Chereads / GALERI KEJORA / Chapter 5 - AARAV KENAPA?

Chapter 5 - AARAV KENAPA?

Kini Aetra dan Amel tengah saling mengirim pesan, Amel mengatakan pada Aetra bahwa dirinya akan telat untuk datang menjemput Aetra.

Amel sudah memerintahkan Aetra untuk pergi lebih dulu agar tidak telat memasuki Sekolah, namun Aetra bersikeras untuk tetap pergi bersama Amel.

Selagi menunggu kedatangan Amel, Aetra pergi menemui ayahnya yang kini tengah bersiap untuk pergi bekerja.

"Loh kenapa Aetra belum ke sekolah? Upacara loh ini." Tanya Akhtar dengan raut wajah kebingungan dan meraih tas kerjanya yang berada di sofa.

"Nunggu Amel yah, katanya masih buatin bubur untuk Nenek."

"yaudah Ayah duluan ya, jangan lupa kunci pintu, Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Lima menit lagi jarum jam akan menuju angka tujuh, Aetra gelisah, Amel tak juga kunjung datang. Sudahlah, Aetra pasrah jika mereka telat.

Tak mau sombong, tetapi selama sekolah menengah atas, Aetra tak pernah terlambat. Paling lama ia datang pada pukul 07.40 WIB.

Tin!

"ASSALAMUALAIKUM, AETRA AYO BERANGKAT."

Amel? Tepat sekali.

Mereka mengejar waktu, tak sempat untuk saling bertanya, sepertinya Aetra dan Amel harus bersyukur sebab pagi ini derai hujan mulai turun, otomatis upacara pagi ini dibatalkan. Mereka masih bisa menerobos masuk ke dalam sekolah.

"Alhamdulilah." Ucap Aetra kala mereka sudah memasuki pekarangan sekolah.

Kini, Aetra dan Amel tengah berjalan di koridor dengan sedikit bersenda gurau. Namun sepasang sahabat tersebut melihat sebuah kerusuhan. Merasa penasaran, mereka menghampiri sumber yang membuat koridor itu penuh dan sesak.

"GA ADA AMPUN BUAT LO!"

BAGH! BUGH!

Aetra melihat seorang siswa yang sedang memukuli siswa lain dengan menggebu - gebu, Aetra bingung.

Bukannya itu aarav?

pukulan Aarav sangat kuat hingga membuat beberapa orang memejamkan mata menahan rasa ngilu, padahal bukan mereka yang Aarav pukul.

Melihat semua hanya diam memperhatikan, Aetra datang menghampiri Aarav yang terlihat sangat emosi.

Aetra berusaha menenangkan Aarav yang kini sedang menatap nyalang ke arah seorang siswa yang ia pukuli sampai babak belur tersebut.

"Astaghfirullah, udah Rav udah."

Hanya dengan suara Aetra, benar benar bisa menenangkan emosi seorang Aarav, sungguh suara Aetra yang lembut mampu menghipnotis Aarav dengan seketika.

'Sadar Aarav, Aetra belum jadi gadismu, belum halal astaghfirullah.'

Aarav membatin lalu menggulirkan mata melihat keadaan sekitarnya dengan sedikit terkejut.

"Buset rame, ngapain lu pada ngab."

"Ngab ngab palamu, noh liat noh udah hampir mati anak orang lu buat."

Satu - satunya sahabat Aarav, —Tirta Amarta, datang menghampiri Aarav yang kini sedang bersikap layaknya tak terjadi apapun.

Aarav mulai menceritakan kejadian bagaimana bisa ia memukuli anak tersebut dengan sedikit cengengesan, "Tu orang bilang nyokap gue sampah, tapi dia ga sadar mulut dia bahkan lebih dari sekedar sampah."

Pantas saja Aarav marah, ia tak bisa menahan emosi jika sudah berhubungan dengan orang tuanya, pikir Tirta.

Tirta berjalan mendekati siswa yang mengolok orang tua Aarav lalu tanpa aba-aba Tirta melayangkan tinjunya ke wajah siswa tersebut.

BUGH!

Semua orang terperangah, mereka kira Tirta akan meminta maaf atas perbuatan Aarav. Namun Tirta rasa, sahabatnya tak ada salah apapun. Siswa ini pantas mendapat satu pukulan lagi.

Tirta berjongkok menyamakan tingginya dengan siswa itu yang kini tengah tersungkur dilantai.

"Simpel aja. Lo ejek nyokapnya Aarav, berarti nyokap lo lebih rendah dari nyokapnya dia." Ujar Tirta sembari menunjuk ke arah Aarav yang sedang memperhatikan gerak gerik Aetra.

Sumpah ini Aarav tidak bisa liat kondisi apa.

Tampak siswa itu sedang menahan emosi, "bacot, jaga omongan lo, kayak cewe."

Tirta tersenyum, tersenyum dengan cara yang tidak menyenangkan.

"Kalo gue kayak cewe berarti lo apa dong? Banci?"

"DIAM LO TIRTA!"

Seluruh murid yang memperhatikan kegaduhan mendadak terdiam. Satu sekolah tau, membentak seseorang bernama Tirta tanpa alasan yang jelas harus menyiapkan uang untuk pengobatan ke Rumah sakit.

Sungguh, Tirta paling tak suka jika ada orang yang membentaknya tanpa mengetahui kesalahannya sendiri, Tirta bergerak mendekat dan mencengkram krah siswa itu yang tampaknya tak gentar sama sekali melihat Tirta.

"Apa? Lo mau marah? Lo ga terima nyokap lo dihina tapi mulut lo seenaknya bilang nyokapnya Aarav sampah?"

Sebelum kepala tangan Tirta mendarat di pipi Siswa tersebut untuk kedua kalinya, sang ketua OSIS datang menghentikan kegaduhan yang sedang terjadi.

"Lo berdua, silahkan ke ruang kepsek."

Singkat padat dan jelas, Sang ketua OSIS—Rayan langsung menuntun mereka berdua menuju ruang kepala sekolah. sempat berhenti lalu memutar balik arah badannya. 'Aarav, lo juga ikut."

Aarav mengangguk lalu mengikuti mereka dari belakang.

"Dan lo semua, masuk ke kelas masing masing karena lima menit lagi bel bakal bunyi."

Seluruh murid satu persatu pergi meninggalkan lokasi kejadian, sama halnya dengan Aetra dan Amel, mereka berdua berjalan berdampingan menuju kelas.

"Ada ada aja ya." Ujar Aetra kala mereka sudah duduk di bangku masing masing.

Amel yang merupakan sebangku Aetra lantas menyambar perkataan sahabatnya, "Lo gatau bonyok nya Aarav ra?"

Aetra menggeleng. Ia berpikir untuk apa juga mengetahui kehidupan orang-orang yang ia tak terlalu kenal.

Kalau Aarav tau apa isi hati Aetra sekarang, mungkin Aarav akan sedih dan berkecil hati. Namun kita tak tau apa yang akan terjadi di masa depan. Untuk saat ini, cukup dengan berusaha dan perbanyak berdoa kepada-Nya.

Apa gunanya berdoa tanpa berusaha? Semua hanya akan menjadi angan yang tak akan tergapai.

"Dari yang aku denger, Bokap Aarav kerja di Negri orang."

"Terus? Nyokapnya?"

"Udah tenang di alam sana."

Aetra menganggukkan kepalanya dengan bibir yang berbentuk bulat. Ia tak boleh kasar pada Lelaki itu, hanya saja Aarav begitu menjengkelkan di matanya.

"Ra tau ga, sebenarnya ga mau gosip sih cu—

"Gosip mulu, ga cape apa kamu makan bangkai saudara sendiri mel?"

Nyess...

Amel tertohok, kemudian tak lama, guru pengajar mereka sudah tiba dan pembelajaran di mulai dengan khidmat.

***

Ruangan itu hening, tak ada seorang pun yang bersuara. Aarav sendiri juga malas untuk mengeluarkan suaranya.

Terserah mau di apakan, yang ia tau dirinya tak mempunyai salah sedikitpun.

"Jadi Elang, apa alasan kamu membuat keributan dengan Aarav?" Tanya kepala sekolah kepada tersangka utama dalam kegaduhan yang baru saja terjadi.

"Gaada Pak, mukanya dia ngeselin jadi saya buat dia marah."

Tak hanya kepala sekolah yang bingung, bahkan Aarav dan Tirta juga dibuat bingung dengan tingkah Elang.

"Maksud kamu?"

Elang hanya mengendikkan bahu berlagak tak perduli, "Bapak mau hukum saya? Jangan lupa hukum Aarav sama Tirta ya pak."

Kepala sekolah terdiam, mengurut kedua alisnya. Berpikir bagaimana cara untuk menghukum muridnya dan mungkin saja bisa membuat anak mereka menjadi teman.

"Baik, saya sudah memikirkan hukuman untuk kalian."

"Apa pak?"

"Bantu Ibu kantin selama seminggu. Saya akan berbicara pada ibu kantin terlebih dahulu, dan jika saya terima keluhan darinya maka hukuman kalian akan saya tambah, terimakasih kalian bisa keluar dari ruangan saya."

Aarav, Tirta dan Elang terbodoh. Baru kali ini mereka mendapatkan hukuman membantu ibu ibu kantin.

"Hadeh."

***

Kini, ketiga orang tersebut tengah merapikan kantin, mereka sudah mendapatkan tugasnya masing masing.

Yang mana Tirta bertugas membantu Bu kantin memasak, sebut saja mpok Atun, Elang menyusun aneka jajanan, dan Aarav membersihkan setiap meja kantin.

Tak terasa waktu istirahat telah tiba, seketika kantin menjadi penuh dan sesak.

Tak heran mereka bertiga menjadi pusat perhatian. Aarav yang kini tengah membersihkan sisa makanan di setiap meja, berhasil menemukan Aetra yang sedang melahap sebuah roti ditemani dengan sahabatnya, Amel.

Ia terhanyut dengan netra coklat yang dalam layaknya samudra, indah. Disisi lain, Aetra yang merasa diperhatikan, melihat sekelilingnya dan mendapati Aarav yang tengah melihatnya secara berlebihan.

Aarav langsung tersadar dan melihat Aetra yang menggelengkan kepalanya dan menggerakkan mulutnya seakan mengingatkan Aarav dengan perbuatannya.

Seketika Aarav berucap. Sadar akan kesalahannya, Aarav menyatukan kedua tangan sembari mengatakan kata 'maaf' tanpa suara.

Asik dalam dunianya sendiri, Aarav tak sadar jika Elang sedari tadi memperhatikannya. Elang mengikuti arah pandang Aarav lalu tersenyum miring ketika tau ada seseorang yang Aarav sukai.

"lumayan."