dan mendapatkan sebuah roti isi cokelat di genggaman tangannya. Ravi dengan gerakan cepat melebar roti itu pada Adrian yang langsung menangkapnya.

Ravi melihat selintas tatapan tanya di wajah keras Adrian, tetapi dengan cepat Ravi berbicara tajam, "Sebaiknya mulutmu ditutup, membuat kepalaku pusing."

Dia tanpa kata lagi berbalik dan berjalan menjauh, melangkah dengan mantap tak ingin terlihat lemah bagi musuhnya. Namun, sebelum Ravi benar-benar pergi dari sana dia masih bisa mendengar Adrian berbicara yang tidak salah lagi itu mengarah padanya. "Nikmati saja, ini adalah kesempatan terakhirmu."