Chereads / The Wedding Betrayal(Bahasa Indonesia) / Chapter 4 - Berjuang bersama

Chapter 4 - Berjuang bersama

Zafa terdiam, ditatapnya suaminya dengan intens. Ia tahu usahanya itu begitu menjanjikan, tetapi dari mana uang sebanyak itu. Pram masih menatap istrinya, ia berharap istrinya mau mendukungnya.

"Apa kamu setuju, Yang?" tanya Pram.

"Untuk modalnya bagaimana, Mas? tanya Zafa.

"Kata Faisal  tidak usah buru-buru, "jawab Pram.

Zafa terdiam, ia mencoba mencerna apa yang dikatakan suaminya itu dan bertanya. "Berapa uang tanda jadinya, Mas?" 

"Lima puluh juta, Sayang!" Zafa membulatkan matanya mendengar nominal yang begitu besar itu.

Pram terduduk di karpet, pria itu berpikir kalau ada uang itu ia tidak perlu membayar kos lagi. Tadi pulang terlambat untuk mencari pinjaman , tetapi tidak mendapatkan apa-apa.

"Zafa, Mas sudah kesana- kemari untuk mencari pinjaman, tapi sayang tidak dapat apa-apa," ujar Pram frustasi.

Zafa terdiam, haruskah ia menjual perhiasan satu-satunya dari warisan sang Bunda. Namun, ada keraguan dalam hatinya.

"Mas, aku ada cincin berlian milik Bunda," kata Zafa lirih.

"Maksudnya?" tanya Pram.

Zafa beranjak dari duduknya, melihat istrinya berjalan agak pincang membuat Pram mengikutinya menuju ke lemari.

"Sayang, kakimu kenapa?" tanya Pram menghentikan tangan Zafa yang hendak mengambil sesuatu di dalam lemari.

"Tadi waktu pulang jatuh, Mas! kata Zafa sambil tersenyum menatap suaminya.

"Hah? kok bisa? kamu kenapa enggak telepon aku, Yang?" tanya Pram beruntun.

Zafa sudah yakin kalau suaminya akan panik seperti ini, Ia mengajak Pram untuk duduk di karpet dekat kasurnya. 

"Mas, aku enggak apa-apa jangan khawatir, "ujar Zafa sambil mengusap tangan suaminya.

Pram hanya mengangguk, tak lama Zafa mengeluarkan cincin berlian milik Bundanya. Ia memberikan kepada suaminya.

"Apa ini?" tanya Pram menatap sang istri bingung.

"Ini cincin Bunda, kalau kita jual bisa membeli cash bengkel milik Kak Faisal, Mas!" kata Zafa.

"Yang, ini harta paling berharga peninggalan Bunda!" tolak Pram.

Zafa tersenyum, baginya kalau disimpan saja tidak ada artinya, lebih baik dijual untuk usaha saja. Ia menatap suaminya intens dan berkata."Mas, kita mulai usaha. Jika nanti rejeki kita lancar bisa untuk membeli lagi."

Pram begitu terharu dengan apa yang dikatakan oleh istrinya, harusnya dia yang mencari uang. Namun, lagi-lagi ia merasa tidak berguna di depan sang istri.

"Tapi yang!" Pram menatap Zafa yang menggelengkan kepalanya.

"Jangan menolak, kita harus kerja sama," kata Zafa tersenyum.

Pram memeluk tubuh istrinya begitu erat sambil berbisik."Terima kasih."

Zafa tersenyum, walaupun suaminya tidak melihat dirinya. Entah kenapa ada rasa yang susah ia ungkapkan saat bisa meringankan beban pria yang begitu dicintainya itu.

Pram mengajak istrinya untuk beristirahat, karena ia juga begitu lelah, tetapi entah mengapa selama hampir beberapa hari ini ia tidak tega untuk menyentuh sang istri semenjak malam itu. Zafa yang sudah tertidur lelap, tidak lama Pram pun ikut mengarungi mimpi indah di malam ini.

***

Pagi ini  Zafa sudah rapi, begitu juga Pram karena rencana keduanya akan menjual cincin berlian milik almarhum bunda Zafa.

Motor metik milik Zafa kini sedang dipanaskan oleh Pram, melihat istrinya sudah siap ia memakaikan helm di kepala sang istri.

Motor melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan ibukota, walau masih pagi kemacetan sudah terjadi dimana-mana.

Jam sudah menunjukan pukul sepuluh lewat, keduanya kini sudah sampai di salah satu toko yang tertera di alamat surat cincin berlian yang akan dijualnya.

"Yang, apa kamu yakin?" tanya Pram karena tak ingin istrinya menyesal nantinya.

"Kalau sudah maju, harus optimis," kata Zafa menarik tangan suaminya untuk masuk ke toko perhiasan itu.

Seorang pelayan menatap keduanya dengan tatapan mengejek melihat Pram dan Zafa yang masuk saling tarik.

"Mbak, saya mau jual ini," kata Zafa.

Mata pelayan itu melebar melihat cincin berlian yang ada di tangannya, ia menatap Zafa dan Pram bergantian. Tak lama pelayan itu menghubungi bosnya.

Zafa merasa bingung kenapa pelayan itu begitu terkejut melihat cincin Bundanya itu. Tak lama datang pria seumuran Ayahnya tersenyum menatap Zafa dan Pram bergantian.

"Apa hubunganmu dengan Zulfa, Nak?" tanya pria itu.

"Itu Bunda saya, Pak," jawab Zafa.

Pria itu tertegun, diperhatikannya wajah wanita muda di depannya saat ini kemudian senyum mengembang di bibirnya.

"Kamu begitu mirip dengan Bundamu," kata Pria yang tidak dikenal Zafa itu.

"Maaf, apa Bapak kenal Bunda saya?" tanya Zafa penasaran.

"Tentu. Saya Zafar sahabat terbaik Bundamu," jelasnya kepada Zafa.

"Saya Zafa, Pak!" Kata Zafa menyambut uluran tangan pria yang baru dikenalnya itu.

Setelah mengobrol dan menceritakan kalau Bundanya sudah tiada kini Zafa dikejutkan dengan harga cincin yang begitu fantastis itu.

Zafar meminta nomor rekeningnya Zafa karena tidak mungkin uang sebanyak tiga miliar dibayar cash.

Setelah selesai transaksi Zafa segera pamit kepada teman Bundanya itu. Senyum mengembang di bibir pria paruh baya itu sambil berkata."Zulfa, dulu aku tidak mau mengambil cincin ini lagi, tapi anakmu menjualnya padaku."

Zafa dan Pram langsung menjumpai Faisal untuk membayar lunas bengkelnya, hal itu membuat pria itu terkejut.

"Aku enggak menyangka kalau kamu cepat juga geraknya, Pram!" kata Faisal sambil mengeluarkan sertifikat dan semua berkas yang sudah dibuat oleh notaris.

"Apa hari ini kamu langsung pindah, Pram?" tanya Faisal.

"Lebih cepat lebih baik," jawabnya.

"Oke. Aku harap ke depannya lebih baik lagi," kata Faisal langsung pamit.

Zafa dan Pram merasa lega, kini ia mengajak sang istri untuk melihat lantai dua, Dulu tempat nongkrong sebelum menikah dengan Zafa.

Zafa sampai di lantai dua langsung tersenyum, karena desainnya tidak kalah dengan apartemen. Pram tersenyum melihat sang istri yang terlihat bahagia.

"Apa kamu suka?" tanya Pram sambil memeluk tubuh ramping istrinya.

"Suka," jawab Zafa.

"Terima kasih, Sayang," kata Pram sambil mengecup ujung kepala Zafa.

"Sama-sama, Mas. Eh, tapi aku masih dikasih izin kerja, kan?" tanya Zafa.

"Iya sayang, takutnya kalau kamu ada di rumah terus aku enggak bisa fokus kerja," goda Pram sambil menarik hidung mancung istrinya.

"Mas!" seru Zafa malu.

Pram terkekeh, ia tahu ini tidak aka ada jika istrinya tidak menjual cincin itu, pria itu berjanji akan berkerja sungguh-sungguh untuk mengembangkan bengkelnya, bahkan ia akan membuka cabang nantinya.

Ponsel Zafa berdering, ada telepon masuk dari nomor yang tidak dikenalnya. Ia menatap suaminya seakan bertanya angkat atau tidak. Saat Pram mengangguk barulah wanita itu mengingatkannya.

"Halo," sapa Zafa.

"Halo, Maaf selamat siang ini dengan Nona Zafa?" tanya seorang wanita dari seberang sana.

"Iya. Maaf ini siapa ya?" tanya Zafa balik.

"Saya Siska, Nona. Saya dapat nomor pak Faisal kalau Ibu besok bisa langsung masuk kerja dan membawa lamarannya!" kata wanita yang mengaku bernama Siska itu.

"Mbak serius?" tanya Zafa tidak percaya.

"Iya Bu, nanti alamat saya kirim ke nomor Ibunya," ucap Siska.

"Iya, Mbak. terima kasih," ucap Zafa sambil tersenyum sambil mengangguk walau Siska tidak melihatnya.

"Sama--sama, selamat siang." Zafa menatap suaminya sambil tersenyum girang bahkan ia melompat langsung berhambur memeluk suaminya.

bersambung ya.