"Kok sepi? Ayah mana ya."
Sore itu, sepulang sekolah, Aetra mendapati keadaan Rumahnya yang sepi. Biasanya jika sudah lewat jam lima sore, Ayahnya akan menunggu di halaman Rumah dengan koran dan secangkir teh.
Aetra mencari ke seluruh penjuru Rumahnya, tak juga melihat batang hidung Pria paruh baya tersebut.
"Ayah kemana sih, tumben banget."
Kringg .. kringg ..
Telpon Rumah berbunyi, membuat Aetra sedikit terkejut. Dengan sedikit harapan jika si penelfon adalah Akhtar, Aetra meraih gagang telpon dan mendekatkannya ke telinga.
"Halo Assalamualaikum, Ayah?"
"..."
Hening. Tak ada suara apapun di sebrang sana. Dengan sedikit kesal, Aetra menutup telpon itu dan hendak naik ke lantai atas.
Kringg .. kring ..
Aetra menoleh, membalikkan badan dan kembali menuju telpon Rumah yang berdering. Orang asing mana yang sedang mengusilinya. Aetra rasa itu Amel. Tapi Amel sendiri tak tau nomor telpon Rumahnya.
Menghela nafas gusar, "Ini siapa ya?"
"..."
Sama saja. Aetra tetap mendapatkan keheningan dari sana. Dengan perasaan kesal, Aetra menutup telpon Rumah tersebut dengan sedikit keras.
Perasaan Gadis itu benar benar jengkel, Aetra memutuskan duduk di atas sofa sembari menunggu kepulangan Ayahnya. Tak lama, seseorang membuka pintu Rumah Aetra. Ia kira, orang asing telah masuk ke dalam Rumahnya. Ternyata Aetra salah.
Itu Akhtar. Akhtar yang kelihatan lelah dengan wajah yang pucat. Aetra bingung. Apa yang sudah dilakukan Ayahnya sampai terlihat seperti orang sakit?
"Ayah kenapa? Aetra tadi takut. Tadi ada orang usil yang nelfon ke Rumah."
Wajah Akhtar tetap tak ada ekspresi, ia seperti orang sakit. Benar benar lelah. Sorot mata Akhtar seperti tak ada gairah untuk hidup. Akhtar berjalan menuju Aetra berada.
Merebahkan kepalanya di atas paha Aetra, lalu terlelap dengan jas kerja yang masih melekat ditubuhnya. Aetra yang melihat Akhtar begitu kelelahan, hanya bisa memperhatikan wajah lelah Ayahnya.
Wajah Ayahnya pucat. Suhu badannya juga tak panas. Tunggu. Bukannya orang tak enak badan suhu badannya akan naik?
Kriing... Kriiing...
Untuk ketiga kalinya telpon Rumah itu berdering. Sebenarnya Aetra muak, namun ia takut jika telfon itu penting. Melihat sekilas wajah Ayahnya, dan bangkit menuju telpon yang sedang berdering itu.
"Maaf, kalo cuman mau usil jangan kesini. Ayah saya sedang sakit."
"Aetra? Siapa sakit nak? Ayah dari tadi nelfon kamu tapi sinyalnya ilang terus. Ayah cuman mau ngabarin kalo Ayah bakal pulang telat karena lembur. Di kulkas udah Ayah siapin makanan untuk makan malam kamu."
Tubuh Aetra membeku. Suara disebrang sana adalah suara Akhtar. Wajah Aetra berubah menjadi pucat pasi, Jantungnya berdetak lebih kencang. Dengan perlahan menolehkan wajahnya ke arah sofa dimana ada sosok Ayahnya.
Tak ada. Sofa itu kosong. Aetra berkeringat dingin. Menolehkan wajahnya ke manapun, mencari orang dengan wujud Ayahnya.
Deg!
Sosok itu tersenyum. Tersenyum ke arah Aetra dengan sobekan mulut yang lebar.
"AYAH!"
keringat dingin bercucuran di seluruh wajah Aetra. Ia terbangun dan melihat Ayahnya yang duduk terlelap di samping ranjangnya. Terlihat Ayahnya yang terbangun karena teriakannya sendiri. Mata itu mengerjap pelan, dan memandangi Aetra dengan rasa heran.
Aetra memeluk Ayahnya ketakutan. Akhtar yang bingung lantas bertanya. "Aetra kenapa? Mimpi buruk ya? Udah gapapa. Ada ayah disini."
Aetra mengangguk, sedikit tenang karena senyuman hangat yang terpatri di wajah Ayahnya. Bukan sebuah senyuman yang menyeramkan dengan mulut robek seperti yang ada di mimpinya tadi.
Tadi itu benar benar seperti kenyataan. Lagi lagi Aetra terkejut. Terkejut karena telapak tangan Akhtar berada di keningnya.
"Badan Aetra masih panas, tidur lagi ya nak? Biar cepet sehat."
Aetra baru sadar jika dirinya terserang demam. Kemarin, saat mendengar pertengkaran antar saudara itu, Aetra pingsan dengan tiba tiba. Amel panik, dan tak sengaja berteriak. Hal itu terdengar di telinga Aarav dan Rissa.
Yang Aetra ingat, ia pingsan karena merasa terlalu terkejut dengan perkataan Rissa yang mengatakan bahwa Aarav sempat membencinya dan mengucapkan jika Aetra sok suci.
Bagi orang mungkin sepele. Namun jika itu Aetra, ia akan memikirkannya sampai membuatnya pusing dan berujung pingsan. Aetra akan mengintropeksi dirinya sendiri. Apa dirinya seburuk itu?
Hal itu membuat Amel menyesal karena membuat Aetra mendengarkan pertengkaran antara Aarav dan Rissa. Aetra juga ingat, Aarav dan Amel sempat bertengkar. Menyalahkan satu sama lain. Sementara Rissa sendiri tak ambil pusing dan berlalu meninggalkan mereka begitu saja.
"Aetra?"
"E-eh iya, ini Aetra mau tidur lagi."
Akhtar mengangguk dan mengecup kening malaikat kesayangannya. "Gausah takut, Ayah disini terus jagain kamu."
***
Hari sudah pagi, Sang Surya mulai memancarkan sinarnya. Aetra yang masih terbaring lemah merasa kasihan terhadap Ayahnya yang sepertinya baru saja tertidur dengan sarung kesukaannya.
Aetra tak tega melihatnya. Entah karena Aetra yang benar benar ceroboh, ia membuat suara yang keras sampai membangunkan Ayahnya. Aetra menggigit lidahnya sendiri. Merasa dirinya benar benar pembuat kekacauan.
"Aetra udah bangun? Ga usah sekolah dulu ya, Ayah takut Aetra kenapa napa."
Akhtar berjalan menuju kamar mandi dan membasuh wajahnya. Dengan wajah bantal itu, Akhtar bertanya kepada Aetra ingin sarapan Apa.
"Apa yang ada aja yah."
Akhtar mengangguk dan hendak menuju Dapur, tapi Aetra dengan gesit berada di samping Akhtar. Akhtar terkekeh, dan melanjutkan jalannya dengan Aetra yang berada disampingnya.
"Kemarin, Amel nganterin kamu pulang naik taksi. Ayah bingung, karena disitu kamu pingsan. Tapi Amel ga ada jelasin apa apa, sahabat kamu langsung pulang setelah nganter kamu."
Akhtar bercerita di tengah sarapan mereka, "Aetra tau sendiri kan, keadaan Aetra itu ga sekuat dulu. Ayah paham gimana perasaan kamu, Ayah takut kamu terluka. Mulai sekarang, harus lebih bisa jaga diri ya sayang."
Aetra mengangguk, ingin menjelaskan alasan dirinya pingsan. Tapi itu ia urungkan karena tak mau membuat Ayahnya khawatir. Aetra kesal mengapa dirinya lemah. Ia mau seperti dulu. Yang tak mudah sakit. Tapi ini semua sudah kehendak Tuhan. Mau bagaimana pun, Aetra harus tetap menerimanya.
Perihal Amel, Aetra yakin kalau Amel pasti sedang menyalahkan dirinya sendiri. Aetra takut karena itu Amel menjadi tak fokus dalam pelajaran. Aetra hendak mengabari Amel jika dirinya baik baik saja.
Namun saat ini, pasti Amel sedang belajar. Ini belum waktunya istirahat.
Aetra menolehkan wajahnya ke arah Akhtar, ia melihat Ayahnya seperti sedang memikirkan sesuatu. Tak tau jelas apa yang sedang dipikirkan pria paruh baya itu.
"Ayah kenapa?"
Akhtar tersentak, padahal Aetra hanya memanggilnya. Netra Akhtar bergulir, melihat dengan jelas foto keluarga yang terpajang di dinding berwarna abu muda.
Aetra mengikuti kemana arah pandang Akhtar. Dan sedikit terhenyak ketika tau Ayahnya yang sedang merindukan sosok Yana, Ibunya Aetra.
Perlahan Aetra mendekati tubuh Akhtar, dan memeluknya dengan hangat. Gadis itu tak mampu melihat sorot mata Ayahnya yang seperti terluka.
"Ayah kok liatin Bunda terus, iya sih Bunda cantik, tapi kan masih cantikan Aetra." Ujar Aetra dengan raut wajah yang dibuat seperti tengah marah.
Perlahan senyum itu terlihat, Akhtar mengelus pucuk kepala Aetra. Wajah Aetra tidak menakutkan sama sekali. Justru ekspresi wajah itu membuat Akhtar gemas.
"Ga, cantikan Bunda Aetra. Aetranya ga cantik."
Ledek Akhtar membuat Aetra senang karena berhasil membuat Ayahnya tidak bersedih lagi.
"Kok Ayah gitu, Bunda aja bilang kalo Aetra yang paling cantik, lihat nih ya."
Aetra beranjak menuju foto yang terdapat Yana disana. "Bunda, cantikan Aetra apa Bunda?"
"Jelas dong cantikan Aetra." Jawab Aetra sendiri dengan menirukan nada bicara Bundanya.
Jelas hal itu mengundang gelak tawa Akhtar. Menggelengkan kepalanya dan mengatakan sesuatu membuat Aetra bergidik ngeri. "Ga, pokoknya cantikan Istri Ayah."
"Dasar bapak bapak bucin."
Keduanya tertawa bersama, dan aura kesedihan itu menghilang begitu saja dan tergantikan dengan pelukan hangat yang di terima Aetra dari Akhtar.
***
Amel berdecak, merasa jenuh karena tak ada kehadiran Aetra hari ini. Beberapa buku terletak begitu saja di atas meja yang ia tempati. Amel sedang berada di perpustakaan. Tak berniat pergi ke kantin atau tempat yang lain. Bagaimanapun Amel benar benar terbiasa dengan adanya Aetra.
"Aetra, kapan kamu sembuh?"
Amel teringat bagaimana ia dan Aetra bertemu. Dulu, Aetra adalah Gadis yang pemalu. Amel juga ingat bagaimana Aetra tertawa dengan begitu anggun. benar benar mencerminkan wanita baik.
Amel mengingat ketika untuk pertama kalinya mereka berdua pergi mengelilingi kota. Saat itu hujan turun dengan deras, membuat pakaian mereka basah. Aetra dan Amel memutuskan untuk berteduh di dalam sebuah Kafe.
Di sana, Amel memesankan sebuah teh hangat untuk Aetra walau Aetra sendiri sudah menolaknya. Namun cuaca sangat dingin. Amel khawatir Aetra akan terserang flu.
yang Amel herankan, bagaimana Aetra yang tampak biasa saja meminum teh yang sama sekali belum ia beri gula. tak apa, mungkin Aetra menyukai teh pahit, pikirnya.
Amel bertanya bagaimana rasa tehnya, namun yang ia dapat hanya sebuah senyuman dari Aetra dan saat itu Aetra mulai bercerita bagaimana kehidupannya.
"Dulu, aku sama Bunda pergi ke tempat kerja Ayah. Mau ngasih kejutan, Ayah aku ulang tahun. Semuanya berjalan lancar seperti apa yang aku dan Bunda rencanakan."
Amel menyimak dengan seksama, mencerna satu persatu perkataan Aetra.
"Singkatnya, waktu aku dan Bunda di perjalanan pulang, ada satu truk yang kehilangan kendali. Bunda yang panik gatau mau ngapain cuman meluk aku make satu tangannya dan berharap aku ga terluka sedikitpun."
"Demi Allah, aku nangis liat wajah Bunda yang penuh darah. Tapi senyum itu tetap terukir indah di wajah Bunda. Bunda bilang ke aku 'Aetra bakalan baik baik aja, jangan sedih, terima apapun yang Allah kasih ke kamu' Ga lama Bunda benar benar ninggalin aku dan Ayah sendirian disini."
"Bunda belum nyelesain kata katanya, tapi Bunda udah pergi duluan."
Mata itu mulai berair. Menahan air matanya untuk tidak jatuh. Walau isakan kecil terdengar di telinga Amel. Amel berusaha menenangkan Aetra. "Kalo ga sanggup cerita, gapapa. Jangan kamu paksain."
Aetra Menggeleng dan tetap ingin menceritakan kisahnya kepada Amel. "Gapapa Mel, biar kamu tau kalo aku benar benar nganggap kamu sahabat aku."
Amel tersenyum simpul, dan kembali menyimak kata perkata yang keluar dari bibir Aetra.
"Waktu aku sadar kalo aku udah di Rumah sakit, aku benar benar ga ada nyium aroma sedikit pun. Aku lihat Ayah yang terpukul karena kepergian Bunda. Dan yang paling membuat Ayah sedih, ternyata kecelakaan itu berdampak ke Indra penciuman aku. Hidung tulang aku patah dan di vonis mengidap penyakit anosmia."
Amel sedikit kaget. Berusaha tetap tenang walau ia sendiri sedih karena menanyakan perihal rasa teh tadi.
"Maaf."
Hanya kata itu yang bisa terucap oleh bibir Amel. Menatap mata Aetra dengan rasa bersalah. Namun Aetra sendiri hanya menggelengkan kepalanya dengan sebuah senyuman yang benar benar teduh.
"Gapapa, seperti kata Bunda. Kalo semua ini, Allah kasih spesial untuk aku."
Tertawa renyah dan sedikit tertawa dengan lesung pipi indahnya, "buktinya karena ini, aku jadi ga nyium aroma tai ayam."
Amel tau dibalik tawa Aetra, ia menyimpan luka yang dalam. Amel sadar, selama ini dirinya kurang bersyukur. Sudah diberi nikmat oleh Tuhan, tapi berpikir bahwa Tuhan tak adil padanya.
Tapi Aetra, ia masih bisa tertawa. Tak menganggap penyakit yang di idapnya sebagai halangan untuk meneruskan hidup.
"Adik kecil kesayangan ku."