'Kesalahan.
Satu kata dimana setiap insan tentu pernah melakukannya. Tak salah jika ingin memperbaiki suatu kesalahan, itu hal yang bagus. Namun tak semua kesalahan bisa diperbaiki'
"Buku apaan sih ini, buat orang dag dig dug ser aja, mana ada kesalahan yang ga bisa diperbaiki." Aarav mengomel tak jelas membaca suatu kutipan di dalam sebuah buku.
Sang tuan menjadi takut tak akan bisa mendapatkan maaf dari Aetra. Ia benar benar sakit kepala memikirkan hal apa yang harus dilakukan. Aetra jatuh sakit karena ulahnya sendiri. Ia salah mengapa harus membahas hubungannya dengan Rissa di sekolah. Aarav benar benar mengkhawatirkan Aetra.
Merasa lelah dengan semuanya, Aarav menyenderkan kepalanya di atas meja dengan lengan sebagai bantalannya. Ia tak berhenti untuk terus berpikir keras, membuat Tirta yang duduk bersebrangan dengan Aarav heran. Tak biasanya Aarav seperti ini.
"Lu kenapa dah rap?"
Saat itu juga wajah Aarav tertoleh menghadap Tirta, dengan kepalanya yang masih menempel di atas meja. Aarav mendengus, tak mau berbicara dengan siapapun. Jujur, Tirta yang melihat tingkah Aarav bergidik ngeri.
"Lu kenapa sih rap, Pms?"
Pluk!
Kepalan tangan Aarav berhasil mendarat dengan mulus di atas kepala Tirta. Aarav menunjukkan tatapan tak bergairah untuk hidup. Sungguh, rasanya kepala Aarav akan pecah lantaran belum menemukan cara untuk meminta maaf.
"Heh kerak nasi uduk, cerita ke gue sini!"
Aarav berdecak, memaksakan badannya untuk tegak, dan mulai menceritakan penyebab dirinya pusing tujuh keliling.
"Mulut gue sepedes itu ya Tra?"
Kening Tirta berkerut, ingin bertanya namun sudah di todongkan oleh Aarav sebuah jari telunjuk. Tapi sayang malah memasuki lubang hidung Tirta.
Dengan posisi yang lumayan aneh, Aarav mulai menceritakan segalanya kepada sosok yang sedang berada di hadapannya. Tirta mengangguk paham dan membuat gerakan seolah berpikir.
Tetapi bukannya memberi saran, Tirta justru membuat Aarav semakin cemas. Raut wajah Aarav benar benar menghibur dirinya.
"Lu ya tra, belum aja gue jual ke tante tante di luar sono."
"Tapi komuk kamu yang buat aku gini mas."
"Mau aku geplak ga dek?"
"Engga mas makasi."
Merasa jenuh dengan tingkah Tirta yang kian aneh, Aarav memutuskan untuk pergi menemui Amel. Meminta alamat Rumah Aetra dan bermaksud mendatanginya.
Akan tetapi Aarav tidak terlalu yakin Amel akan memberi alamat Rumah Aetra dengan suka cita.
Tak apa, paling tidak Aarav harus berusaha terlebih dahulu. Mengenai hasilnya, biar waktu yang menjawab.
"AMEL!" Teriak Aarav kala mendapati Amel sedang membawa beberapa buku dari perpustakaan.
Sontak Amel menolehkan kepalanya menghadap Aarav. Mau apa lagi dia? Apa belum puas membuat luka di hati sahabatnya? Dasar para lelaki memang sama saja.
"Mau apalagi Lo?"
"Emm ... gini Mel, gue boleh ga minta alamat rumah Aetra?"
"Hahaha lo yakin minta sama gue? ga salah Lo?"
"Please Mel, gue bener bener nyesal bangett"
"Belum puas lo buat dia sakit hati dengan bibir setajam itu? atau mau gue asah lagi tuh bibir!"
Aarav paham betul akan kemarahan sahabat Aetra, tapi disisi lain dia juga harus bersikeras agar bisa mendapatkan alamat rumah Aetra.
"Gue bener bener minta maaf Mel."
"Lo jangan minta maaf ke gue, gaada gunanya, and then lo juga telat sadar kesalahan lo ke Aetra."
"Iya gue tau Mel, gue bener bener mohon ke lo kali ini aja, gue janji ga bakal nyakitin Aetra lagi."
Amel terdiam sejenak, Ia mencerna perkataan Aarav, Amel tau bahwa semua lelaki itu sama saja bahwa semua perkataan lelaki tak dapat dipercaya.
"But tujuan dia baik sih, minta maaf secara langsung kepada Aetra," pikir Amel.
Lantas Amel memutuskan untuk memberi alamat rumah Aetra kepada Aarav, Amel berharap, Aarav tidak akan mengulanginya kembali dan tak membuat Aetra terluka karena mulut tajam yang Aarav miliki.
***
Untuk pertama kali Aarav mengunjungi rumah Aetra. Ia sudah mengetuk pintu rumah Gadis yang kemarin baru saja pingsan. Tak lama, pintu itu terbuka memperlihatkan Akhtar yang sedang memakai sarung, sehabis sholat.
Mendadak Aarav merasakan suasana canggung, ia sudah menebak bahwa lelaki paruh baya yang sekarang sedang berada di hadapannya ini adalah Ayah dari Aetra.
Akhtar terperanjat kaget saat Aarav dengan tiba tiba mencium telapak tangannya.
"Kamu siapa nak?"
"Temen Aetra om."
Apa Akhtar tidak salah dengar? Sungguh Akhtar benar benar tau bahwa putrinya tidak mempunyai teman lawan jenis sama sekali. Tak mau banyak berpikir, Akhtar mempersilahkan Aarav masuk dan menjelaskan semuanya.
Kini, hembusan angin sore menerpa wajah rupawan yang dimiliki oleh Akhtar dan Aarav. keduanya berbincang ringan sebelum masuk ke pembahasan serius. Aarav benar benar kaku. Ia sudah berencana untuk mengatakan seluruh kejadian dan tak lupa dengan perasaannya terhadap Aetra.
"Aetra cantik ya Om."
Akhtar tersedak air liurnya. Apa tadi? Aarav baru saja memuji putrinya cantik? Di depan Ayah sang Gadis sendiri. Sekarang, Akhtar bisa menebak apa maksud kedatangan sang Pemuda kemari.
Akhtar tertawa ringan, "Coba kamu ceritakan seluruhnya nak, saya tau masih ada sesuatu hal yang ingin kamu sampaikan."
Aarav mengangguk kaku dan mulai menceritakan seluruh peristiwa yang terjadi, "Maaf Om, saya lancang. Maaf saya yang lancang mencintai permata milik Om,"
"Saya mau berubah demi Aetra, saya mau memantaskan diri untuk Aetra."
Akhtar menepuk pundak Aarav, sedikit bangga dengan keberanian sang Taruna. Namun ada satu hal yang sangat Akhtar sayangkan.
Anak muda zaman sekarang sibuk mengejar cinta dunia yang tak tau jelas atau tidaknya, tanpa tau bahwa hanya cinta Sang Maha Esa yang benar benar jelas.
Jangan takut dibenci seseorang dan jangan pula gembira disukai banyak orang. Karena sesungguhnya, Tuhan maha bisa membulak balikkan hati sebuah insan.
"Kamu ga salah berubah menjadi lebih baik. hanya saja, alasan kamu berubah hanya karena ciptaan-Nya. Kamu tau nak Aarav? Sesuatu yang kita cintai melebihi cinta kita ke Allah itu ga akan bertahan lama."
Netra Akhtar terpaku kepada sebuah bunga kejora yang tumbuh dengan begitu indah. Tatapannya begitu dalam. Aarav sendiri terhenyak dengan tatapan Akhtar yang dalam, sedalam lautan yang gelap. Dan tak seorang pun tau apa yang ada di dalam sana.
"Siapa yang tahu jelas bagaimana kondisi hati seseorang. Apa ia sedang marah, sedang sedih ataupun sedang tak enak hati?"
"Aarav," Suara Akhtar begitu lembut di pendengaran Aarav, bahkan ayahnya sendiri tidak pernah memanggilnya seperti yang Akhtar lakukan barusan.
"Kamu takut Aetra marah sama kamu, tapi kenapa kamu tak takut kepada sang Pencipta akan kamu yang seperti ini nak?"
Aarav tertegun, ini benar benar membuatnya berpikir dua kali untuk mencerna kata kata Akhtar, apa dirinya sejauh itu dengan Sang Pencipta?
"Maaf Om." Aarav hanya bisa menunduk malu dengan perkataan Akhtar yang tepat menusuk ulu hatinya.
Akhtar tersenyum lembut. Rambut Akhtar yang tadinya basah karena air wudhu, kini kering ditambah angin sore yang membuat beberapa helai rambut lebatnya berterbangan. Aura ketegasan Pria paruh baya itu menguar membuat Aarav semakin menundukkan kepalanya.
"Kamu ga salah cinta sama anak Om, Om malah senang karena ada seseorang yang menyukai Aetra,"
"Tapi kamu caranya salah, dengan mengejar Aetra seperti itu membuat kalian berdua mendapatkan dosa, sungguh lelaki yang baik tak akan mengajak wanita yang ia cintai untuk menjalin hubungan yang haram."
Kini, Aarav seperti kehilangan harapan, ia kehilangan semangatnya. Akhtar yang memandanginya lantas memberi sebuah semangat untuk Aarav, tak tega melihat sang Pemuda terduduk lesu.
"Jangan lemes gitu."
"Jadi aku harus apa Om?"
"Kamu hanya perlu berdoa dan berusaha. Dan yang terpenting, jangan lupa menimba ilmu, baik ilmu dunia ataupun akhirat."
Dari belakang rumah, Aetra memperhatikan kedua lelaki yang tengah berbicara layaknya Ayah dan Anak. Aetra mendengar semuanya, entah kenapa lengkung kurva itu kian naik melawan gravitasi.
Sadar akan tingkahnya, Aetra menggeleng, terkekeh menertawakan apa yang baru saja Ia lakukan.
"Aku yakin kamu pasti bisa Aarav."