Dikhianati, dikecewakan!
Salma tak akan memberikan toleransi terhadap dua hal itu. Meskipun rasa kecewanya melebih gunung, tapi ia bisa bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Salma gitu loh!
Saat ini, ia sedang berada di sebuah restoran ternama. Yudis mengajaknya makan siang bersama. Berlatarkan atap terbuka dan hidangan steak yang di panggang dengan saus wijen.
"Apa kamu senang, Sal? Aku lebih mementingkanmu daripada setumpuk pekerjaanku di kantor," seloroh Yudis dengan bangganya.
Salma pura-pura memberikan senyum terbaiknya. Baginya, memasang topeng palsu adalah satu-satunya alat untuk menutupi kekesalannya.
"Oh, ya Sal.. ada yang ingin kubicarakan denganmu. Ini seperti mendapat durian runtuh di siang bolong!" seru Yudis meletakkan sendok dan garpu di tangannya.
Salma meneliti raut muka Yudis. Ia hafal betul karakter pria itu saat bahagia ataupun membual belaka. "Kali ini apa? Kamu menang super deal dua milyar?" tebaknya asal.
Yudis mengacak-acak rambut kekasihnya, wanita itu selalu saja bercanda. "Bukan, bukan itu. Aku mendapat tawaran dari bosku untuk jadi narasumber di acara Talk Show. Dan kamu tahu? Sepertinya bos mendukung penuh untuk menjadikanku model."
Glek.
Wanita itu menelan ludah, apa tadi? Menjadi model? Tiba-tiba seperti ini? Aneh sekali! "Woah, selamat ya Beb! Akhirnya kamu bisa tampil di TV seperti impianmu. Sebentar lagi aku punya pacar yang terkenal dong!"
Rasanya ingin muntah! Salma berusaha tak mengeluarkan seluruh daging yang sudah ditelannya. Membayangkan pria itu tampil di layar kaca? What!
"Doakan saja mimpi calon suamimu ini terwujud, Sal," balas Yudis. Ia menggenggam tangan Selena, seakan meminta semangat dan kata-kata mutiara. "Kamu sudah selesai makannya? Kita pulang yuk!"
Menurut, wanita itu mengusap bibirnya dengan tisu. Ia bahkan belum sempat ke toilet untuk cuci tangan. Sudah tak sabar pulang karena muak berlama-lama dengan pengkhianat. Apa tadi Yudis bilang? Calon suami? Mimpi! Kejauhan ngarepnya! Mundur alon-alon yuk!
***
Saat ini, Vanya tengah berada di depan meja kerjanya. Fokus pada komputer sambil berharap Hans akan memanggilnya.
Jarak meja kerja dan ruangannya hanya 5 meter, wanita itu sering curi pandang ke dalam bilik kantor Hans. Sudah lama pria itu tidak mengundangnya untuk makan malam ataupun menghabiskan malam seperti dulu.
"Nona Vanya, apa ada jadwal rapat hari ini?" suara berat Hans membuyarkan lamunannya. Ia sungguh merindukan suara pria itu.
Vanya meraih kertas putih yang sudah dipenuhi catatan. "Hari ini ada rapat dengan majalah Hercules, Pak,"
Hans mengangguk, Hercules merupakan perusahaan cabang Energy Entertaintmen. Ia ingat kalau bawahannya mengirimkan email untuk membicarakan hal penting.
"Sebenarnya saya juga diundang untuk rapat, Pak," tutur Vanya malu-malu. Di kantor mereka memang bersikap normal. Seperti tak mencermikan pasangan yang sudah berhubungan lebih dari satu tahun.
Pria itu akhirnya tersenyum, bagaimana pun juga Vanya adalah kekasihnya. Tak kuat lama-lama harus memasang muka cuek-bebek pada wanita itu. "Ah, aku baru ingat kalau kamu mendaftarkan diri sebagai model di sana bukan?"
Vanya malu-malu untuk mengakui. Sudah lama ia ingin mengambil jalan pintas. Wajah cantiknya selalu dipuji banyak orang, apalagi badan rampingnya sering dipertanyakan. Mungkin, dengan menjadi model Vanya bisa mengangkat derajatnya dan nenek di Klaten.
Hans mengajak pacarnya untuk berangkat bersama untuk menemui rapat. Bahkan dari kabar yang didengar, salah satu bawahannya pun juga melakukan Talk Show di sana.
Mendengar nama pacar gelapnya disebut, Vanya sedikit kikuk. Ia mencoba untuk menetralkan detak jantungnya yang mendadak kejar-kejaran.
"Kamu kenal Yudistira?"
"Tahu, Hans. Kan aku juga sering bertemu dengannya kalau dia ke ruanganmu meminta tanda tangan."
Pria itu mengangguk faham. Hans Rakabumi Alamsyah, salah satu CEO sukses yang mengangkat tema kepenulisan dan jurnalistik. Banyak produser film yang melirik pria itu sebagai panutan.
Bahkan tak jarang, salah satu novel yang diterbitkan selalu masuk best seller dan di angkat ke layar lebar. Ia sudah memiliki beberapa cabang di Jakarta.
Sebenarnya, banyak sekali aktris wanita yang mendekati dan mengajaknya berkenalan. Tapi Hans lebih memilih sektetarisnya, hubungannya sudah sampai tahap jauh.
Masalahnya adalah, maminya tak begitu menyukai Vanya. Wanita itu dinilai hanya sebagai penggoda pria kaya. Melirik cinta demi harta dan tahta.
"Sudah sampai, turunlah," ucap Hans begitu mobilnya berhenti di depan perusahaan majalah yang akhir-akhir ini nangkring di layar iklan di jalanan.
Mereka berjalan beriringan, menyapa beberapa orang yang faham Hans siapa.
Dari kejauhan, nampak wanita yang tengah menatap mereka dengan tatapan benci. Salma Almira, dengan sikap bar-barnya sengaja mendekati dua makhluk yang sepertinya lebih dari kata atasan dan bawahan. Mereka pasti memiliki hubungan yang disembunyikan, pikir Salma.
Sayangnya, Salma terlambat. Si demit dan pria berdasi itu sudah lebih cepat memasuki lift, jadi Salma hanya berlalu pergi. Mungkin hari ini bukan keberuntungannya.
Sesampainya di ruangan rapat, Vanya langsung terkejut melihat adanya Yudis yang duduk berjejeran dengan pimpinan Hercules.
Hans berjalan ke tengah-tengah, menyapa seluruh bawahannya. Ia segera menampilkan apa yang sudah pegawainya siapkan jauh-jauh hari.
Pelan tapi pasti, tuan Mahendra sepertinya langsung terpengaruh dengan penjelasan Hans. Inilah yang sangat ia kagumi dari pria tampan dan sempurna itu. Cekatan, cerdas dan berwibawa.
Tak perlu diragukan lagi, tuan Mahendra langsung setuju. Mereka akan mengambil salah satu buku terbaik dari agensi Energy dan mengangkatnya jadi film series di Netflix.
"Sepertinya sekretaris anda adalah salah satu trainee di Hercules Entertaintmen, kan? Kenapa dia tak mendaftar di perusahaan anda sendiri? Kenapa malah memilih kantor cabang?" pertanyaan tuan Mahendra menyita perhatian Hans. Ia juga tak tahu kenapa Vanya malah terjun ke perusahaan yang lebih kecil.
"Saya ingin belajar dari bawah, Pak. Tentunya saya masih banyak kekurangan, jadi sepertinya Hercules akan membekali saya banyak ilmu dan pengalaman." sahutnya yakin.
Sebenarnya, alasannya bukan itu. Selain untuk menuangkan mimpi, Vanya juga ingin mengekori kemanapun Yudis pergi. Ia tak rela pria gelapnya hengkang begitu saja dari Energy Entertaintmen.
"Wah, pemikiran yang luar biasa! Senang berkenalan dengan anda, Nona Vanya Tarigan." Tuan Mahendra mengulurkan tangan ke arah Vanya, pertanda pria paruh baya itu menyukai semangat dari sekretaris atasannya.
Rapat diakhiri lebih awal. Hans langsung mengajak kekasihnya pulang. Saat turun dari lift, mereka bertiga dengan Yudis. Pria itu bahkan berani menyentuh punggung Vanya, karena Hans berdiri agak depan. Sekali pengkhianat tetap pengkhianat.
"Bukankah kamu ada jadwal Talk Show setelah ini, Yud?" tanya Hans seraya menoleh. Ia tak sadar kalau Vanya baru saja disentuh sembarangan oleh pria lain.
Yudis gelagapan, rasanya ia hampir terkena serangan jantung. Tapi apa di kata, hubungannya dengan Vanya terbilang lama. Tanpa sepengetahuan Hans maupun Salma.
"Iya, Pak. Doakan saya gak ngompol di sana." sahutnya jenaka.
Hans hanya tersenyum sebagai balasan.