Chereads / Diaforά / Chapter 2 - DUA

Chapter 2 - DUA

Hari ini adalah hari pertama dimana para siswa kembali bersekolah. Senin sore ini, Lavina keluar dari toko buku dengan sebuah kantung plastik besar berisikan buku-buku olimpiade kebumian untuk diberikan kepada adik kelasnya. Ia sengaja membelinya lagi karena buku-buku olimpiade kebumian di sekolahnya banyak yang terbawa oleh kakak kelasnya terdahulu. Ia memarkirkan motornya sedikit jauh dari keberadaan toko buku tersebut karena parkiran yang ada di depan toko sangat penuh, sehingga ia harus berjalan beberapa meter dari toko. Ia berjalan sembari bersenandung kecil mengikuti irama lagu yang berjudul Magic Shop milik BTS. Saat tengah berjalan, matanya menangkap sosok lelaki yang tengah berjongkok dan bermain dengan sesuatu di dekat semak-semak. Saat semakin dekat dengan lelaki itu, bisa di kenali bahwa ia adalah Kai.

Tunggu. Kai sedang apa disitu? Jongkok pula. Tangannya juga menjulur ke depan seperti tengah memberi sesuatu. Lavina terus berjalan mendekat pada Kai. Setelah hanya tinggal berjarak tiga langkah disamping Kai, Lavina melihat Kai tengah memberi makan anak-anak kucing.

"Makan yang banyak ya cing, biar cepat besar. Maaf aku gak bisa bawa kamu ke rumah. Bisa-bisa doggy ngambek." Kai tampaknya masih belum menyadari bahwa ada seseorang yang tengah memperhatikannya. Kai terus berbicara pada kucing itu, membuat Lavina heran sekaligus gemas dengan kelakuannya.

Setelah beberapa menit berbicara pada kucing-kucing itu, Kai bangkit dari posisinya dan melangkah. Tetapi sejurus kemudian ia terkejut bukan main saat melihat Lavina berdiri di depannya.

"Astaga! Kamu bikin kaget aja!" ucapnya dengan bibir yang di monyong-monyongin dan alis yang menyudut.

Ya ampun, terlihat menggemaskan sekali.

"Hehe, sorry. Kamu lagi ngapain disitu? Daritadi ngomong sama kucing?"

Bukannya menjawab pertanyaan Lavina, Kai malah kebingungan sendiri. "Loh kita ketemu lagi ya? Kamu udah daritadi berdiri disitu? Kok aku gak sadar?"

"Ya … kamu kan asyik ngobrol sama kucing-kucing itu. Sampe-sampe ga tau kalo aku ada disini," jawab Lavina seadanya.

"Bener juga," ucap Kai sembari terkekeh.

"By the way, kamu baru pulang sekolah ya? Tapi kok itu bawa kantung plastik besar? Isinya buku?" tanya Kai beruntun pada Lavina.

"Iya. Barusan abis dari toko buku, tapi ini mau balik ke sekolah lagi buat ngasih buku ini. Soalnya ditunggu adik kelas juga," jawab Lavina menjelaskan.

"Oh gitu, rajin ya kamu." Kai tersenyum pada Lavina, membuat Lavina sedikit tertegun melihat senyum manis Kai yang sangat berbeda dengan orang lain. Ada sesuatu dari senyuman Kai yang sangat Lavina suka.

"Engga lah. Aku orangnya mageran," beo Lavina tidak membenarkan perkataan Kai.

"Kalo mageran, kenapa bela-belain dateng ke toko buku sendirian?"

"Ya … kalo bukan aku, siapa lagi? Lagian, kasian juga adik kelasku kalo ga ada buku olimpiade ini," jawab Lavina sembari memperhatikan buku-buku yang ada dalam plastik besarnya.

"Kamu anak olim?" tanya Kai seperti tak percaya pada gadis yang ada di depannya.

"Iya," jawab Lavina malu-malu.

"Olimpiade apa?"

"Kebumian."

"Kamu anak IPS?"

"Enak aja! Aku anak IPA!" jawab Lavina sedikit ngegas karena tak terima atas pertanyaan Kai.

"Oh, maaf. Aku kira anak IPS, soalnya kan kebumian. Bumi. Yang berhubungan sama bumi kan ada di mata pelajaran anak IPS kan?"

"Dih, enak aja. Kebumian tuh campuran IPA dan IPS tau. Ada fisika, kimia, dan matematika juga di dalamnya. Bukan cuma hapalan, tapi juga ada hitung-hitungannya," jelas Lavina pada Kai.

"Oh, pantesan dua hari yang lalu kamu bisa tau macam-macam awan dan menjelaskannya padaku. Apa itu ada di dalam bidang olimpiade kamu?"

"Iya, ada. Di materi meteorologi."

"Wah, menakjubkan ya."

"Ya, begitulah." Lavina tersenyum, sejurus kemudian raut wajahnya berubah panik. "Eh udah dulu ya, aku mau balik ke sekolahan. Kasian pada nungguin. Sampai ketemu lagi! Dadah." Lavina melambaikan tangannya lalu melangkahkan kakinya. Tetapi sebelum dua langkah maju tangannya dicekal oleh Kai, membuat Lavina menoleh bingung.

"Kenapa?"

"Aku anter yuk."

Lavina mengangkat sebelah alisnya, "hah?"

"Aku anter."

"Gausah, aku buru-buru. Lagian mau pake apa? Aku bawa motor kok."

"Pake mobil aja, biar cepet."

"Pake mobil malah lebih lama kali. Jam segini tuh jamnya macet. Mending juga pake motor."

"Yaudah pake motor."

"Lah? Terus kamu gimana kalo mau naik motor? Motor aku cuma satu."

"Ya boncengan dong sama kamu."

"Terus pulangnya?"

"Urusan gampang." Lavina menghembuskan napasnya kasar dengan raut wajah frustasi. Ternyata Kai pandai berdebat juga. Akhirnya Lavina menyerahkan kunci motornya pada Kai, lalu berjalan bersama dengan cepat ke arah parkiran motor Lavina berada.

Lavina langsung memakai helmnya. Tetapi merasa ada sesuatu yang kurang ketika Kai sudah menaiki motornya duluan.

"Bentar." Lavina mencegah Kai menghidupkan motornya.

"Kaya ada yang kurang," gumamnya. Tapi masih bisa terdengar oleh telinga Kai.

Kini giliran Kai yang bingung. "Apa?"

Lavina memandangi Kai dari kepala sampai kaki dengan posisi tangan menyilang di dada. Kai pun mengikuti arah pandang Lavina, memindai dirinya sendiri.

"Ya ampun! Kamu belum pake helm! Nanti ketangkep polisi gimana?" ucap Lavina panik setelah sadar apa yang kurang dari Kai. Sedangkan Kai hanya diam memikirkan sesuatu.

"Kayaknya aku bawa. Bentar ya, aku ambil dulu." Kai menuruni motor lalu berjalan sekitar dua puluh meter dari tempat parkiran motor.

Setelah sampai, Kai membuka bagasi mobilnya lalu mengambil helmnya disana. Setelah mengambil dan mengunci kembali bagasi mobilnya, ia buru-buru berjalan ke arah parkiran motor Lavina berada sembari memakai helmnya.

"Dah yuk." Lavina terdiam memandangi lelaki di depannya. Helmnya kok begitu?

"Lav?" Masih tak ada jawaban.

"Haloo?" Kai melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Lavina.

"Luv?" Lavina langsung tersadar ketika Kai memanggilnya dengan sebutan itu.

"Hah?" jawab Lavina cengo.

"Ayo, ini aku udah pake helm," ajak Kai yang langsung duduk di jok motor Lavina.

"Itu helm full face kan?" tanya Lavina.

"Hm? Iya. Kenapa?" Kai mengangkat alisnya.

"Terus itu … kenapa ada telinganya juga? Helm kamu keren banget ada sarungnya." Lavina terbahak melihat model kain yang melapisi helm full face milik lelaki yang ada di depannya itu.

Seperti ini

"Ini di beliin sama bang Saka." Kaizo mengerucutkan bibir dan mengerutkan keningnya. Lavina yang melihat kening Kaizo mengerut itupun menahan tawanya.

"Yaudah, gak papa bagus kok." Lavina lalu menaiki jok motor belakangnya. Belanjaannya tadi sudah ia taruh di kaitan depan motor.

"Gak pegangan?" tanya Kai membalikkan tubuhnya. Membuat Lavina sedikit terkejut karena telinga dari sarung helm Kaizo yang menyentuh kaca helm-nya dan juga jarak wajah mereka yang saat ini hanya lima belas centimeter.

Lavina agak memundurkan wajahnya. "Engga."

"Ga takut jatuh?"

"Engga."

"Pegangan aja, kalo kamu mau."

"Engga."

"Yakin?"

"Engga."

"Pegangan makanya." Kai mengambil kedua tangan Lavina untuk di taruh di pinggangnya.

"Eh? Yakin lah! Ish. Kamu tuh!" ucap Lavina menggerutu. Ia langsung menarik tangannya dari pinggang Kai dan memukul punggungnya.

"Aduh! Sakit Luv!" Kai mengusap-usap punggungnya yang barusan di pukul oleh Lavina.

"Kamu manggil aku kok 'Luv' sih? Kan namaku Lavina, darimana 'Luv' nya coba?" tanya Lavina sembari menyilangkan tangan dan alis yang menyudut.

"Pengen aja." Kai tersenyum lebar. Lavina salah fokus dengan senyuman Kai itu. Ya ampun, senyumnya benar-benar beda dengan manusia lain!

"Yaudah cepet jalan! Ini aku udah telat!" suruh Lavina pada Kai dengan sedikit tidak santai.

"Iya Luv." Kai langsung menyalakan motor dan langsung mengendarainya. Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk menuju ke sekolah Lavina dari toko buku itu.

"Panggil Lav aja, jangan Luv gitu ah." Lavina membuka suaranya ketika mereka sedang berhenti di perempatan lampu merah.

"Kenapa? Kamu ga suka?"

"Iya," jawab Lavina to the point.

"Oke Luv."

"Kok masih manggil Luv sih?" Mata Lavina melihat sinis pada Kaizo melalui spion motornya.

"Kan tadi aku nanya, 'kamu ga suka?' Terus kamu bilang 'iya'. Bagiku, kalo kamu bilang 'iya', berarti kamu suka sama nama yang aku panggil. Terus kalo kamu bilang 'engga', berarti kamu ga suka sama nama yang aku panggil."

Lavina bingung dengan yang dimaksud oleh Kai. "Kamu ngomong apa sih? Aku gak ngerti."

"Lama-lama juga ngerti." Ucapan Kai bersatu dengan riuhnya klakson dari kendaraan bermotor yang sudah siap untuk melaju kembali karena traffic light sudah berganti warna menjadi hijau.

Lavina hanya terdiam menatap wajah Kai melalui spion. Ia masih tak paham dengan lelaki yang saat ini sedang mengendarai motornya.

'Dia manusia apa sih? Aneh banget,' batin Lavina dalam hati.

"Makasih udah nganterin. Ati-ati pulangnya." Lavina turun dari motornya sembari melepas helm yang ia pakai. Lalu ia mengambil barang belanjaannya yang tadi di taruh di kaitan motor. Lavina terdiam karena Kai tak kunjung turun dari motornya. Kai tengah memainkan ponselnya untuk menghubungi seseorang melalui chat. Terlihat dari ibu jarinya yang terus menari di atas layar ponselnya.

Lama tak merespons, Lavina menepuk bahu Kai pelan. Kai yang terkejut pun langsung bersuara dan menoleh ke arah Lavina. "Astaga!"

"Ngapain sih? Denger gak tadi aku bilang apa?"

Kai mengubah raut wajahnya bingung seperti sedang memikirkan sesuatu, "apa ya? Aku gak denger. Maaf Luv."

Lavina hanya menghembuskan napasnya pelan lalu berkata, "kamu hati-hati pulangnya. Makasih udah nganterin sampe sekolah."

"Ooh, oke Luv!" Kai tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang tertata rapi dan ... senyum kotaknya yang memikat hati. Lavina terpesona karena daya tarik senyum kotak milik Kai, sampai-sampai Kai harus mengagetkannya dengan sebuah tepukan di depan wajah Lavina.

"Eh-eh, maaf," ucap Lavina sedikit salah tingkah. Entah kenapa, ada sesuatu yang berdesir di dalam diri Lavina.

"Kamu mikirin apa?"

"Engga, ga mikir apa-apa," elak Lavina.

"Bohong. Aku tau kamu bohong. Kamu terpesona ya sama aku?"

Bah, kepedean sekali ini orang. Tapi kepercayaan dirinya memang benar.

"Idih! Pede banget kamu jadi orang!"

"Orang ganteng mah bebas Luv. Ya nggak?" Kai menggoda Lavina dengan menaik-turunkan sebelah alisnya.

"Emang kamu ganteng?" Lavina bertanya pada Kai.

"Menurut kamu?" Kai balik bertanya pada Lavina.

"Biasa aja tuh," jawab Lavina cuek.

"Tuh kan ganteng." Kai tersenyum puas, menampilkan senyum kotak khas miliknya. Seakan-akan kalimat yang dilontarkan Lavina ada kalimat yang menyetujui pertanyaannya.

Lavina mengerutkan keningnya saat mendengar jawaban dari Kai dan langsung membuka mulutnya lebar-lebar. Matanya pun seperti sudah mau keluar dari tempatnya berada. Heran dengan keanehan makhluk —tampan— yang ada dihadapannya.