"Beli yang itu aja, iya itu." Ujar Aetra sembari menunjuk sebuah makanan ringan dengan bungkus yang berwarna hijau.
Melirik sebentar, dan sedikit terkekeh melihat Amel yang tampaknya jengkel karena sedari tadi dirinya tak kunjung juga mendapatkan cemilan yang sesuai.
"Yang bener dong, cape nih." Sedikit berdecak dan merotasikan bola matanya jengah melihat Aetra yang plin plan dalam memilih makanan ringan.
Pasalnya, setelah memutuskan untuk membeli sebuah makanan, Aetra mengembalikannya dan mengambil makanan ringan yang lain lalu meletakkan makanan yang sudah ia ambil sebelumnya.
"Ambil dua duanya aja Ra, Astaghfirullah."
"Takut ga abis."
"Aku tinggal nih."
Dengan raut wajah cengengesan, Aetra akhirnya mengambil asal makanan ringan yang tersusun rapi di dalam rak makanan. "Jangan tinggal dong, iya ini udah."
"Nah udah bagus."
Sekarang, Aetra dan Amel tengah berada di perjalanan menuju Pantai. Singgah sebentar di sebuah toko makanan membeli beberapa cemilan untuk di makan nanti.
Satu jam sudah berlalu, kini sepasang sahabat itu sudah berada di tempat tujuan mereka. Angin setempat membuat lelah mereka terbayarkan. Pantai ini mengingatkan Aetra terhadap kenangannya bersama mendiang Ibundanya.
Ini tempat kesukaan keluarganya. Kepala Aetra tertoleh, perhatiannya beralih terhadap seorang Anak kecil yang tengah bermain bersama Ibunya. Suara tawanya beradu dengan suara deburan ombak.
Benar benar bahagia. "Jadi kangen Bunda."
Sedikit terkejut karena Amel yang tiba tiba menepuk pundaknya. Terlihat jika arah mata Amel mengikuti apa yang sedang di perhatikan oleh Aetra.
Menggelengkan kepalanya pelan lalu sedikit menghela nafas, "Agaknya gue salah bawa ni anak ke tempat ini."
Tapi tak apa, Amel paham perasaan Aetra. Untuk saat ini Amel akan membiarkan Aetra tenggelam dalam kenangan Ibunya.
"Aku cari Pondok dulu ya Ra."
***
"HAHAHAHA ASEM BANGET ITU MUKA."
Amel terbahak melihat sepatu milik Aetra yang penuh pasir dengan raut wajahnya yang masam. Pasalnya, Amel benar benar membuat Aetra kesal.
Padahal Aetra hanya menabur sedikit pasir di sebelah sepatu Amel. Tapi Amel membalasnya dengan menabur banyak pasir di kedua sepatunya. "Astaghfirullah pengen nampol tapi anak orang."
"Iya iya maaf." Ujar Amel dengan cengiran yang terlihat polos.
Ulah Amel berhasil membuat Aetra menjadi tertawa lagi sehabis mengingat kenangan bersama Bundanya. Pasir putih yang berpadu dengan ombak pantai yang sedang bergelung, menambah keceriaan sepasang sahabat tersebut. Keduanya tenggelam dalam hembusan angin pantai yang begitu menenangkan.
Sampai merasa lelah dengan aksi kejar-kejaran mereka, Aetra dan Amel duduk di pinggiran pantai. Menatap sang Surya yang perlahan tenggelam, sinar lembut memasuki kedua netra coklat milik Aetra.
"Indah ya Ra."
Tersenyum simpul, kedua sudut itu tertarik dengan bebasnya, membuat sepasang mata Aetra tertutup sedikit.
"Gimana ya, seandainya kita itu benar benar saudara kandung?" Celetuk Aetra dengan sorot mata yang seperti berharap. Mengharapkan apa yang di katakannya benar menjadi kenyataan.
Amel terkekeh geli, memeluk badan yang terlihat baik baik saja walau pada kenyataannya badan itu benar benar rapuh. Badan yang memerlukan pelukan hangat setiap saat.
"bakalan pusing deh kalo misal kamu memang saudara aku."
Mendengus kesal, tak mau melihat Amel yang tengah menyenderkan kepala di bahu nya. Tak di pungkiri bagaimana keadaan dirinya jika saat itu Amel tidak menghampirinya.
Keduanya tenggelam di dalam suasana yang menenangkan. Seperti tak mau beranjak pergi dari tempat teduh itu. Angin sore membuat ujung kerudung Aetra berkibar mengikuti arus angin.
Sadar jika hari sudah hampir gelap, keduanya beranjak membawa beberapa barang yang sudah mereka rapikan.
"Jarang banget aku ke Rumah kamu Mel. Malam ini aku nginap di Rumah kamu aja deh."
Langkah Amel terhenti. Menolehkan wajahnya menghadap Aetra yang posisinya sedang menunggu jawaban Amel. Raut mukanya sudah memperlihatkan jika Amel tak mau Aetra pergi ke Rumahnya.
"Boleh ya, sekali kali lihat nenek kamu."
Tak enak menolak permintaan Aetra, Amel memutuskan mengizinkan Aetra untuk menginap di Rumahnya.
***
"Letak dekat lemari aja."
"Oke siap."
Sehabis meletakkan tasnya di kamar Amel, Aetra berjalan menuju dapur dan melihat seorang Wanita lansia yang sepertinya sedang memasak sesuatu. "Lagi masak apa Nek? Aetra bantu ya."
"Eh ada Aetra, udah gausah biar nenek aja." Ujarnya dengan seutas senyum manis di bibir.
"Udah gapapa nek, jarang loh Aetra kesini."
"Yaudah kamu potong sayur aja di situ."
"Oke nek."
Dengan telaten Gadis berumur 17 tahun itu memotong beberapa bagian sayuran. Jari jemari yang sepertinya sudah benar benar ahli dalam memasak, hampir saja terkena mata pisau yang tajam.
Sontak hal tersebut membuat Nenek yang sedang memasak khawatir. "Gapapa nek, ga kena kok."
Raut wajah itu benar benar terlihat cemas. Sekujur tubuhnya di cek oleh Nenek Amel. Entahlah sepertinya Wanita lansia itu benar benar takut Aetra terluka.
"Aetra ga apa apa Nek."
Mengelus pucuk kepala Aetra dengan lembut, "Hati hati ya."
Dari atas sana, Amel melihat pemandangan tersebut. Sorot matanya seperti merindukan seseorang. Tak di pungkiri, Amel juga menyayangi Aetra layaknya adik kandungnya sendiri.
Atensinya beralih tatkala Aetra memanggilnya dan mengajak untuk makan bersama. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, tersenyum tipis, dan beranjak turun menghampiri mereka berdua.
Suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring, berbunyi di dalam ruang makan itu. Menghilangkan keheningan yang terjadi. Memakan apa yang sudah tersedia dengan nikmat ditambah dengan suasana yang hangat.
Aetra bisa merasakan kembali rasa ini. Rasa yang membuatnya nyaman. Tidak, Aetra tidak berkata jika bersama Ayahnya tak merasakan kehangatan. Namun, ini berbeda. Rasa ini seperti sedang bersama keluarga yang benar benar keluarga.
Ah bagaimana caranya Aetra menjelaskan ini, Aetra sendiri bingung bagaimana menjelaskan nya agar para pembaca mengerti.
Yang terpenting Aetra merasa senang berada di tengah tengah sini.
"Alhamdulillah kenyang, masakan nenek emang ga mengecewakan."
"Itu masakan Aetra."
Aetra berdeham, membuat gerakan seolah-olah sedang terbatuk sembari melirik Amel dengan tatapan yang menurut Amel menyebalkan.
"Songong banget lu tisu basah."
"Yeuu apaan sih, iri ya? wle." Ujar Aetra dengan menjulurkan lidahnya keluar. Nenek Amel yang sedari tadi memperhatikan hanya bisa terkekeh pelan melihat tingkah cucu cucunya.
Ya, Aetra sudah dianggap seperti cucu sendiri oleh dirinya. Dia sendiri juga tau bagaimana kisah hidup sahabat cucunya tersebut.
"Udah udah, tidur sana. Sholat jangan lupa."
"Iya nek." Ujar Amel dan beranjak pergi meninggalkan meja makan. Tak lupa sedikit menyenggol bahu milik Aetra dengan sedikit menjulurkan lidahnya keluar.
Aetra yang tak terima lantas mengejar Amel yang sekarang hendak membuka pintu.
"Allahuakbar, lari lari ada setan."
"Setan gundulmu."
Malam itu di habiskan Aetra dan Amel dengan bertengkar satu sama lain. Saling melempar bantal, bahkan Aetra sampai tak sengaja menendang Amel hingga jatuh dari ranjangnya.
Bukannya menolong, Aetra justru lebih dulu tertawa ketimbang menolong sahabatnya.
Tak apa, Amel sudah kebal dengan ini semua.
Suara detik jarum jam menyadarkan mereka, ini sudah pukul 12 malam. Tau hal tersebut, Aetra mengajak Amel untuk tidur segera. Amel yang biasanya tidur pada jam 10 mengangguk dengan mata lelah yang terlihat jelas.
Atensi Aetra terpaku terhadap wajah sahabatnya yang sudah terlelap. Wajah ini benar benar sudah tak asing lagi baginya. Kemudian kedua netra Aetra bergulir, menelisik ke seluruh penjuru ruangan, dan fokus terhadap suatu buku yang menarik perhatiannya.
Perlahan Aetra meraih buku tersebut. Buku Dengan sampul berwana putih yang sudah kusam. Tampak jelas jika buku itu sudah tua umurnya.
Tangan Aetra menepuk pelan buku itu. Dengan maksud membersihkan debu yang terdapat di bukunya. Matanya menelisik setiap lembaran lembaran buku yang sudah lapuk.
20 Oktober 2003
Ini benar benar membuat ku bahagia. Tuhan beri aku kebahagiaan yang sempurna. Keduanya benar benar menggemaskan. Dengan pipi yang lucu, ingin saja ku gigit pipi mereka yang seakan ingin tumpah.
Anakku lucu, mirip persis seperti Ibunya. Mau ku perkenalkan nama mereka? Baiklah. Yang pertama, dia adalah seorang kakak.
Namanya, Caramel kejora adinaya.
Un—
"Hah kok robek sih."
Aetra menghela nafas, dirinya baru tau jika Amel mempunyai seorang kembaran. Dan itu benar benar mirip.
Tangan itu kembali membuka lembaran perlembaran yang sudah lapuk. Ketika membuka halaman selanjutnya, Aetra di perlihatkan dengan sebuah foto.
Foto seorang Wanita dengan kedua bayi kembarnya.
Dari kamar sebelah, Nenek Amel yang sepertinya tak bisa tidur, perasaannya gelisah. Tak tau apa yang ditakutkan.
Matanya melirik sebuah bingkai foto yang di belakangnya terselip satu foto berukuran kecil. Foto yang berisikan Wanita cantik yang terlihat manis mengenakan pakaian pernikahan.
"Yana, Ibu kangen kamu, si bungsu udah besar ya ternyata."