"—Begitulah gambaran manusia yang tak pernah puas akan segala hal."
Pengajian itu di tutup dengan beberapa doa. Aarav dengan segala niat yang ingin mendekatkan diri dengan sang Tuhan. Mengubah pola pikirnya yang buruk menjadi lebih baik.
Melirik Tirta yang berkedip - kedip menahan kantuk, ingin saja rasanya Aarav tertawa terbahak. Namun keadaan tidak mendukung.
"Tra, masih jam 9 lewat udah ngantuk lu, biasa juga jam 12 masih nongkrong."
Tirta berdeham, berusaha meredamkan kantuknya, "Udah siap? yuk lah cus."
"Cus kemana?"
"Beli amer. Aneh lu, ya cus buat pulang lah."
Melihat sekeliling, keadaan Masjid sudah tidak seramai tadi. Di teras Masjid hanya ada beberapa Pria paruh baya dan lansia yang saling berbincang. Salah satunya Akhtar, Ayah Aetra.
Aarav beranjak. bermaksud menghampiri Ayah Aetra. Akhtar yang melihat kedatangan Aarav tersenyum hangat kala Aarav mencium tangannya.
"Nak Aarav apa kabar?"
Aarav membalas dengan senyuman yang tak kalah hangat dari Akhtar, "Alhamdulillah, baik Om."
Merasa geli melihat Aarav yang berlagak seperti sedang mencari seseorang. Sudah jelas Pemuda itu mencari siapa.
"Lihat kamu gini, Om jadi keinget gimana Om sama Bunda Aetra dulu."
"Gimana gimana Om? Cerita dong Om." Ujar Aarav dengan rasa penasarannya yang tinggi.
Terlihat Akhtar yang akan memulai cerita, dengan sedikit senyuman seperti anak kecil yang diberi permen oleh Ibunya.
Mari kita putar waktu, dimana mulai timbul rasa kagum sesama terhadap Ayah dan Ibu Aetra.
Bruk!
Buku itu terjatuh tatkala seorang Gadis yang tengah duduk di Ayunan bundar, tak sengaja menyenggol beberapa tumpukan buku. Melirik ke bawah dan hendak meraih beberapa buku yang tergeletak di atas tanah.
Saat itu, seorang Pemuda baru saja keluar dari kawasan Masjid. Dengan baju koko dan sarung yang terpasang rapi di badannya. Sang Taruna itu benar benar membuat hati perempuan manapun terpikat.
Termasuk Gadis yang tengah merapikan beberapa bukunya yang berserakan karena ulahnya sendiri.
"Yana!"
Gadis yang disebut dengan panggilan Yana tersebut menoleh, menampilkan raut wajah kebingungan. dan berkata, "Eh iya, ada apa nih."
"Itu ada santri yang berantem."
"Siapa ca? kenapa ga kamu bilang ke ustadz Hamdan?"
Dengan nafas yang tak teratur, Echa, teman sekamar Yana di Pesantren itu menunjuk Pemuda yang tengah berjalan menuju tempah kericuhan tersebut.
"Ada apa ini?"
Suara yang tegas dan berwibawa itu berhasil membuat hening keadaan. Seluruh santri terlihat menundukkan kepalanya.
Salah satunya datang kepada Pemuda tersebut dan menceritakan apa yang telah terjadi. Ia berdeham. Dan mulai menyelesaikan masalah yang tengah terjadi di dalam pertemanan murid santrinya Itu.
"Mulai sekarang, jangan ada lagi yang seperti ini, paham?"
"Paham Ustadz."
Di sisi Yana, Gadis itu kini edang memperhatikan sosok pemuda yang ia kagumi. Entahlah, aura Akhtar benar benar membuatnya berdoa kepada sang Maha Esa agar kelak Pemuda itu akan menjadi jodohnya.
"Ya Allah, kalau memang salah satu ciptaan-Mu, Akhtar, adalah jodoh hamba, dekatkan kami ya Allah. Tapi Kalau dia bukan jodoh hamba, dekatkan juga Ya Allah. Masa perasaan Yana di gantung."
Doa itu selalu Yana ucapkan, sampai datang masa dimana Yana benar benar tak menyangka jika doanya terkabul. Saat itu, Akhtar datang menghampiri Orangtua Yana ingin maksud melamar Gadis itu.
Hal itu membuat Yana benar benar bahagia. "Kamu serius kan sama putri saya?"
Ayah Yana bertanya dengan raut wajah yang benar benar serius. Akhtar menganggukkan kepalanya mantap. Dengan sorot mata yang tak gentar sedikitpun.
"Saya siap tanggung jawab untuk Yana. Saya ikhlas karena cinta saya tulus untuk Yana."
Melihat ketangguhan itu, Orangtua Yana percaya. "Bapak terima, tapi kita lihat apa jawaban dari Yana."
Akhtar mengangguk. Tersenyum penuh arti dengan membayangkan senyum ceria calon Istrinya.
Tidak! Tidak! Akhtar harus bersabar. Yana belum memberikan jawabannya. Hatinya berdetak tak karuan ketika Ibu Yana keluar dan mengatakan jika Yana menerima lamarannya.
Cerita itu terhenti kala Akhtar melihat Aarav yang tengah melamun. Dengan lengkung kurva yang sedikit terangkat. Akhtar sendiri tak tau apa yang sedang di pikirkan oleh Pemuda yang sedang di hadapannya.
Percakapan Antara Pria paruh baya dan Sang taruna itu harus berakhir ketika Aetra datang dengan telekung coklat muda yang terlihat manis di wajah Aetra yang cerah dan mulus.
Aarav mengalihkan pandangannya ke ubin Masjid. Merasa tak pantas menatap netra coklat yang indah itu. Ada masanya saat Aarav dengan bebas menatap bahkan melihat dengan waktu yang lama sebuah senyuman yang membuat Aarav jatuh cinta kepada Gadis kesukaannya.
Mengajak Ayahnya untuk pulang, Aetra melihat Aarav dan sekilas dan mengucapkan salam.
"Om pulang duluan, Assalamualaikum nak Aarav."
"Waalaikumussalam."
Pertemuan di Masjid itu berakhir dengan Tirta yang ketiduran. Tak lupa dengan suara dengkuran yang menganggu beberapa orang.
"Astaghfirullah, gue lupa tadi ke sini sama si Tirta."
***
Hembusan angin malam membuat beberapa lembar kertas berterbangan dari meja belajar milik Aetra. Gadis itu terdiam. Mengingat bagaimana Aarav yang benar benar ingin berubah.
Oh, Aetra ingat. Orang yang selalu mencari gara gara dengan Aarav, Elang namanya. Aetra seperti pernah bertemu dengan Orang itu. Tapi dimana? Dan kapan mereka pernah bertemu?
Tak mau ambil pusing, Aetra dengan segera membereskan peralatan alat tulis nya dan beranjak menuju tempat tidurnya.
***
Hari sudah mulai pagi. Sang Surya mulai memperlihatkan sinarnya. Hembusan angin pagi yang menyejukkan menggelitiki telapak kaki Aetra. Hal itu membuat Aetra menggeliat bangun.
Suara detik jarum jam membuat perhatian Aetra beralih. Ini sudah jam delapan. Tak biasanya setelah shalat subuh Aetra ketiduran. Aetra Benar benar merasa kelelahan.
Kemarin, Amel membawanya ke sebuah tempat yang benar benar membuat Aetra senang. Itu tempat kesukaannya.
Dan hari ini, Mereka berdua merencanakan akan pergi ke sebuah Pantai. Sudah lama Aetra tidak pergi ke sana.
Tut .. tutt..
Handphone itu berdering di atas nakas. Lamunan Aetra terhenti. Segera meraih benda pipih yang sedang bergetar itu. Ternyata orang yang menelfon itu Amel.
"Halo assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
"Nanti aku rada telat ra, kemungkinan perginya jam 10 gitu ya. Maaf banget." Suara dari sebrang sana seperti memohon.
Padahal Aetra tidak marah. Terkekeh kecil, "Iya gapapa, santai aja kali. Kamu kan emang sering telat."
Terdengar di sebrang sana Amel sedang tertawa renyah, "Yaudah mau ngabarin gitu aja. Aku tutup ya Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
"AETRA."
Suata teriakan dari lantai bawah mengejutkan Aetra untuk yang kedua kalinya. Suara Ayahnya benar benar menggelegar. Sebelum Ayahnya berteriak sekali lagi, Aetra segera turun menuju lantai bawah tempat Akhtar berada.
"Aetra belum sarapan kan?"
Aetra menggeleng. Perutnya ternyata sudah berbunyi. Hal itu membuat ayahnya sedikit tertawa.
"Ayah udah makan?"
"Belum."
"Loh kenapa?"
"Makannya biar bisa sama anak Ayah."
Mendengar penuturan Ayahnya, Aetra tersenyum. Merasa beruntung mempunyai Ayah seperti Akhtar. Aetra beranjak menuju meja makan. Dan melihat ada beberapa lauk yang menjadi kesukaannya.
Dan kesukaan Bundanya.
Mengalihkan pandangannya menuju Akhtar yang sedang berjalan, dan balik lagi melihat beberapa makanan yang terletak di atas meja.
Mengenai makanan, sepasang Ayah - Anak itu memang gemar dan hebat dalam hal memasak.
Tak jarang juga Akhtar memasak seuatu makanan yang menurut Aetra aneh namun tak bisa di pungkiri, masakan Ayahnya tak pernah mengecewakan.
Di rumah ini, mereka tidak memperkerjakan Asisten rumah tangga ataupun sebagainya. Merasa itu hal yang tak di perlukan.
"Enak ga? Enak dong."
Raut wajah Akhtar membuat Aetra sedikit tertawa. Apa apaan Ayahnya. Bertanya tapi menjawab sendiri.
Lagi dan lagi, suara detik jarum jam menarik atensi Aetra. Ini sudah pukul 9, dan Aetra harus segera membersihkan dirinya.
"Ayah, Aetra mau pergi sama Amel, boleh kan?"
Akhtar terdiam sebentar, dan mengangguk. "Iya boleh, tapi kalo ada apa apa telfon Ayah ya."
"Siap Ayah."