Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Cerita Singkat Tentang Rasa

🇮🇩colorsprinkle
--
chs / week
--
NOT RATINGS
5.9k
Views
Synopsis
ini bukan hanya sekedar kisah dua insan yang saling terikat antara satu sama lain, tapi ini kisah banyak manusia yang memiliki rasa. Terutama rasa kecewa. Ingat, ini hanya sebuah cerita yang tiap bab nya langsung menemukan kata selesai.
VIEW MORE

Chapter 1 - Aku Suka Segala Hal Tentangmu.

Izinkan aku bercerita sedikit tentang pertemuanku dengan sosok laki-laki yang pernah aku temui 4 tahun lalu.

Kami bertemu di sebuah cafe kecil di ujung jalan, ah tidak. Maksudku, aku yang menemukannya disana. Aku datang sebagai pengunjung dan dia menyapaku, ya dia seorang barista.

Laki-laki tampan dengan senyum bulan sabit yang terpampang jelas di wajahnya. Aku ingat bagaimana cara dia mengajakku berkenalan.

Aku sedang asyik melihat kendaraan yang berlalu-lalang dari jendela cafe sambil menyeruput coffee latte kesukaanku. Laki-laki dengan apron barista itu datang menghampiriku, yang pada saat itu aku kira aku ingin diusir karena terlalu lama singgah.

"Permisi..." katanya begitu.

Aku melihatnya sekilas lalu membereskan barang-barangku. "Sebentar ya, saya beresin barang barang saya dulu."

Dia terkekeh. "Saya bukan mau ngusir, cafe juga masih buka sampai tiga jam kedepan."

"Sepuluh kali,"

Apa yang sepuluh kali?

"Sepuluh kali saya lihat kamu datang kesini, tapi kita belum saling kenal." ia mengulurkan tangannya.

Kali ini aku yang terkekeh, aku terima uluran tangannya. "Kayra."

Dan saat itu aku tau siapa dia, siapa laki-laki yang selalu menyapaku dengan senyum bulan sabit khasnya, dan siapa laki-laki yang selalu aku pergoki sering menatapku diam diam.

Dia, Jevian Bagaskara.

Jevian ini anaknya tidak terlalu banyak bicara dan pemalu kata teman-temannya. Pernah waktu itu aku bertanya pada Jevian,

"Katanya kamu pemalu, tapi kenapa kamu ga malu ngajak aku kenalan?"

dia malah tertawa. "Bukan pemalu, tapi malas bicara."

"Tapi sama aku, kamu banyak bicara."

"Itu karena aku suka!" ucapnya dengan lantang.

"Suka apa?" tanyaku.

"Suka kamu hehehehe" jawabnya sambil memamerkan gigi kecilnya.

aku berdecih, padahal tubuhku rasanya ingin terbang bersama awan-awan yang sedang menyaksikan gombalan halus dari Jevian.

Jevian ini selain suka gombal dia juga suka tiba-tiba. Iya, tiba-tiba memelukku, tiba-tiba bersandar di pundakku, bahkan suka tiba-tiba bertanya apa yang seharusnya tidak ia tanyakan.

"Aku suka hujan, aku suka eskrim, aku suka mie instan pake bangett, dan aku juga suka kamu. Kamu suka juga ga?"

atau, "Ayra, kalau waktu itu aku ga ngajak kamu kenalan, kita bisa kaya gini ga?"

Aneh. Seharusnya dia sudah tau jawabannya apa.

Dia juga seperti malaikat yang tidak tau apa itu marah. Kebanyakan orang pasti marah kalau dirinya diusik, tapi tidak untuk seorang Jevian Bagaskara.

Setiap aku marah karena banyak orang yang menyinggung tentang Jevian, ntah itu dari pekerjaannya, dari latar belakang keluarganya, ah dari manapun pokonya. Dia langsung memelukku, mengusap halus rambutku, lalu dia bilang,

"Kamu ga perlu marah, kan kita punya Tuhan."

Jevian...seharusnya kamu marah karena diri kamu yang terusik, seharusnya kamu marah karena kamu punya hak untuk marah.

Aku suka cara dia menatapku, aku suka cara dia memperlakukan ku, aku suka cara dia menghadapi orang-orang jahat disekitarnya, ah pokoknya aku suka semua hal tentang Jevian.

Ada satu kejadian yang tidak akan pernah aku lupa tentang aku dan Jevian. Dimana kami pergi menikmati jalanan malam di Bandung menggunakan motor kesayangannya.

"Ay, makan dulu disana yuk?" katanya, sambil menunjuk ke rumah makan.

Aku menyetujuinya. Akhirnya kami berhenti di sebuah rumah makan yang tidak terlalu ramai, tapi menu yang terpampang di spanduk cukup cocok dengan lidah kami hahahaha.

Saat makan, Jevian terus melihat kearahku. Bukannya risih, tapi aneh. Tatapannya aneh dan aku tidak suka itu.

Tatapannya berbeda dari satu minggu yang lalu saat aku dan Jevian memutuskan tidak bertemu untuk sementara. Bukan bertengkar, kami hanya sibuk dengan urusan masing-masing.

Aku menyingkirkan makanan ku, beralih menatap kembali Jevian dengan raut wajah tak suka. "Kenapa?"

"Enggak..." katanya.

"Bohong."

Jevian menatap wajahku, tangannya mulai menggenggam jemariku, tatapannya berubah jadi sendu. "Besok aku pergi, ketemu bunda di Singapura."

"Bunda?"

Dia mengangguk. "Bunda yang ga pernah aku lihat lagi setelah perceraian waktu itu."

Aku diam. Membiarkan Jevian menjelaskan apa yang ingin ia sampaikan. Satu kalimat yang pada malam itu tidak ingin aku dengar akhirnya tetap harus aku dengar.

Jevian menetap disana.

"Aku harus disana, bunda juga sakit, Ayra. Maaf ya?" ucapnya.

"Kamu ga perlu minta maaf, Jevian. Udah seharusnya kamu ketemu bunda, udah seharusnya juga kamu rawat bunda." aku tersenyum menatap Jevian.

"Tapi, kita gimana?" tanyanya begitu.

apanya yang bagaimana, Jevian? bahkan kita dari awal tidak pernah memulai.

Aku menggenggam erat jemari Jevian, menyakinkannya bahwa aku dan dia akan tetap seperti ini. Tidak ada yang memulai, tapi tidak akan ada yang pernah pergi.

Berakhir dengan kami yang keluar dari rumah makan dan melanjutkan perjalanan dengan rasa...ntahlah, semuanya campur aduk.

Keesokan harinya aku ikut mengantarkan Jevian ke bandara bersama teman-temannya. Dengan senyum yang sedikit tidak ikhlas aku pamerkan padanya, dia malah mendekat lalu mendekap erat tubuhku. Jevian membisikan kalimat-kalimat yang aku rasa itu hanya sebuah kalimat penenang sebelum kata pergi.

"Aku bakalan kangen sama kamu, tapi kamu jangan khawatir aku pasti bakal kabarin kamu kalau aku sampai"

"Jangan pergi ya?"

Aku mendongak menatap netra Jevian. "Seharusnya aku yang bilang begitu."

"Jaga diri baik-baik, tunggu aku pulang bawa bunda ke rumah mu."

Aku paling tidak suka dengan kata pasti. Itu bohong. Jevian berbohong.

Jevian tidak pernah memberi kabar.

Jevian tidak pernah membawa bundanya.

Karena ada satu kenyataan yang seharusnya sudah aku terima, bahwa Jevian juga tidak pernah sampai ke Singapura.

Tapi Jevian tidak berbohong perihal ia pergi. Jevian benar-benar pergi.

Bukan pergi ke Singapura, tapi pergi ke tempat yang jauh lebih indah dari pada Indonesia ataupun Singapura.

Ia tidak pernah bertemu dengan sosok yang ia cintai sejak lahir, tapi ia bertemu dengan sosok yang mencintainya dari sebelum ia dibuat untuk diturunkan ke Bumi.

Jevian bertemu dengan Pencipta-Nya.

Aku sudah ikhlas semenjak kabar kepergianmu. Aku paham ketika seseorang sudah izin untuk pergi ke suatu tempat, aku sudah harus siap kalau misalnya ia tidak akan pernah sampai ke tujuannya.

Bahagia disana Jevian, mungkin Tuhan lebih merindukanmu dibandingkan aku atau bundamu. Terima kasih juga atas perjalanan yang sudah kita lewati untuk dijadikan sebagai kenangan yang tidak akan pernah dilupakan.

Terima kasih juga atas surat yang sengaja kamu selipkan di tas ku sebelum kamu pergi meninggalkan dunia.

Jevian Bagaskara, aku tetap menyukai segala hal tentangmu sampai hari ini.

Surat dari Jevian untuk Ayra.

ayra, hai!

coba kapan lagi aku nulis surat iya kan? kamu harus baca baik baik ya.

aku mau bismillah dulu. bismillah.

kayra aku mau minta maaf dulu soal kemarin. maaf kalau jalan jalan hari lalu gapunya kesan indah buat kita.

ay, kalau nanti aku pergi

kamu ga perlu takut, kamu ga perlu khawatir karena aku bakalan terus sama kamu.

aku tau kamu ga pernah suka sama yang namanya kata 'pasti' sebab dunia juga belum tentu menjanjikan, iya kan?

aku usahakan aku akan pulang.

walaupun sebetulnya aku ragu aku bakal sampai tujuan atau engga.

satu hal yang kamu harus tau,

dari pertama kali kamu dateng ke cafe, aku udah jatuh hati sama kamu.

dadah ayra, semoga takdir bahagia berpihak pada kita nanti.

- Jevian bagaskara.