Ini hari minggu, Aetra bingung harus melakukan apa. Di sisi lain Akhtar merencanakan untuk pergi ke makam mendiang Istrinya—yana.
"Hari ini Aetra ada jadwal apa?" Tanya Akhtar ditengah sarapan mereka. Tak banyak makanan yang terhidang di atas meja makan, mereka takut jika memasak banyak, tak akan bisa dihabiskan dan akhirnya menjadi sia sia.
"Aetra ga ada jadwal apa apa, bosen," balas Aetra sembari memanyunkan bibirnya. Mengaduk makanannya acak karena merasa jenuh.
Akhtar terkekeh kecil, "Hari ini ayah rencana mau ke makam bunda, mau ikut?"
Tanpa pikir panjang, Aetra menganggukkan kepalanya dengan semangat. Setahun sudah mereka lalui tanpa adanya sang Ibu rumah tangga. Mereka harus apa? Hanya bisa bersyukur dan berdoa untuk Yana.
Akhtar tersenyum lembut sembari mengelus pucuk kepala Aetra, "Ayah udah selesai sarapan, mau mandi, Aetra juga mandi sana udah bau terasi."
Raut wajah Aetra tak terima dan langsung menghirup aroma badannya sendiri, "mau marah tapi Aetra emang bau terasi."
"Nah kan, udah sana siap sarapan langsung mandi."
"Siap kapten!"
Beberapa jam sudah berlalu, jarum jam menunjukkan pukul 10 pagi. Sepasang Ayah dan anak tersebut sudah rapi dengan pakaian putihnya. Mereka sudah siap untuk mengunjungi makam orang tersayang. tak jauh, cukup berjalan kaki selama tujuh menit, maka sampailah ke pemakaman.
"Udah siap?" Tanya Akhtar
"Udah dong, cepetan ayah, Aetra kangen banget nih sama bunda." Ujar Aetra tak sabar sembari menarik narik lengan baju Akhtar.
"Aduh iya iya sabar sayang."
Karena mengikuti langkah Aetra yang terburu buru, Akhtar sampai tak memperhatikan sebuah ranting pohon yang menjalar di depannya.
BRUK!
"Astaghfirullah, ayah!" Kaget Aetra
Alhasil Akhtar terjatuh kesandung akibat ranting pohon tersebut. Akhtar sempat terbentur dengan aspal, menghasilkan sebuah benjolan biru dikeningnya. Terlihat pria paruh baya tersebut memegangi kepalanya sembari meringis kecil.
melihat ayah nya terluka karena ulahnya sendiri, Aetra merasa bersalah dan hampir menangis. Namun Akhtar dengan cepat menyakinkan pada Aetra bahwa dirinya baik baik saja.
"Ayah gapapa sayang, yuk lanjut jalan."
"Engga! Ayah harus diobatin, sebentar Aetra mau beli obat dulu." Bantah Aetra lalu membantu ayahnya untuk memasuki rumah dan berlalu pergi menuju toko obat.
Dalam perjalanan menuju toko obat, perasaan Aetra di penuhi rasa bersalah kepada ayahnya. Ia benar benar mengutuk dirinya sendiri.
"Ceroboh banget." Gumam Aetra
Sampailah Aetra ke tempat tujuan, tanpa basa basi Aetra mengucapkan apa saja yang ia perlukan untuk mengobati luka ayahnya.
"Huh ... Akhirnya."
Seperti biasa, saat berjalan, Aetra menundukkan pandangannya dan berjalan dengan cepat. Tak mau menjadi pusat perhatian.
Bruk !
Aetra jatuh. Terdorong oleh orang yang badannya lebih besar daripada Aetra sendiri. Sayangnya, Aetra terjatuh diatas kumpulan batu kerikil yang mempunyai ujung yang lancip. Punggung Aetra sakit, siapa yang menabrak nya dengan kuat, sungguh ini membuat punggung Aetra ngilu.
Dengan susah payah Aetra bangkit, Aetra kira orang yang menabraknya sudah lari tak bertanggungjawab, ternyata Ia salah. Orang itu menunggu tepat di belakang Aetra.
"Sorry, gue tadi bu—eh Aetra?"
Aetra yang sibuk membersihkan pakaiannya seketika menoleh, Aetra terkejut pasalnya orang ini adalah teman seangkatan Aetra dan menyukai Aetra sejak Aetra masuk ke SMA karya sakti.
"Aarav?"
Ingat Aarav? Si anak menyebalkan yang tega meninggalkan saudarinya yang tersesat di keramaian orang banyak.
Bagaimana Aetra tau bahwa Aarav menyukainya? Sebelumnya orang ini juga pernah menyatakan cintanya pada Aetra namun Aetra justru menolaknya.
Aetra adalah gadis religius, ia ingin seperti bundanya yang selalu mengejar akhirat bukan dunia. Ia juga takut lebih mencintai ciptaan-Nya daripada sang Pencipta.
Untuk apa mengejar dunia yang hanya sementara sedangkan yang abadi hanya hanya ada di akhirat?
"Ah iya ... anu mau beli obat buat oma." Ujar Aarav seraya cengengesan.
"Oh yaudah lain kali hati hati."
Saat Aetra ingin pergi, Aarav memanggilnya. Berencana membelikan obat untuk Aetra. Aarav tau sedari tadi Aetra sedang menahan sakit, Aarav juga melihat posisi terjatuhnya Aetra.
"Jangan pergi dulu biar aku beliin obat salep, aku tau punggung kamu luka."
Dengan cepat Aetra menolak, namun Aarav yang keras kepala langsung memasuki toko obat tersebut untuk membeli salep dan segera kembali menemui Aetra.
"Nih." Ucap Aarav dengan menyodorkan tangannya yang sudah memegang salep.
Aetra terkejut melihat Aarav yang sangat cepat membeli obat. Apa Aarav mempunyai kekuatan super? Aetra membuang jauh jauh pemikiran konyolnya lalu dengan tak enak hati Aetra mengambil pemberian Aarav, "makasih rav."
Aarav mengangguk dan berlalu pergi memasuki toko obat kembali lalu membeli kebutuhan oma-nya.
Setdah keringet dingin gue - batin Aarav
Aarav menyukai Aetra dan tak bisa menahan untuk terus menyimpan perasaannya sendiri, sampai akhirnya Aarav kelepasan dan berterus terang mengenai rasa cintanya, dan jelas bahwa Aetra menolaknya.
Aarav ingat apa yang dikatakan Aetra saat tak menerimanya kala itu.
"Kalo kamu cinta sama seseorang, kamu ga bakal ngajak dia pacaran, kamu kejar cinta nya Allah maka Allah akan datangkan cinta seperti yang kamu mau."
Aarav seperti tertohok akan kata kata Aetra, apa bisa ia yang awut-awutan ini bersanding dengan Aetra yang penuh dengan kelembutan?
Aarav benar benar cinta pandang pertama pada Aetra, sungguh. Sifat pemalu nan anggun, murah senyum dan rendah hati yang Aetra miliki. Itu semua membuat Aarav jatuh cinta padanya.
Jika boleh jujur, Aarav termasuk anak yang nakal dan juga menyebalkan. namun ia akan berusaha menjadi lebih baik lagi agar pantas untuk bersanding dengan Aetra kelak.
Ya, Aarav yakin.
***
"Assalamualaikum, ayah dimana?"
"WAALAIKUMUSSALAM, AYAH DI TAMAN BELAKANG."
Mendengar teriakan ayahnya, Aetra segera pergi ke tempat Akhtar berada. Aetra melihat Akhtar tengah memandangi bunga mendiang istri tercintanya yang sampai sekarang masih Aetra dan Akhtar rawat.
Kejora.
Mari kita kembali ke beberapa tahun silam dimana seorang putri cantik jelita lahir ke Dunia.
"Masya Allah cantiknya anak Bunda."
Akhtar terharu dan tersenyum hangat menyambut bayinya ke dunia. Dunia yang penuh akan orang orang munafik, dunia yang penuh akan kekerasan, dan dunia yang penuh akan kebohongan.
"Siapa namanya dek?" Tanya Akhtar selesai meng-Adzani bayinya.
"Aku mau namanya ada terselip kata kejora mas." Ungkap Yana benar benar antusias.
"Kejora ..."
"Kejora aetra abinaya." Sambung Yana diakhiri dengan senyuman selembut cahaya bulan purnama.
"Aetra, bintang yang penuh akan cahaya dan semangat."
"Yang sa—
"Ayah?" Tegur Aetra melihat ayahnya yang tengah melamun. Tersenyum menghadap Taman kecil mereka dengan kedua mata sedikit berair.
"e-eh iya, mana obatnya? Sini obatin ayah, ngilu nih ngilu." Ujar Akhtar dengan memegangi perutnya.
"PFFT! BWHAHAHHAHAHA."
"Loh kok Aetra ketawa? Ayahnya sakit loh."
"Habisnya, yang sakit kan kening ayah masa megangnya perut sih, ga logis."
Aetra tertawa renyah melihat tingkah ayahnya, sementara Akhtar sendiri mengembangkan senyumnya ketika melihat putrinya tertawa. Senyuman Aetra seperti penyakit menular. Membuat beberapa orang di sekitarnya juga ikut tersenyum.
Setelah tawanya reda, Aetra segera mengeluarkan obat yang sudah ia beli dengan segala kejadian yang terjadi di toko obat. Telaten sekali gadis itu mengobati ayahnya.
Akhtar sendiri tengah memperhatikan wajah putrinya sendiri.
"Udah gede ya Aetra, udah bisa ngobatin ayahnya." Ujar Akhtar sembari mencubit kedua pipi Aetra.
"ayah jangan gitu ntar Aetra ga fokus."
Akhtar tertawa ringan, dengan sedikit raut wajah yang menyebalkan menurut Aetra. "iya iya ayah diem nih."
Namun siapa yang tau, di dalam hati, Akhtar selalu berdoa untuk kebahagiaan putrinya, ia tak peduli dengan kebahagiaannya sendiri, jika Aetra bahagia maka Akhtar pun akan bahagia.
"Jangan sedih ya nak, ada ayah disini."