"Keberhasilan berbanding lurus dengan doa dan usaha. Kuberharap ini benar benar langkah yang diridai oleh Nya"
-Alesha Neyka Alditama-
"Alesha Neyka Alditama," ucap seorang pembawa acara dengan lantangnya.
Deg!
"Gue?" Batin Ney tak percaya.
Ya, dialah Alesha Neyka Alditama. Salah satu siswi berbakat yang diamanahkan untuk mewakili sekolah dalam festival menulis internasional di Tokyo. Impian yang sejak lama diincarnya dan kini sudah ada di depan mata.
Kebahagiaan yang hadir tak bisa lagi ia sembunyikan, segala usahanya selama ini telah terbayarkan. Catatan impian dan langkah langkah yang ingin digapainya telah tertulis rapi seakan masa depan adalah hal yang begitu berharga.
"Wah, gila, sih, Lo. Gue akui sekarang, Lo emang ga ada tandingannya," ucap Alma dengan girangnya.
"Yeh, bukannya Lo udah mengakui itu dari dulu ya?" Jawab Ney dengan sedikit sombong.
"Iyakah? Ga tau deh tapi, gue baru menyadarinya," ucap Alma sambil terkekeh.
"Hoi, bisa bisanya kalian santai di sini. Kalian ga tau apa temen kalian yang satu ini abis berjemur di depan gerbang sekolah," cerocos Manda dengan nafas tidak beraturan.
"Dih, siapa suru berjemur. Kerajinan!" Jawab Alma dengan wajah polosnya.
"Benar benar si Alma ini, apa dia tidak tahu kalau Manda berjemur karena dihukum, hadeuh," batin Ney. Manda yang mendengar jawaban Alma hanya berdecak kesal.
***
"Gue tunggu hasil akhir karya ilmiah Lo 3 hari lagi ya, sebelum berangkat ke Tokyo," ucap seseorang dengan tiba tiba.
"Astaghfirullah," batin Ney kaget, untung saja ia tidak punya riwayat jantung. Bisa bisanya kakak kelasnya yang satu ini bicara tanpa basa basi.
"Baik, Kak," ucap Ney dengan senyum yang sedikit terpaksa.
"Oiya, hari ini giliran lo ngurus mading sekolah, kan? Jangan lupa minta hasil karya anak jurnalis yang lain untuk ditempel di mading ya!" Tukasnya sedikit memerintah.
Kalau saja bukan dunia kepenulisan yang menjadi impian terbesarnya tentu sudah jelas ia tidak akan kuat bertahan sejauh ini dijurnalistik. Menulis seakan membawa Ney terbang bebas, tanpa aturan dan paksaan namun tetap berada dijalur yang aman. Beban beban hidupnya seakan hilang, apalagi jika teringat kejadian 3 tahun lalu yang membuatnya begitu terpuruk.
Ayah yang begitu dicintainya harus pergi untuk selamanya, meskipun mama masih begitu memberikannya kasih sayang namun, salah satu sosok pelindungnya terasa begitu tak ada. Perbedaannya jelas terlihat. Untung saja kak Alvin bisa membuatnya sedikit terhibur dan melupakan masa lalu yang kelam.
Ya, dia adalah Alvin Ramatha Alditama. Putra sulung dari Maulana Alditama dan Wanda Amira Alditama atau lebih tepatnya kakak kandung dari Alesha Neyka Alditama. Keluarga yang cukup terpandang namun, sejak kepergian Maulana Alditama derajat keluarganya turun dan sebagian harta yang dimilikinya menghilang tanpa laporan keuangan yang jelas.
Tetapi sudahlah, itu masa lalu dan Alvin tengah berusaha mendapatkannya kembali, demi sebuah keluarga serta masa depan adiknya. Kesederhanaan cukup membuat keluarga Alditama bahagia namun, ketidakadilan adalah musuh terbesar yang tidak bisa ia terima begitu saja.
***
"Eh…eh… Lepasin tangan gue donggg!" Teriak Ney sambil berusaha melepas tangan seseorang yang mengunci pergelangannya.
"Lo, sih, udah tau kan kita janjian tapi masih aja tuh jalan kayak siput!" Tukas Alvin, kesal.
"Yeh, iya maap dah."
"Sebagai ucapan selamat, gue traktir lo makan aja deh, yaaa?" Tanya Alvin sambil melirik kursi sebelahnya yang diduduki oleh Ney.
"Okeh, gue lagi mau makan yang pedes pedes," jawab Ney sambil memasang seatbelt nya.
"Ga boleh! Lo lupa apa terakhir lo makan pedes langsung diare," tukas Alvin dengan nada yang tak lagi bisa dibantah.
Selama perjalanan, Ney memasang muka masam, merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa terkena makanan pedas dan kakaknya yang satu itu tidak pernah memberikan keleluasaan.
"Dah sampe, ayo turun!" Ajak Alvin begitu bersemangat.
"Dih, apaan Lo, ajak gue ke angkringan?!?! Tampang doang cakep, kantong tipis, cih." Mood Ney seakan memburuk.
"Yeh, jangan langsung merendahkan gue gitu aja dongg, coba dulu deh, Lo bakal ketagihan," bujuk Alvin.
"Ini bukan masalah mau atau ga, cuma ga sesuai aja ama tampang lo yang suka kegantengan itu tapi, ngajak makan di sini," ucap Ney sambil terkekeh geli.
"Gimana perkembangan komunitas kerohanian yang Lo ikutin itu? Aman kan? Pokonya gue ga mau ya kalo adek gua yang satu ini cuma modal otak doang tapi kopong kalo soal ilmu agama," cerocos Alvin sambil menikmati makanan yang tersaji.
"Yaelah kak, santuy. Lo tau kan gue ini bisa diandalkan dan ga akan berbuat aneh aneh," jawab Ney dengan pedenya.
"Yaudah, ayo buru jangan kayak siput!" Perintah Alvin yang tiba tiba sudah bergegas menuju mobilnya.
"Bener bener Lo ya, sumpah ngeselin banget. Bisa bisanya gue punya Kakak mecem dia!" Ucap Ney dengan sumpah serapahnya.
***
Ternyata Alvin memang sepeduli itu terhadap Ney. Awalnya memang hanya mengajak makan diangkringan namun, sebelum pulang Alvin mengajaknya ke sebuah toko buku langganan adiknya, sekaligus mencari perlengkapan yang akan digunakan adiknya menuju keberangkatannya ke Tokyo pekan depan.
Terkadang memang begitu menyebalkan, ya, untung saja tidak bertahan lama. Alvin memang tidak suka melihat adiknya pulang ke rumah dengan mood yang cukup buruk dan menurutnya, inilah solusi yang terbaik.
"Lah, mama mana, Kak?" Tanya Ney mendekati sofa di ruang keluarga.
"Oh iya, tadi pagi mama bilang ada urusan mendadak diluar kota dan baru balik dua minggu lagi," jelas Alvin. Ney hanya bisa mendengus sebal, bisa bisanya mama pergi tanpa mengabari dirinya.
***
Pranggg…
"Neykaaaaa!" Teriak Alvin yang seketika memecah gendang telinga seluruh penghuni rumah. Eh tapi, bukan, bukan seluruh penghuni rumah lebih tepatnya hanya Ney karena mereka hanya berdua di rumah.
Dengan langkah yang tergopoh gopoh Ney memaksakan diri menuju dapur padahal ruhnya belum seratus persen terkumpul. Ini semua demi keselamatan dapur mereka sebelum Alvin mengubahnya menjadi kapal pecah. Bisa bisa, ia juga yang terkena semprot ketika mamanya kembali.
"Harus sabar," batin Ney menguatkan dirinya sendiri.
"Cepet Ney! Ini gue udah ga tau lagi, mending Lo lanjutin deh, gue udah laper," titah Alvin sambil memegangi perutnya yang keroncongan. Ney pun mencicipi nasi goreng buatan kakaknya yang masih setengah matang.
"Wuekkk." Ney memuntahkan nasi itu dan meneguk segelas air.
"Kak, ini lo ngasih garam berapa sendok?" Tanya Ney mengintrogasi.
"Dua sendok makan," jawab Alvin dengan santainya.
"Bisa bisanya dia memasukkan dua sendok makan sedangkan nasinya hanya satu porsi," batin Ney yang mulai geram.
Ney meracik semuanya dari ulang sebelum kakaknya itu mengamuk karena kelaparan. Tak membutuhkan waktu lama, masakannya sudah tersaji di atas meja. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit dan makanannya sudah kandas.
"Bener bener Lo, Kak, giliran makan aja cepet. Kalo disuru masak dapur sampe kayak kapal pecah, mending jadi, taunya kaga. Gue gue juga, huft," cerocos Ney. Bukannya mengucapkan terima kasih, Alvin justru bergegas menuju kamar dan meninggalkan adiknya seorang diri diruang makan.
"Sabar Ney sabar," batin Ney sambil mengelus dada.
***
Hari ini adalah hari libur, waktu memang begitu cepatnya berlalu. Esok adalah hari keberangkatannya menuju Tokyo. Suatu hal yang diimpikannya sejak dulu. Sedih juga karena harus meninggalkan rumah walaupun hanya untuk beberapa hari. Apalagi Ney belum juga bertemu mamanya sejak beberapa hari lalu.
Segala persiapannya sudah lengkap dan bisa dipastikan tidak ada yang tertinggal. Tiket pesawatpun sudah didapatnya kemarin. Tentu saja persiapan ini tak akan selesai jika Alvin tak selalu mengingatkannya.
Segala mimpi yang dirajutnya sejak dulu satu per satu akan tercapai. Butuh usaha dan doa yang tidak sebentar, semuanya harus dilandasi oleh rasa semangat dan sabar yang kuat. Teman temannya satu per satu sudah mengiriminya pesan, dari yang mengingatkan untuk hati hati sampai menagih oleh oleh ketika kembali. Apalagi Alma dan Manda yang tak henti hentinya mengirimi pesan aneh tak berbobot.
***
Pukul 03:00 dini hari. Ney terbangun, menghirup angin segar yang masuk dari celah celah jendela yang tak tertutup rapat. Ia sengaja menyisihkan sebagian waktunya untuk bertemu, bermunajat pada Rabbnya. Semoga saja langkah yang akan ia ambil selanjutnya adalah benar dan merupakan hadiah atas doa dan kesabaran yang selama ini dirajutnya.
Kelas intensif kerohanian sudah rutin dilakukannya sejak satu tahun lalu. Berkat bujukan Alvin yang merupakan mantan santri. Walaupun sifat santrinya tidak nampak dalam kesehariannya namun, Ney tahu bahwa ilmu agama sangatlah dijunjung tinggi oleh kakaknya. Buktinya 7 hari 7 malam, Alvin membujuk Ney agar mau fokus pada ilmu agama tanpa mengesampingkan ilmu ilmu dunia. Akhirnya Ney luluh juga dan mulai sadar akan dampak baik yang dirasakannya. Menggantungkan harapan dan cita cita pada sang pemilik segalanya.