"Sapu! Bisa nggak kalau sehari aja kamu nggak bikin aku kesel. Tolong jangan seperti ini lagi. Aku cuma pengen privasi aja untuk satu hari doang. Tolong jangan merecoki aku. Cuma sehari. Please!"
Rani memasang wajah kesal namun sedikit memohon. Tangannya diletakkan di depan dada.
"Oke. Masa pacaran kita akan tambah satu bulan lagi, dan sekarang kamu boleh melakukan apapun yang kamu mau tanpa aku. Bye! Kita akan menjadi sepasang pacar lebih lama lagi."
Alul beranjak dari tempatnya dan meninggalkan Avissa Maharani yang masih terbengong. Dia membuang nafas kesal. Alul selalu satu langkah lebih menang daripada dirinya. Masa iya dia harus membayar satu hari ini dengan satu bulan yang menyebalkan dengan alul?
Tapi baiklah. Mungkin memang ini jalan satu-satunya. Dia tidak boleh melewatkan 23 Februari ini. Dia harus membuat Alul teringat akan tanggal itu. Tanggal yang selalu diperingati Avissa sebagai kebangkitan.
Mungkin, Kalau tidak ada hari yang menyakitkan itu, sampai sekarang dia tetaplah menjadi Avissa yang cupu, gendut dan dekil sehingga dia minder dan selalu dibully.
Kalau tidak ada insiden 23 Februari, dia masih menjadi pribadi yang tertindas dan tidak pernah mau bangkit. Sekarang dia bersyukur, ada seseorang yang mencegah dia untuk bunuh diri kala itu meskipun sampai saat ini dia belum tahu siapa laki-laki itu.
'Siapapun kamu, Aku harap kamu baik-baik saja sampai sekarang. Siapapun kamu, Aku harap kita bisa kembali bertemu dan akan aku ucapkan terima kasih. Siapapun kamu, aku banyak hutang Budi sama kamu.'
***
Avissa sengaja tidak mau dijemput oleh sopirnya. Perempuan itu berdiri di depan gerbang sambil mencangklong tas ransel dan memeluk beberapa modul. Dia terlihat celingak-celinguk, meskipun Sebenarnya dia tidak sedang menunggu apapun.
"Hai, Rani. Nunggu siapa?"
Kala itu, Ardian yang sedang menunggangi motor sport keluaran terbaru. Motor keren warna merah itu tampak mengkilat. Itu bisa menjadi poin plus untuk yang menungganginya.
"Em … lagi nunggu sopir aku, tapi sepertinya tidak datang sampai sekarang."
"Apa mau aku antar aja?"
"Emangnya nggak ngerepotin kak Ardian?"
"Nggak kok. Tenang aja. Aku free hari ini. Jadi aku bisa mengantarkan kamu pulang. Tapi, aku cuma naik motor hari ini."
"Oh, nggak apa apa, Kak. Aku suka kok dibonceng naik motor. Seru aja."
"Oh ya? Ya udah, ayo naik."
"Terimakasih, Kak."
Sambil tersenyum, Rani naik ke motor Ardian. Kini dia bisa tersenyum puas penuh kebahagiaan. Paling tidak, langkah awal untuk melaksanakan rencananya hari ini berjalan dengan lancar.
Tubuh mungilnya, kini menempel dengan punggung Ardian. Dia bisa mencium bau harum yang menguar dari tubuh Ardian. Dia ingat betul, ini Sama persis dengan parfum yang dipakai sewaktu SMA. Tidak pernah berganti dan dia selalu ingat bau itu.
Dulu, ini mimpinya. Bisa dekat dengan kakak kelas yang menjadi rebutan cewek-cewek yang ada di sekolahnya. Dia hanya bisa memandang dari jauh, Dia hanya bisa mengagumi dari jauh, tapi balasannya, dia selalu dibully habis-habisan. Puncaknya adalah ketika rambutnya dipotong beramai-ramai. Ya, puncaknya yang terjadi pada tanggal 23 Februari.
Semuanya masih terekam jelas di ingatan Avissa Maharani sampai sekarang.
"Kak, aku boleh turun di depan aja?" tanyanya. Dia sedikit memajukan mukanya, supaya Ardian bisa mendengar suaranya.
"Kenapa? Ku antar sampai rumah kamu."
"Aku laper, Kak. Lagi pengen makan pizza. Jadi turunkan Aku di depan aja?"
"Oooh … jadi mau makan-makan sendirian? Nggak mau ngajak aku?"
"Aduh nggak enak kak. Aku udah banyak merepotkan kak Ardian."
"Enggak apa-apa, Ran. Boleh aku menemani kamu makan? Kebetulan aku juga sedang lapar. Nanti sekalian aku pengen traktir kamu."
"Kalau memang tidak merepotkan kak Ardian, nggak apa-apa, Kak. Tapi … tidak ada yang marah kalau aku makan di luar sama Ardian?"
"Maksud kamu pacar? Tenang saja, aku nggak punya pacar sama sekali. Jadi aman."
"Oh … oke, Kak."
'Jelas saja kau tak punya pacar, Ardian. Karena kamu telah memutuskan pacar kamu seminggu setelah aku pindah ke sini kan? Dasar cowok mata keranjang. Lihat cewek bening dikit, lihat cewek populer dikit, lihat cewek jadi rebutan dikit, langsung pengen deketin. Aku sudah lebih dari hafal dengan tabiat kamu, Ardian.'
Di belakang, Rani tersenyum licik. Kemudian, motor melaju menuju ke sebuah Resto yang memang populer di kalangan anak muda. Banyak pasangan muda yang datang ke sana untuk nongkrong, mengerjakan tugas, dan makan makanan favorit mereka.
Beberapa menit kemudian mereka sudah sampai, Rani pun ikut turun. Sebenarnya dia bisa membuka helmnya sendiri, tetapi perempuan itu terlihat mengotak-atik pengait helmnya, Pura-pura kesulitan membuka.
"Kenapa Ran?"
"Kenapa sulit banget ya dibuka?"
"Oh, sini Ran. Biar aku yang bukain."
"Hah? Nggak apa-apa?"
"Ya nggak apa-apa lah. Sini aku bukain."
Rani tersenyum. Dia mempersembahkan senyum termanisnya. Senyum yang memang diniatkan untuk menggaet hati Ardian. Mungkin laki-laki itu sudah tertarik pada Rani, tetapi masih belum klepek-klepek.
Perempuan itu harus bisa membuat laki-laki yang ada dihadapannya jatuh cinta dengan sebenar-benarnya. Biar dia bisa mengajak laki-laki itu membumbung tinggi kemudian dia akan menghempaskannya dengan keras. Itulah yang dia inginkan sejak lama.
Saat itu, Ardian membuka pengait helm yang dipakai oleh Rani. Perempuan itu memanfaatkan waktu dengan menatap laki-laki itu lekat seolah Dia sedang mengagumi. Padahal, rasa kagum itu telah luntur bersama dengan rasa sakit hati dan kecewa pada hari itu.
"Sudah, Ran."
Ardian mengangkat kepalanya dan mendapati Rani sedang menatapnya dengan tatapan yang dalam. Saat itu, Ardian langsung salah tingkah. Dia tersenyum sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?"
"Haah … enggak kok. Maaf. Reflek aja menatap kak Ardian. Maafkan aku ya, Kak. Pasti kak Ardian merasa nggak nyaman ya? Oh iya, aku juga terima kasih banyak karena hari ini kakak sudah melakukan banyak hal untukku."
"Eh nggak apa-apa. Benar-benar nggak apa-apa kok. Kalau mau mandang mah mandang aja. Soal aku yang melakukan banyak hal untuk kamu hari ini, kau pantas mendapatkannya. Mana mungkin aku akan membiarkan perempuan cantik seperti kamu menunggu yang tidak pasti di pinggir jalan. By the way, Seharusnya aku yang mengucapkan terima kasih karena kamu memberi kesempatan aku untuk semua bonceng kamu hari ini. Hari ini menjadi hari yang terindah buat aku. Thank you ya?"
Ardian tersenyum lebar. Sungguh, dia memang benar-benar bahagia karena akhirnya dia bisa membonceng Rani di motor kerennya. Saat itu dia benar-benar merasa keren, karena dia tahu. Membonceng Rani adalah impian banyak laki-laki di kampusnya.