Chereads / Diaforά / Chapter 3 - TIGA

Chapter 3 - TIGA

"Terimakasih, kak, atas materinya."

"Iya, sama-sama. Pulangnya hati-hati, ya."

Semua anak kelas sepuluh dan sebelas yang ada di ruangan tutor kebumian melenggang pergi untuk pulang setelah Lavina mengakhiri sesi pembelajarannya. Ia hanya sendirian saat memberikan materi bidang olimpiade-nya karena teman-temannya yang lain tengah sibuk dengan organisasi lain. Kini Lavina tengah membereskan buku-buku yang barusan ia pakai sebagai pegangannya memberi materi pada adik-adik kelasnya. Setelah selesai memasukkan semua buku ke dalam tas dan juga tote bag, Lavina berjalan keluar ruangan lalu menutup pintunya.

Ditengah perjalanannya, ia merogoh saku rok-nya untuk mengambil ponsel untuk melihat jam karena ia lupa tak memakai arloji di tangannya. Saat ini sudah masuk waktu Maghrib, Lavina memutuskan untuk beribadah terlebih dahulu di masjid sekolahnya. Setelah sampai di masjid, ia seperti melihat sosok Dania yang tengah memakai mukena. Tapi, ia tak mendekatinya. Ia akan mengambil air wudhu dulu, baru ia menghampiri Dania.

"Oy, Dan!" panggil Lavina setelah selesai berwudhu, membuat Dania menoleh ke arahnya.

Dania yang bingung dan sedikit terkejut hanya bisa mengerutkan keningnya. "Lo kok tumben belum pulang?" tanyanya pada Lavina.

"Iya nih, barusan selesai nutorin adik kelas. Kan hari ini jadwalnya. Gue mau pulang, tapi nanggung Maghrib. Jadi sekalian aja deh Maghrib dulu disini," jelas Lavina sembari mengenakan mukenanya.

"Ooh."

"Lo sendiri kenapa belum pulang? Rapat lagi?"

"Ya, gitu deh." Dania mengedikkan bahunya.

"Rapat mulu, lo, Dan. Bosen gue," ucap Lavina.

"Padahal lo yang rapat, tapi gue yang bosen tiap pulang sekolah denger lo selalu bilang 'duh gue hari ini rapat' eww," lanjut Lavina sembari melirik sinis lalu tertawa setelahnya.

"Ya, gimana lagi? Organisasi gue sesibuk itu." Dania mendengkus.

"Untung gue minggat dari organisasi itu," ucap Lavina tersenyum memamerkan giginya sembari membayangkan dirinya dulu saat akan keluar dari organisasi yang sama dengan Dania.

"Heleh," cibir Dania malas.

Setelahnya, adzan Iqamah berkumandang. Lavina, Dania dan murid lain yang berada dalam masjid langsung berdiri untuk menunaikan solat Maghrib.

Setelah selesai solat, mereka berdua pun melipat kembali mukena mereka masing-masing. Lalu saat Dania akan berdiri, tangannya di cegah oleh Lavina.

"Napa lo?" tanya Dania.

Lavina tampak berpikir sejenak, "gajadi deh, nanti aja gue chat pas udah di rumah." Lavina melepaskan cengkraman tangannya pada tangan Dania.

Dania memutar bola matanya malas sembari berkata, "lo kalo mau ngomong, ya ngomong aja kali! Jangan bikin gue kepo deh!"

Lavina menghembuskan napasnya pelan, "tadi gue tuh kan beli buku di toko buku. Pas udah selesai, gue harus jalan agak jauh dulu buat ambil motor gue karena kondisinya tadi tuh parkiran pada penuh."

"Terus?" tanya Dania sembari mendengarkan dengan seksama. Tangannya masih sibuk melipat mukenanya.

"Terus gue ketemu sama temennya doi lo."

"Hm? Siapa? Kai?" tebak Dania.

Lavina mengangguk.

"Terus?"

"Terus dia maksa gue buat nganterin gue ke sini. Padahal dia pake mobil katanya. Gue sempet nolak, tapi dia kekeuh mau anterin gue. Alhasil, gue ga bisa nolak. Padahal sebenernya gue ngerasa ga enak karena nanti dia harus bolak-balik gara-gara nganterin gue kesini."

Dania sudah selesai melipat mukenanya. Ia menghadapkan wajahnya ke langit-langit masjid, dengan tangan menyangga tubuhnya di belakang. "Gue rasa, Kai suka sama lo."

Lavina terbelalak kaget. "Idih! Mana mungkin ah!"

Kini ia juga sudah selesai melipat mukenanya. Ia menumpu dagunya di atas kedua telapak tangannya dengan kaki menyilang.

"Mungkin aja kali! Inget dua hari yang lalu, dimana lo akhirnya di anterin pulang juga sama dia?"

Lavina mengangguk sembari menatap Dania ragu.

"Dia juga maksa lo kan? Dan akhirnya lo mau di anterin sama dia. Padahal setau gue, orang tua lo posesif banget sama lo. Ya walaupun namanya orang tua punya anak cewe, pasti posesif sih." Dania menghela napasnya.

"Gak ketauan tuh sama bonyok lo?" Dania lanjut bertanya.

"Enggak sih. Kan cuma sampe depan gerbang aja, dia ga gue suruh masuk. Gila aja! Bisa di interogasi ntar gue."

"Kayaknya abis ini Kai nge-chat lo."

"Dih, sok tau lo!" Lavina meninju pelan lengan Dania.

"Cih, Lo ga percaya sama sahabat lo ini?"

"Kagak. Percaya sama lo, berarti gue musyrik. Gue gak mau nambah dosa!" Dania lalu memukul lengan Lavina sembari menggerutu. Sementara Lavina hanya terkekeh melihat tingkah sahabatnya.

Setelah percakapan itu, Lavina pamit pulang duluan pada Dania yang masih harus melanjutkan rapatnya. Ia menuju parkiran motor, lalu mengendarai motornya untuk pulang.

Sekarang Lavina sudah berada di dalam kamarnya. Ia sudah selesai mandi dan ganti baju, kemudian ia melangkah ke arah kasurnya. Ia duduk di tepi kasur sebelum memutuskan untuk rebahan. Ia mengecek ponselnya, dan di saat itu pula terdapat notifikasi WhatsApp yang masuk dari nomor yang tidak di kenal.

'Hm? Siapa?' tanyanya dalam hati.

Dan tiba-tiba saja ia teringat perkataan Dania tadi. Jantung Lavina berdetak cepat secara tiba-tiba. Membuat dirinya sendiri pun bingung.

Mengapa ia harus deg-degan seperti ini?

Dibukanya notifikasi tersebut, lalu ia mencari tahu profile WhatsApp dari sang pengirim. Tertulis nama 'Aisha Dewi Kenanga' disitu.

Ternyata bukan dia. Entah kenapa Lavina sedikit kecewa karena pesan masuk itu bukan dari Kai. Perkataan Dania tadi saat di masjid berarti salah. Bukan Kai yang akan mengiriminya pesan, tapi Aisha. Sahabatnya sejak SMP.

Ia membalas singkat pesan Aisha yang meminta untuk di saveback karena nomor WhatsApp-nya ganti. Setelah membalas pesan Aisha, Lavina meletakkan ponselnya ke atas nakas. Lalu ia naik ke atas tempat tidurnya untuk rebahan.

Belum juga menikmati rasanya rebahan karena seharian ini ia full berada di sekolah, mamanya memanggilnya untuk turun. Lavina berdecak sembari turun dari kasurnya dengan langkah gontai.

"Kenapa ma?" tanyanya setelah menghampiri Haika, Mama Lavina.

"Makan dulu." Haika yang tengah membuatkan susu untuk adik Lavina yang baru berumur 3 tahun itu lalu memberikan piring kosong pada Lavina.

"Tuh, ambil. Udah tinggal kamu doang yang belum makan." Haika mengarahkan matanya menuju tutup saji yang berada di atas meja makan. Lavina lalu berjalan mendekat ke arah meja makan dan mengambil nasi serta lauk-pauknya.

Haika meninggalkan Lavina yang sedang makan sendirian, karena ia harus menidurkan anak bungsunya. Lavina adalah anak pertama dari dua bersaudara. Jadi, selama 14 tahun lamanya bisa dibilang ia menjadi anak tunggal dalam keluarganya. Tetapi, ada Al, sepupunya yang sudah tinggal bersamanya sejak 13 tahun yang lalu. Alfredo Kevan Lazuard nama lengkapnya. Jarak umur Lavina dengan Al hanya terpaut satu tahun, dan pastinya Lavina lah yang lebih dewasa. Al sebenarnya masih mempunyai orang tua, tapi entah kenapa ia merasa nyaman tinggal dengan Lavina dan keluarga. Dan orang tua Al pun akhirnya mengizinkan Al untuk tinggal bersama Lavina dan sesekali mengunjunginya. Namun, anak tunggal bukan menjadi alasan Lavina untuk bersikap manja. Ia tak pernah manja pada orang tuanya. Apalagi, Al sudah ia anggap seperti adik kandungnya sendiri. Jadi, ia merasa bahwa ia adalah anak sulung yang memiliki adik dengan jarak terpaut satu tahun saja. Namun meski tidak manja, ia adalah anak yang sedikit pemalas. Sedikit. Entahlah.

Ponsel Lavina bergetar, menandakan adanya notifikasi pesan yang masuk. Ya, sebelum turun, ia mengambil ponselnya untuk berjaga-jaga. Dan juga ia mengubah mode silent pada ponselnya menjadi mode getar. Siapa tahu, ada gitu yang mengiriminya pesan. Dan terbukti kan ? Lagian Lavina tak mau membuat seseorang menunggu balasan pesan darinya. Karena ia tahu, menunggu itu sangatlah tidak enak. Maka dari itu, Lavina sangat benci menunggu.

Ia mengalihkan perhatiannya sebentar untuk melihat siapa si pengirim pesan. Tetapi, Lavina justru mengernyit bingung.

'siapa lagi nih? ntar tiba-tiba bukan orang yang di pengenin lagi. Eh, bentar! Barusan gue bilang apa? Dipengenin? Emang siapa yang gue pengenin?'

Akhirnya Lavina membuka isi pesan tersebut menggunakan tangan kirinya yang sedang tidak memegang apapun. Ia membaca isi pesan tersebut dengan dahi yang mengernyit.

"Apa sih, pa pe pa pe. Permisi kek, punten kek, salam kek, apa kek. Ish," ucap Lana dengan mulut setengah penuh. Kemudian ia menekan icon profile sang pengirim untuk mengetahui siapa yang mengiriminya pesan. Namun tak ada nama jelas dari si pengirim. Hanya ada tiga huruf kecil yang disambung yakni "kth" di kolom nama dan juga profile tanpa gambar.

Lavina mendengus lalu membiarkan ponselnya begitu saja. Biar lah, ia malas dengan pengirim pesan yang selalu memulai chat dengan huruf 'P'.

Belum juga semenit setelah di letakkan kembali ke atas meja, ponselnya kembali bergetar. Lavina kembali melongokkan kepalanya sembari mendengus untuk mengecek pesan pada ponselnya.

Si pengirim itu lagi. Kali ini dengan kalimat 'selamat malam.'

Mungkin orang itu peka dengan kalimat chatnya yang membuatnya hanya mendapatkan centang dua biru.

Lavina kemudian mengetik balasan 'malam' menggunakan ibu jari tangan kirinya. Tak perlu menunggu waktu lama untuk mendapat balasan, si pengirim pesan itu membalas lagi.

Ini Lavina ya?

Iy.

Sp y?

Lavina sengaja menyingkat kalimat chatnya karena ia kesal-selain kesulitan karena sedang makan menggunakan tangan-dengan pengirim pesan yang sok misterius seperti ini. Dulu, ia juga pernah mendapat pesan seperti ini. Tapi ternyata pengirim pesan tersebut adalah sosok lelaki yang ingin berniat jahat padanya. Walaupun hanya sekadar dari sosial media. Maka dari itu, ia tidak mau kejadian tersebut terulang kembali.

Kai.

Save ya, Luv😊

Jantung Lavina berdebar kencang saat membaca nama yang terpampang di roomchat-nya. Bahkan makanan yang tengah ia kunyah di dalam mulutnya pun sampai jatuh lagi ke piring karena ia membulatkan mulutnya.

Bukannya lebay. Ia benar-benar terkejut bahwa perkataan Dania tadi benar-benar menjadi nyata. Lavina langsung mengetik kata 'oke' lalu mengirimnya. Setelahnya, ia meletakkan ponselnya lagi ke atas meja. Lalu ia melanjutkan kegiatan makannya yang sempat tertunda. Ponselnya kembali bergetar, namun Ia lebih memilih untuk melahap semua makanannya terlebih dahulu, baru membalas pesan dari Kai.

Mau bagaimanapun, urusan perut memang lebih penting dari doi sekalipun.