Chapter 6 - ENAM

Arsen yang mendengar itu juga langsung berenang mencari Elise, pemuda itu melihat tubuh Elise yang mengambang di dasar kolam, kedua matanya terpejam. Arsen semakin mempercepat gerakan renangnya, menarik tubuh Elise naik ke atas.

Melihat Arsen yang menarik tubuh Elise yang terkulai rasanya napas Alea berhenti berhembus saat itu juga, gadis itu keluar dari kolam dan membantu Arsen membaringkan tubuh Elise di samping kolam. Mata Elise terpejam, bibirnya membiru, wajahnya pucat.

Alea yang bersimpuh di samping Elise menjerit di antara tangisannya karena ketakutan sambil bergumam.

"Tidak! Elise! Ayo Bangun, buka matamu.. Tolong jangan lagi.. Elise!!" Teriak Alea histeris sambil menepuk wajah pucat itu "Arsen kenapa Elise tidak mau membuka matanya!".

Arsen memeriksa kesadaran Elise, mencoba menepuk pipi dan menggoyangkan tubuhnya secara perlahan, tapi tidak ada respon. Arsen memeriksa pernapasan Elise dengan mendekatkan telinganya ke mulut dan hidung gadis itu untuk mendengar napas dan merasakan hembusan napasnya tapi juga tidak ada. Dengan gemetar tangan Arsen memeriksa denyut nadi Elise yang berdetak tapi sangat lemah.

Akhirnya Arsen memperbaiki posisi baring tubuh Elise, Arsen berlutut di samping bahu dan leher Elise, lalu meletakkan satu telapak tangannya di bagian tengah dada Elise, memposisikan telapak tangannya yang lain di atas tangan pertama, Arsen meluruskan sikunya dan bahunya tepat berada di atas tangannya. Arsen menekan dada Elise dengan kecepatan 1-2 tekanan perdetik.

Arsen berusaha menggunakan kekuatan tubuh bagian atasnya untuk menghasilkan tekanan yang lebih kuat.

Arsen juga mendongak-kan kepala Elise dan meletakkan tangannya di dahi, selanjutnya mengangkat dagu Elise secara perlahan untuk membuka saluran napas. Arsen masih berusaha menekan dada Elise tapi masih belum berhasil.

Akhirnya pemuda itu menjepit hidung Elise dan menempatkan mulutnya ke mulut Elise, lalu memberikan udara dari mulutnya sebanyak dua kali, sambil melihat apakah bagian dadanya terangkat seperti orang bernapas. Hal yang sama Arsen lakukan sebanyak tiga kali.

Dua menit berlalu Elise terbatuk dengan mengeluarkan air dari dalam mulutnya, Alea yang sudah menangis akhirnya bernapas lega.

Elise yang masih lemah membuka matanya perlahan sambil terbatuk-batuk. Arsen membantunya untuk duduk sambil menepuk punggungnya pelan-pelan. Alea langsung memeluk Elise dengan erat dan kembali menangis sambil terisak-isak.

Arsen yang masih berlutut tertunduk dengan napas tersengal-sengal, dia juga ketakutan saat tidak merasakan napas Elise apalagi melihat wajah pucat dan bibir yang hampir membiru. Rasanya seluruh tenaganya terkuras.

Tapi saat melihat Alea yang menjerit ketakutan, kekuatan untuk menyelamatkan Elise kembali bangkit padahal dia juga belum pernah melakukan penyelamatan seperti sebelumnya. Itu adalah pertama kalinya dia melakukannya di kehidupan nyata selama ini dia hanya membacanya di buku medis.

"Terimakasih tuhan!" lirih Arsen,

Arsen menatap Elise yang masih terlihat lemah ia berkata pada Alea "Miss Alea, apakah sudah menelpon mobil untuk menjemput!"

Alea terkejut karena sejak tadi dia hanya menangis karena ketakutan, tiba-tiba ada suara dari belakang kerumunan menjawab "Aku sudah menelpon taksi! Kalian bisa membawanya ke rumah sakit sekarang!"

Arsen dan Alea menatap ke asal suara, seorang pemuda tampan sepertinya baru saja sampai, dan ingin berenang juga. Alea tersenyum ramah sambil mengucapkan terimakasih sedangkan Arsen hanya diam dengan wajah datarnya.

Arsen meletakkan tangan kirinya di belakang punggung Elise dan tangan kanannya di bawah lipatan kaki. Arsen berbisik pada Elise "Pegangang yang erat.." kemudian tubuh Elise terangkat dengan mudah.

Kerumunan itu akhirnya membubarkan diri, kelompok yang tadi datang bersama Arsen dan Alea ikut pulang, mereka sudah kehilangan minat untuk berenang. Sedangkan pemuda yang tadi membantu menelpon taksi hanya berdiri menatap kepergian Arsen yang mengendong Elise seperti seorang pengantin.

Pemuda itu bergumam "Menarik!"

***

Di rumah sakit.

Di ruang IGD Elise menerima perawatan, sedangkan Arsen dan Alea menunggu di luar. Tori yang sejak tadi diam tidak bicara sedikitpun. Cowok itu merasa ketakutan dan menyesal dia tidak tahu kalau Elise tidak bisa berenang, jika tahu dia tidak akan melakukan hal konyol seperti itu.

Lorong IGD tidak terlalu sepi juga tidak terlalu ramai. Alea langsung berdiri dan berjalan kearah Tori, menarik kerah baju cowok itu hingga membuatnya berjinjit dengan kepala mendongak.

"Kau! Apa kau tahu, kekacauan yang kau lakukan! Jika Elise tidak sadarkan diri dan meninggal aku akan membuatmu pergi menemaninya ke alam baka!" ancam Alea sengit dengan tatapan tajam.

Tori yang baru pertama kali melihat sisi gelap Alea seketika mengkeret takut. Tori melirik kearah Arsen tapi temannya itu hanya duduk seperti patung sambil menatap ke ruang IGD.

"Maafkan aku!" lirih Tori.

Alea melepaskan cengkraman tangannya pada kerah baju Tori "Kali ini ku maafkan jika ada yang kedua kalinya! Kau.. mati!"

Tori menelan ludah gugup campur takut.

Akhirnya lorong IGD tenang dan Alea juga sudah kembali duduk pada kursi di samping Arsen.

"Jantungku hampir saja ikut berhenti berdetak melihatnya, ini salahku yang meninggalkannya sendirian tanpa pengawasan padahal aku tahu dia tidak bisa berenang.." gumam Alea pelan.

"Itu bukan salahmu!" balas Arsen singkat. Pemuda itu masih belum tenang sebelum melihat Elise keluar dari ruang IGD.

Satu jam kemudian akhirnya Elise di dorong bersama tempat tidurnya menuju ruang perawatan. Arsen mengikuti dan membantu mendorong tempat tidur Elise. Sedangkan Alea dan Tori tinggal untuk bicara dengan dokter.

Pertanyaan dokter sudah bisa Alea tebak jadi dia hanya menjawab seperlunya saja. Saat dokter bertanya. Dan Tori yang tidak mengerti apa pun mendengarkan dengan baik.

Setelah mengucapkan terimakasih pada Dokter Alea menyusul ke kamar rawat Elise sambil berbincang dengan Tori, meskipun awalnya ia sangat marah pada Tori, tapi pemuda itu tidak pernah meninggalkan tanggung jawabnya. Dia bahkan rela membayar biaya pengobatan Elise tapi Alea menolaknya dengan tegas.

"Kenapa tidak boleh! Anggap saja itu sebagai permintaan maafku karena telah membuatnya sampai seperti ini.." kata Tori bertanya.

Alea tersenyum "Elise, tidak suka merepotkan orang lain! Sudah lah sebaiknya uang itu kau gunakan untuk keperluanmu sendiri atau kau bisa menyumbangkannya untuk amal."

Tori akhirnya menyerah "Baiklah! Sebaiknya aku sumbangkan saja! Mungkin itu lebih berguna untuk orang yang lebih membutuhkannya.."

***

Di kamar Arsen mengenggam tangan pucat dan dingin Elise, pandangan matanya tidak pernah lepas dari wajah Elise, sampai bunyi pintu di buka mengalihkan perhatian Arsen. Pemuda itu melihat Alea dan Tori, setelah mengancam Tori sepertinya Alea sudah kembali seperti sebelumnya tenang dan humoris. Tidak seperti sebelumnya yang menyeramkan seakan malaikat mautpun mendukungnya dari belakang.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Alea.

"Masih tidur..tapi sudah jauh lebih baik."

Alea mengangguk, "Sebaiknya kalian pulang dulu, biar aku yang menjaganya.."

"Tapi.." tolak Arsen.

"Lihat pakaian kalian basah! Sebaiknya ganti dengan yang kering dan nyaman, terus kalau mau ke sini lagi jangan lupa beli makanan! Aku sangat lapar!"

Arsen tersenyum dan mengangguk "Baiklah.."

"Jadi kita pulang sekarang! Nanti kita ke sini lagi 'kan?" tanya Tori.

Arsen mengangguk. Setelah mereka pamit pergi Alea duduk di kursi yang di tempati Arsen sebelumnya.

"Mereka sudah pergi.."