Chereads / GALERI KEJORA / Chapter 2 - INI ANUGRAH BUKAN CACAT!

Chapter 2 - INI ANUGRAH BUKAN CACAT!

suara perpaduan sepatu hak tinggi dengan lantai pualam putih tersebut terus bergema di sepanjang lorong, membuat para murid berlari memasuki kelas masing-masing.

Sama halnya dengan anak kelas XII IPS 2 yang tadinya duduk santai di depan kelas, kini berdesakan memasuki ruang kelas.

"Cepetan woi, Bu Wulan udah dateng."

"Ih buruan, lama banget keburu jadi ikan goreng di lapangan nih."

"Iya bentar itu si dadang lama banget mana sempet mungut jajannya lagi.".

Ada yang terhimpit di antara dinding dan pintu, bahkan rela mendorong temannya agar tak dapat hukuman dari sang guru yang menjadi ketakutan semua murid.

Kasian, mana masih muda.

Kejadian itu sering terjadi dikelas mereka yang berbanding terbalik dengan gedung sebelah yang mana kelas XII IPA 2 selalu tertib.

Jika dikatakan 'tertib' karena guru pengajar, tidak bisa, karena guru pelajaran umum mereka sama.

Atau Mungkin karena faktor ketua kelas XII IPA 2 yang alergi kebisingan? Entahlah.

"Berdiri! Salam!" Ucap sang ketua kelas XII IPS 2 saat guru pengajar mereka sudah berada di dalam kelas.

"SELAMAT PAGI BU." ucap anak anak serempak.

"Pagi." Balas guru tersebut sembari melihat setiap kursi yang sudah terisi penuh tanpa celah.

"Ada tugas?"

Serempak seluruh penghuni kelas menjawab bahwa pertemuan sebelumnya guru tersebut tak memberi tugas. Guru yang mendengar menganggukkan kepalanya dan hendak memulai pelajaran.

Mereka semua bersorak diam dengan kebebasannya dalam tugas. Namun tak berselang lama, itu semua pupus kala salah satu Siswa mengatakan sesuatu.

"Eh bukannya ada tugas pilihan ganda yang 25 soal itu ya?"

Sialan - batin seluruh murid kecuali Aarav

Hening sesaat, murid itu, yang punya nama Aarav kerap sekali membuat darah orang orang yang disekitarnya mendidih.

Dengan tampang polos bak bayi yang baru melihat dunia luar, ia hanya nyengir memperlihatkan cengiran tak berdosa.

Temannya bisa apa, jika sudah begini mereka harus terima akan di jemur layaknya ikan asin di lapangan yang luas dan terik di luar sana.

"Sepertinya banyak yang belum selesai mengerjakan tugas, karena hari ini Ibu ada urusan jadi Ibu kasih kalian kesempatan untuk mengerjakannya di sini, bel istirahat dikumpul."

Siswa siswi itu bernafas lega. Setelah guru tersebut berlalu keluar ruang kelas, murid itu—Aarav Abbad rasendrya langsung di hujami dengan banyak tatapan tajam dari seluruh penjuru kelas.

Siapa yang tak kenal Aarav, seorang siswa yang kerap sekali membuat orang naik darah. Bahkan sanggup meninggalkan saudara perempuannya sendiri di Taman kota.

Bukannya apa, masalahnya saudara perempuan Aarav belum hafal arah jalan pulang.

Lupakan, ini Aarav hyung-ers sepertinya.

Di lain tempat, kelas XII IPA 2 tepatnya, sepasang aksa elok kini sedang memperhatikan dengan seksama apa yang dijelaskan oleh seseorang yang sekarang sedang berada di depan kelas.

Siapa sangka bahwa itu semua hanya topeng agar tak di tegur sang guru, matanya memang menuju papan tulis namun tidak dengan pikirannya yang lari tak tau kemana.

Ia bergeming, kata 'seandainya' terus berputar di dalam pikirannya.

"Seandainya aku lebih bisa jaga Bunda,"

"Seandainya Bunda ga menyembunyikannya,"

"Seandainya Bunda— "

"ABINAYA!" Sentak guru yang merasa dirinya tak dihiraukan oleh Aetra.

"e-eh copot kaget, iya Bu."

"Coba kamu jelaskan apa yang saya terangkan tadi."

Tak ada gurat wajah panik sedikitpun di muka Aetra, bahkan dengan tenang ia menjawab apa yang guru tadi tanyakan padanya.

"Sistem imun bisa dibilang adalah pertahanan di dalam tubuh manusia, sistem imun ini memiliki peran dalam menghancurkan benda-benda atau sel abnormal yang merugikan tubuh kita,"

"Saya kasih contoh, di dalam peperangan tentu ada sebuah pertahanan untuk mencegah serangan musuh, hal itu juga berguna untuk mencegah tumbangnya kubu mereka,"

"Sama halnya tubuh manusia, imun sangat penting karena itu sebuah pertahanan dari segala virus dan penyakit, bayangkan jika manusia tidak ada imun atau pertahanan, mungkin saja penyakit mudah menyerang dan akhirnya berujung dengan kematian,"

"Itu kan bu?"

Guru tersebut berdehem, tak mau kalah, mencoba mencari celah agar Aetra bisa ia beri hukuman.

"Sudah siap tugas minggu lalu?"

"Sudah Bu,"

Tak puas, ia memberi satu pertanyaan lagi.

"Apa bagian utama dalam sistem kekebalan tubuh?"

"Sistem limfatik."

Sang guru mengangguk-anggukkan kepalanya lalu dengan tiba-tiba memberi pertanyaan.

"Hidung tuh berfungsi untuk apa Aetra?"

Hening, kelas itu mendadak hening dan entah kenapa bel sekolah seperti pengertian. Bel itu berbunyi di tengah keheningan kelas Aetra.

Dan entah kenapa lagi guru tersebut keluar dari dalam kelas dengan gurat wajah yang puas.

"Aetra ... Kamu laper ga? Yuk kantin."

Entahlah Aetra tak nafsu makan, selalu, apapun yang masuk ke dalam rongga mulutnya tak pernah ia merasakan nikmat suatu makanan.

Namun Akhtar —ayah Aetra cukup bersyukur karena Tuhan tak pernah mengecewakannya.

Putrinya mempunyai sahabat yang sangat mengerti keadaan Aetra.

Aetra hanya termenung seperti enggan melihat manusia lain diluar kelasnya, tapi itu semua pupus kala Amel memaksa Aetra agar tetap membeli sesuatu untuk di makan.

Karena Aetra tak tega dengan Amel yang terus berusaha, Aetra akhirnya mau dengan sedikit rasa malas.

"Kamu mau makan apa ra?" Tanya Amel kala mereka sudah memasuki Kantin.

"Terserah, ngikut kamu aja Mel."

Amel menganggukkan kepalanya dan berlalu menuju sebuah penjual roti. Aetra yang merasa lelah berdiri pergi mencari tempat duduk.

Ditengah Aetra mencari, ada seorang siswi dengan kelompoknya datang bertanya kepada Aetra, "Ra cium deh, wangi banget ga si makanannya."

Aetra menjawabnya dengan sebuah gelengan kaku.

"Tipes lo? Ini tuh makanan basi."

"AHAHAHAHA."

Seorang siswi dengan kelompoknya menertawakan Aetra tanpa tau di dalam lubuk hatinya sedang menyimpan luka yang membuat perasaannya sakit.

Gadis itu, Rissa namanya senang sekali meledek Aetra. Entahlah Aetra sendiri juga tak paham mengapa Rissa sangat membencinya.

Mereka yang memperhatikan hanya diam dan menonton, tak mau membela siapapun. Itu sudah menjadi tontonan jika salah satu murid menjadi bahan cemoohan.

Mereka hanya takut, jika ikut campur malah berimbas ke diri mereka sendiri. Lucu memang.

Ditengah Amel mengantri, ia melihat Rissa dan kelompoknya tengah mengolok-olok sahabatnya.

Amel naik pitam saat Rissa mengungkit kekurangan Aetra. Dengan darah yang panas bak baru saja mendidih, Amel mendatangi kerumunan itu.

PLAK!

Semua terdiam, Rissa masih syok dengan cap lima jari kemerah merahan yang berada di pipinya.

"APASIH LO! GUE GA ADA CARI GARA GARA SAMA LO MEL!"

"Iya lo emang ga cari gara gara sama gue, tapi Lo cari gara gara sama-sahabat-gue." Tekan Amel di akhir kalimat.

Tak puas, Rissa melipat kedua tangannya lalu menatap Aetra dengan sinis, "punya alat perasa tapi ga berguna pft."

Aetra yang di olok, Amel yang tak terima, "emang lo ga punya hati ya."

"Lo sibuk bela dia, lah yang lo bela juga diem aja tuh." Ucap Rissa

Aetra, gadis itu terdiam, tak tau harus bagaimana. Menangis? buat apa? marah? toh apa yang di ucap oleh Rissa adalah Fakta. Namun entah kenapa mulut Aetra dengan spontan berucap,

"Rissa, emang alat perasa aku ga berfungsi tapi aku yakin ini salah satu cara Allah buat ngelindungin aku dari jalan yang salah."

"Oh ya? masa sih, ga percaya."

Ingin rasanya Amel mencabik-cabik wajah sombong Rissa, tapi tak bisa sebab Aetra pasti akan melarangnya.

kini Amel tepat berdiri di hadapan Rissa dengan jarak 1 langkah. Hanya tinggal menarik rambut perempuan itu saja maka Amel akan merasa puas. Saat tangannya sudah terangkat, benar saja Aetra menahan tangan Amel.

"Udah, jangan di bales. Kalo kamu bales apa bedanya kamu sama dia? Manusia ga pantes sama sekali buat ngehukum manusia lainnya, karena yang lebih pantas itu Dzat yang udah nyiptain kita." ujar Aetra dengan senyum yang menenangkan.

Amel berusaha menenangkan dirinya lalu pergi menjauhi kerumunan, tak lupa memberi Rissa sebuah tatapan rendah. Aetra memandangi punggung sahabatnya dengan senyum miris.

apa Aetra salah?