Cahaya matahari memasuki celah jendela kamar di mana sepasang suami istri itu masih tertidur pulas. Dalam keadaan tak sadar, keduanya kini saling berpelukan dengan si wanita tertidur nyaman di atas tubuh kekar sang pria.
Cahaya matahari yang mengganggu mau tidak mau membuat Nora terbangun. Dalam tidurnya Nora melenguh, merasa terganggu dengan beban yang bertumpu pada pinggang rampingnya sebelum akhirnya gadis yang kini telah berstatus wanita itu membuka mata.
Wajah Aldrich yang terpejam damai menjadi pemandangan pertama untuk Nora. Mata Nora mengerjab lambat, mengumpulkan kesadaran dan berusaha mengingat kejadian kemarin malam hingga kini ia bisa berakhir tertidur di atas ranjang bersama Aldrich, kejadian yang sangat langkah bahkan bisa di bilang tidak akan pernah terjadi.
Dengkuran halus yang keluar dari bilah bibir Aldrich di tambah dengan aroma pekat alkohol yang memasuki indra penciuman Nora membuat kesadaran wanita seketika kembali.
Nora tersentak, berguling turun dari atas tubuh Aldrich ketika sekelebat kejadian semalam memenuhi memori Nora, namun usaha wanita itu gagal ketika kedua lengan Aldrich yang bertumpu pada pinggangnya berubah memeluk dan semakin mengerat, beban yang membuatnya terbangun.
Nora dengan susah payah berusaha melepas kedua lengan Aldrich. Ketika berhasil wanita pun bergerak menjauh, membetulkan kembali selimut yang sempat melorot hingga mempertontontonkan sebelah payudaranya.
Gerakan cepat Nora membuat Aldrich terbangun dari tidur. Mata yang tadinya terpejam itu kini menatap sayu ke arah Nora.
Aldrich mengubah pandang, menatap datar Nora yang masih terdiam kaku. Aldrich juga melakukan hal yang sama, tanpa berbicara sepatah katapun pria itu segeran turun dari atas ranjang. Menyibak selimut yang membungkus tubuhnya dan membiarkan tubuhnya telanjang.
Aldrich melenggang pergi dan berjalan memasuki kamar mandi.
Nora menghela napas lega, memegang dadanya yang sedari tadi berdebar cukup kencang, pun wanita itu ikut turun dari atas ranjang.
Nora semakin mengeratkan selimut yang membungkus tubuhnya, takut-takut jika sampai melorot.
"Arghh!" Nora meringis ketika rasa sakit menyerang bagian dalam inti tubuhnya, bahkan tanpa sadar wanita itu berjongkok kecil. Berusaha menetralisir rasa sakitnya yang baru kemarin malam kehilangan keperwanan.
Mata wanita itu seketika membelalak ketika matanya tak sengaja menatap seprei kamar yang terdapat sebercak noda darah. Nora menggigit bibir bawah dengan mata yang terus tertuju pada noda itu. Berusaha berpikir keras bagaimana cara menyembunyikan noda itu dari Aldrich, akan sangat memalukan jika Aldrich melihatnya.
Suara ketukan pintu dari luar mengalihkan atensi Nora, dengan bermodalkan selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya Nora berjalan mendekati pintu kamar. Membuka sedikit pintunya dan menyembulkan kepalanya di celah.
Terlihat seorang pelayan berdiri kaku di depan pintu dengan kepala yang menunduk hormat.
"Ada apa, Lusia?" suara lembut yang mengalun indah di pendengaran membuat kepala yang tadinya menunduk itu kini mendongak.
Lusia yang tadinya merasa gugup dan takut akan berhadapan dengan Aldrich kini menghela napas lega ketika melihat Nora yang kini berada di hadapannya.
Kepribadian Nora dan Aldrich berbanding terbalik. Nora yang berkepribadian lemah lembut sedangkan Aldrich justru sebaliknya, kerap bersikap dingin, tempramen dan sangat suka memerintah. Apalagi tatapan tajam pria membuat nyali Lusia ciut.
"Lusia?" panggilan dari Nora membuat lamunan wanita itu jadi buyar.
"Emh ... maaf. Nyonya Rosallia baru saja menelponku dan meminta kalian untung datang ke mansion sekarang."
"Maaf Nyonya, aku telah memberitahu jika Tuan Aldrich telah kembali." Lusia semakin menunduk dalam seakan benar-benar merasa bersalah.
"Tidak apa." Nora terseyum hangat sedangkan Lusia bernapas lega, jika berhadapan dengan Nora maka akhirnya akan baik-baik saja seperti sekarang.
Dia beruntung karena hari ini dia berhadapan dengan Nora yang lemah lembut.
Merasa tidak ada yang di perbincangkan lagi. Lusia bergerak mundur.
"Kalau begitu saya permisi dulu Nyonya-"
"Tunggu," pinta Nora memotong perkataan Lusia.
"Ya? Ada apa?" tanyanya dengan nada sopan.
"Sebentar. Tunggu di sini dulu." Nora mendekati ranjang kembali. Dengan cepat Nora melepas sprei kotor itu agar Aldrich tak melihatnya. Menggulungnya asal dan memeluknya.
"Ehem." Deheman singkat seseorang menyita perhatian, wangi sabun yang menguar dari tubuh seorang pria sukses membuat Nora menegang.
Nora menggunakan sebelah tangan untuk mengeratkan selimut yang di gunakan agar tak melorot sedangkan tangan yang satu is pergunakan untuk memeluk sprei ranjang yang sudah berhasil ia ambil.
"Apa yang kau lakukan?" suara bass itu membuat Nora perlahan berbalik menatap Aldrich.
Melupakan sejenak rasa malunya, Nora meneguk saliva kasar melihat pria yang ada di hadapannya.
Aldrich berdiri dengan tubuh bagian bawah yang hanya di tutupi dengan handuk sedangkan tubuh bagian atasnya di biarkan polos, memperlihatkan tubuh atletisnya. Tetesan air yang jatuh dari rambutnya yang basah menambah kesan manly.
Err ... pria itu benar-benar sexy.
Alis Aldrich menukik tajam, matanya melirik sprei putih yang ada di genggaman Nora.
"A-aku ...." Nora berkata dengan terbata, menggigit bibir bawah malu dengan pipi bersemu.
Aldrich mengamati sekilas wajah Nora sebelum kembali menatap sprei yang ada di genggaman wanita itu, cukup sebentar pikirannya bekerja berusaha memahami apa yang di lakukan Nora sebelum senyum sarkas yang terkesan mencemooh terukir di wajah tampannya.
"Apa yang kau lakukan, hem?" bisik Aldrich lagi. Pria itu melangkah perlahan mendekati Nora.
Nora yang menyadari itu ikut bergerak mundur. Matanya mengadah, masih terus menjaga jarak dari Aldrich yang semakin mendekat.
"Awh ... Shh ...." Ringisan kecil kembali keluar dari bilah bibir Nora ketika rasa sakit kembali menyerang miliknya di bawah sana di saat ia berjalan.
Melupakan rasa sakit itu Nora masih berusaha bergerak mundur menjauhi Aldrich hingga kini langkahnya terpaksa berhenti ketika--
Shit! Nora mengumpat dalam hati dengan kepala yang mengadah ke belakang. Kenapa lemari bisa ada di belakang?!
Posisi yang benar-benar merugikan.
"Aldrich ...." Nora berseru lirih, memejamkan mata ketika Aldrich malah merapatkan tubuhnya hingga dada keduanya saling menempel.
Nora memejamkan mata, tak berani menatap Aldrich yang berjarak sangat dekat dengannya. Pria itu mengunci pergerakan Nora dengan meletakkan kedua tangan tepat di samping kepala Nora.
Hembusan napas yang kini beraroma mint itu memasuki indra penciuman Nora. Tapi tetap saja hal itu sama sekali tak membuat Nora memejamkan mata.
Lusia yang menyaksikan dari celah pintu dengan cepat membalikkan tubuh dan sedikit bergerak menjauhi kamar, tak ingin mengganggu privasi sepasang suami-istri itu.
Nora yang tidak merasakan apa-apa selain hembusan napas Aldrich dengan perlahan membuka mata.
Seketika pipinya berkedut menahan senyum saat Aldrich ternyata berfokus pandang ke arah lain. Pria itu tengah mengamati isi lemari tepatnya di belakang Nora. Mengubrak-abrik semua isinya untuk mendapatkan pakaian yang di inginkan.
Merasa memiliki celah Nora bergeser ke samping. Melupakan suatu fakta jika seharusnya apa yang di lakukan Aldrich adalah pekerjaannya, itu adalah kewajibannya sebagai istri.
Nora hendak membuka mulut ingin mengambil pekerjaan Aldrich tapi bibirnya kembali terkatup rapat saat Aldrich malah sudah mendapatkan apa yang ia inginkan.
"Pergilah," singkat Aldrich membalikkan badan. Tanpa malu pria itu menggagalkan handuk yang melilit di pinggangnya.
Mata Nora melebar, dengan cepat wanita itu berlari keluar kamar bahkan melupakan rasa sakit yang menyerang miliknya di bawah sana.
"Lusia." Nora menanggil dan segera menutup pintu kamar Aldrich untuk menjaga pandangan Lusia yang kini berbalik.
"Ya, Nyonya?" balasnya sopan dengan senyum yang masih menghiasi bibir.
Nora mengulurkan tangan kanannya yang memegang sprei.
"Letakkan di tempat pakaian kotor." Lusia meraih sprei tersebut dan mengangguk.
"Dan kembali pasangkan sprei baru di kamar Aldrich."
"Baik Nyonya." Lusia mengangguk lagi sedangkan Nora menatap wanita yang seumuran dengannya dengan tatapan tak suka.
"Jangan memanggilku seperti itu. Aku tidak terlalu tua," kilahnya jujur.
"Panggil saja Nora, oke?"
"Tapi Nyo--" Lusia dengan terpaksa menghentikan perkataannya saat Nora malah berlalu pergi dari sana tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Kekehan geli keluar dari bibir Lusia saat mengamati langkah Nora yang berjalan dengan tertatih-tatih dan sedikit mengakang.
Hem, sepertinya ia tau apa yang terjadi kemarin malam.