Dari keramaian orang orang berseru memanggil nama Jared. Menyatakan kesetiaan mereka menggunakan embel-embel fanatismenya. Jared termenung di kursi mobil, matanya menutup seperti orang malas. Suasana di sekitar tidak lebih seperti pasar swalayan yang ramai, berisik. mereka tak segan-segan untuk mengetuk pintu kaca mobil milik Jared.
Sepertinya, bukan hanya kali ini saja mobil itu menjadi bahan amukan. Sebelumnya di lokasi syuting, tempat-tempat umum, yang biasa Jared datangi pasti mobil ini menjadi penyelamat dan juga untuk tempat perlindungan. Maka, pastilah sudah terpikir berapa kali mobil tersebut direparasi akibat pengagum Jared membeludak cukup pesat.
"Kita mau ke mana, Tuan?" Suara Edmun, sang sopir terdengar dari depan. Lelaki itu melirik takut-takut pada Jared. Sejak tadi perasaan Jared sudah amburadul, hatinya ikut tidak tenang.
"Kita ke De' Levagna," jawab Jared.
Prihal pesan chat masuk beberapa menit lalu memenuhi ponselnya. Di situ tertera nama Oma. Seperti panggilan alam yang menuntun Jared agar segera menuju tempat yang tadi baru saja ia ucapkan. Ada sesuatu yang perlu didatangi, pikirnya saat ini.
Mobil berjalan menuju jalan besar setelah Jared memberi perintah, membelah jalanan Jakarta yang dipenuhi debu. Suara orang orang meneriakinya sekarang terdengar samar. Jared bisa bernapas lega setelah pergi menghilang. Kalau bukan hari ini syuting terakhirnya, ia tidak akan mau berada di mansion sewaan sang produser di daerah Kemang.
"Ada Marchelle, kan?" tanya sebuah suara yang datang dari sampingnya. Orang itu terlihat agak tua dari pada Jared yang muda. Jared memiliki khas senyum yang sulit dipahami, misterius. Alisnya bewarna cokelat gelap asli, kedua matanya biru jeli. Terkadang orang-orang tidak mengerti kemauan lelaki itu hanya karena dibalik senyumnya yang terkesan friendly.
"Sepertinya ada. Aku malas mengurusi orang ganteng," katanya menghela napas. Jordan, sang manajer, tertawa setelahnya.
"Kalau dia ganteng, kamu apa? Hidupmu mirip seorang Raja Darmawangsa kalau dipikir-pikir. Walau kalian sama sama ganteng, mulut kalian juga teramat pandai mendumel."
"Iya, aku tau," jawab Jared singkat.
"Aku menduga, Marchelle mau melihatmu menderita malam ini. Berarti hari ini adalah hari terpanjangmu untuk melakukan pendekatan dengan seorang wanita." Jared mengangkat bahu.
"Kau sudah tau bocoran wanita yang mau dijodohi untukku?" Jared mendadak membuka mata, ia melirik Jordan.
"Aku, tau. Dia Genevieve Hudson. Keluarganya sangat menyukai lukisan. Gadis itu bahkan orang yang pandai melukis. Jurusan sastra, pun gadis itu cukup malang. Orangtua wanitanya meninggal akibat tak kuat melawan penyakit. Tuan Hudson sangatlah merasa sedih. Bila ingin menghiburnya, kau perlu cari referensi pelukis ternama sebelum mencapai restoran Billie."
"Tak usah," tolak Jared mengambil botol minumnya yang terselip di sekitarnya.
"Wanita itu cantik, Jey. Usianya masih sangat muda. Sekitar dua puluh dua tahun. Omamu cukup piawai mencarikan jodoh. Aku sudah tidak bisa menghitung Genevieve wanita ke berapa setelah Penelope, Riana, Greeny, Stephany dan lainnya. Tapi, lagi-lagi gadis yang ingin dikenalkan adalah seorang yang mandiri." Jordan menatap ponsel, mengetik beberapa pesan singkat kepada orang lain.
Suara napas Jared terdengar frustrasi. Kepalanya di dongakan ke atas lantaran terasa denyut di sekitar otaknya yang mulai memanas.
"Aku bisa melakukannya hari ini tanpa bantuanmu," ungkap Jared.
"Kau serius?" Jordan mengangkat alis.
"Ya, untuk apa aku tak serius. Hidupku lebih baik seperti ini bukan? Bila aku menolak terus, aku tak bisa hidup bebas. Kau tau sendiri, Oma adalah makhluk yang sangat menyebalkan." Jared bergidik. Matanya tak lepas menatap jalanan yang lengang. Sementara Jordan tertawa lebar lebar. Dia tahu kondisi bosnya kapan harus serius.
"Ahaha, aku tau itu. Kau hanya perlu duduk, berbincang dan berkenalan. Tidak perlu mengeluarkan aset berhargamu. Benar, kan, aku?"
"Ya! Marchelle pasti tau aku akan menolak lagi."
"Hehe.., Sepupumu sangatlah tau apa yang kau mau," terang Jordan beralih memandang Jared. Mata lelahnya sama persis seperti Jared, berkantung, gelap, banyak guratan.
"Beberapa hari lagi ada konfrensi pers. Selain itu, jadwalmu cukup senggang."
"Bagus," senang Jared tersenyum. Wajahnya terpias lampu jalan. Tubuhnya terlihat sangat lelah. Beberapa menit ini ia bahkan baru bisa duduk di samping Jordan.
"Berapa lama waktuku senggang?" tanya Jared.
"Sekitar kau bernapas," ledek Jordan menepuk punggungnya.
"Aku perlu menceburkan diri di kolam sepanjang musim panas ini. Otakku cukup mendidih." Jared menghela napas.
"Bisa semingguan kau berenang menjadi duyung. minggu depannya lagi Faith perlu bertemu denganmu," jawab Jordan akhirnya menutup ponsel. Dia mengambil kudapan di atas meja nakas kecil.
"Dia ingin bekerja sama?" bingung Jared.
"Iya, soal sabun."
Jared beroh, menaruh kembali botol minum yang tadi sempat ia buka dan memandang ke jalan lagi. Sebenarnya, Jared bukan laki-laki yang sombong dan bukan laki-laki yang membosankan. Dia terlalu realistis dan banyak menimang-nimang. Bila itu cukup disenangi olehnya, pasti akan ia lakukan dengan sepenuh hati.
"Aku mau penawaran cukup tinggi. Ini soal tubuhku yang nanti diekspos. Kau tau, kan, aku bukan orang yang senang bertelanjang dada di depan manusia? Tapi itu dirasa cukup untuk koneksiku ke Math Belamy."
Jordan berhenti mengunyah, kepalanya langsunh menoleh setelah mendengar nama orang yang pernah bersinggungan dengan Jared di masa lalu. Seperti nama keramat yang dilontarkan, Jordan terpaku.
"Kau masih berpikiran kalau kematian Faya ada sangkut pautnya dengan beberapa agensi di situ?" Jordan bertanya, wajahnya terlihat tidak senang mengait-ngaitkan prihal ini, tapi Jared telah berterus terang.
Suasana kali ini cukup serius. Jordan menggiring pertanyaannya ke sebuah tragedi masalalu. Jared tidak merasa keberatan bila telinganya mendengar nama yang menurutnya sudah jarang diucapkan di sekitar lingkungannya. Tetapi ucapan Jordan cukup membantu Jared untuk menuju realita bahwa dirinya di dunia hiburan hanya karena satu misi.
"Ya," balas Jared menutup serangkaian perbincangan mereka yang lantas lelaki itu menutup mata kembali seperti sedia kala. keheningan tak bisa mereka hindarkan lagi. Mobil terus berjalan hingga mereka tiba di De' Levagna, Jordan masih diam duduk di kursi.