Keriuhan terdengar diseluruh medan perang. Hutan besar menjadi latar pijakkan untuk peperangan antara dua pasukan besar. Mereka menghunus pedang dan menyerang sesama tanpa ada rasa kasihan di hati dan mata mereka.
Beberapa tumbang, gugur dan mati. Beberapa dapat bangkit meski hanya untuk diberi rasa sakit yang lebih. Darah-darah mengalir, air mata dan keringat membasahi mereka yang sedang dirasuki dendam karena rasa kehilangan jasmani semata.
Hewan-hewan berlari menjauh tempat itu, tempat yang telah dinodai oleh para manusia yang bengis itu. lalu, Tak lama dari jauh terdengar suara laju kaki kuda yang ditunggangi oleh seorang prajurit, menghampiri seorang pria besar yang berlumur darah para musuhnya.
Dengan suara gemetar prajurit itu pun berbicara,
"Salam sadara, Jendral Jatarupa! Tampaknya musuh berhasil membantai pasukan utama kita! Situasi sekarang sangat berbahaya bagi and-?!" ucapannya terhenti melihat tangan sang jendral di bahunya.
Mata Jendral menatap fokus ke depan. Terlihat tiga laksa pasukan besar mendekatinya. Ketakutan mulai terlukis di wajah prajurit itu, tapi sang jendral tetap gigih berdiri tanpa rasa takut sedikit pun.
"Prajurit! pergilah dan antarkan berita bahwa aku, Jendral Jatarupa telah mati!" ucap jendral dengan suara lantang sambil mengangkat tombaknya dan memacu kudanya kearah musuh.
Tanpa basa-basi, sang prajurit langsung pergi dengan cepat. Tapi, tampak dari barisan musuh sekelompok prajurit berkuda yang diperintah untuk mengejarnya.
"Pangeran Himawan! Patih Hala! kalian semua akan mati disini!. Penghinaan dan pengkhianatan kalian akan tertulis dalam sejarah, semua peristiwa itu akan dikenang sebagai kekejian dan dosa yang paling jahat yang pernah terjadi di bumi nusantara!" teriak jendral itu sambil berdiri menghalangi barisan prajurit dan beberapa kereta perang.
"Dasar bodoh! Wahai Jendral Jatarupa! sejarah ditulis oleh para pemenang dan kemenangan itu sudah di tentukan oleh kekalahanmu sendiri! KU HA HA HA!!"
Tawa orang itu dengan puasnya.
"Patih! cepat bunuh dia! tak perlu membuang waktumu untuk orang bodoh ini," perintah seseorang dari dalam kereta kuda.
"Baik!" jawab Patih Hala sembari menghunus pedangnya.
Jendral Jatarupa terlihat merapalkan sebuah mantra dan mulai bersiap menghadapi orang itu.
"Hidup Raja Abinawa!" pekiknya sambil mengluarkan jurus ampuhnya.
seluruh darah yang membasahi tubuhnya berkumpul di satu titik, bersamaan dengan darahnya sendiri yang perlahan keluar dari tubuhnya itu. Kumpulan darah itu membentuk sebuah bola merah yang mengeluarkan cahaya yang menyala.
"Boom!" sebuah ledakan besar pun terjadi di tempat itu.
Disisi lain sang prajurit terus melaju dengan kudanya. Pasukan yang mengejarnya nampak tertinggal cukup jauh dari dirinya, tapi terasa sedikit keanehan yang dirasakannya.
"Tsk!..Tsk!" suara aneh muncul dari semak-semak tebal di dekatnya.
Benar saja, muncul segerombolan serigala beringas dari dalam hutan yang sedari tadi sudah mengintai dirinya.
"Hiikkkk!" kudanya pun berteriak ketakutan.
Intimidasi dari para gerombolan serigala itu membuat kudanya menjadi tak terkendali dan menjatuhkan sang prajurit ditengah kepungan serigala.
"S-SIAL!" serunya sambil menghunus pedang.
Prajurit itu melihat kearah kanan dan kirinya tapi tak ditemukannya celah untuk berlari. Para serigala pun terlihat tak sabar dan langsung melompat menerkam mangsanya, tapi prajurit itu menebas leher serigala itu.
Serigala lainnya mengambil kesempatan dan menggigit kaki prajurit itu. Tapi tak butuh waktu lama untuk prajurit itu menusukkan pedangnya tepat di kepala srigala. Dua dari 12 serigala telah mati, tapi kini tenaga sang prajurit juga tak banyak lagi.
Luka dari gigitan dan cakaran dari dua serigala sebelumnya cukup parah, hingga membuat dia sulit untuk bergerak. Tak ada cara lain bagi dirinya selain mengambil langkah seribu, meski dia harus kehilangan banyak darah saat ini.
"Cih, jika begini aku bisa mati!" pikirnya sembari menghindari pepohonan yang menghalangi.
"Woof!" serigala-serigala itu menggongong dengan kerasnya.
Entah bagaimana dia pun terjatuh dan terjelembab ke dalam semak-semak. Kepalanya menghantam batu dengan cukup keras hingga mengalami pendarahan hebat.
Matanya menjadi tak fokus. Didetik-detik akhir ia melihat sebuah bayangan hitam yang tiba-tiba menelannya, sepertinya itulah akhir dari nasibnya.