"K-kakak lepaskan ah."
Aku langsung melepaskannya, membiarkannya mengatur napas.
"Tentu saja aku akan menjaga Jiajia tanpa kakak suruh! Jika kakak mau melakukan apapun, aku tidak akan protes. A-aku percaya pada kakak!" teriaknya sambil berlari keluar.
Aku hanya menggelengkan kepala.
Anak itu...
Tahun ini, Xiao Chen, adik laki-lakinya berumur 14 tahun. Sedangkan adik perempuannya, Xiao Li berumur 10 tahun.
Sekarang, menunggu Xiao Li pulang, aku ingin mencoba memasuki ruang spatial dari cincin peninggalan Ibuku.
Di dalam novelnya, Sang protagonis benar-benar bisa hidup bahagia dengan mengandalkan ruang spatial ini saja, tanpa menghitung kekuatan cahayanya.
Aku meneteskan darahku ke atas cincin yang sedang kupegang.
Dalam sekejap, pemandangan kamarku langsung berubah. Tergantikan oleh pemandangan yang terasa kuno nan sepi.
Aku melihat sekeliling.
Pemandangan pertama setelah memasuki ruang spatial adalah mansion tradisional bergaya dinasti Ming.
Mansion ini dikelilingi oleh danau mengkilap, menyebabkan dunia di luar tembok hanya bisa diakses oleh lima jalan setapak yang tersedia.
Tanpa berbasa-basi, aku langsung berjalan lurus sebentar dan mendorong pagar yang menghalangi jalan.
Sesampainya di luar, aku begitu tercengang.
'Benar-benar seperti pedesaan yang sangat damai ah!'
Aku terus mengelilingi mansion.
Di sebelah barat mansion, terdapat laut kecil yang pasirnya seputih salju. Lautnya begitu tenang tanpa ada tanda apa-apa. Di sebelah timur mansionㅡtempatku keluar tadi terdapat hutan kecil yang terdiri dari pohon peach dan pohon apel yang menjulang tinggi. Di sebelah selatan mansion terlihat gunung dari kejauhanㅡsampai-sampai agak tertutup kabut. Menurut novelnya, terdapat pemandian air panas di sana. Di sebelah utara mansion terdapat kolam dengan persawahan kosong.
'Hmm... itu pasti kolam air mistik yang khasiatnya benar-benar ajaib.'
Aku mendekati kolam tersebut dan berjongkok untuk meminum airnya menggunakan telapak tanganku.
Rasanya benar-benar menyegarkan!
Aku memutuskan untuk kembali ke mansion awal dan menelusuri isinya. Terdapat dua kamar tidur, ruang belajar, dapur, ruang penyimpanan, dan aula luas. Semuanya benar-benar rapih.
Terdapat begitu banyak buku dan gulungan di ruang belajar. Sayangnya, huruf yang digunakan benar-benar asing bagiku.
Di dalam ruang penyimpanan, banyak persediaan dan berbagai macam senjata dan pakaian kuno. Mulai dari pedang, tombak, dan cambuk.
Sesampainya di pavilion di belakang mansion, aku bermeditasi karena merasakan Mana yang lebih kaya dari bumi yang sekarang.
Menurut novel, perbandingan waktu di sini dan di luar adalah 1:6. Oleh karena itu, aku tidak perlu khawatir menunggu adikku yang termuda pulang.
***
Aku memanggil kedua adikku untuk berkumpul di ruang keluarga. Xiao Li yang pertama muncul. Ia langsung memeluk leherku begitu sampai.
Aku balas memeluknya.
Kuhirup aroma familiarnya yang menenangkan, mengusir segala kesedihan yang tersisa.
Tidak lama setelahnya, Xiao Chen juga datang. Ia menghampiri kami yang sedang berpelukan.
Aku hanya mengangguk kepadanya dengan senyum kecil.
Kulepaskan pelukan kami sambil menangkup wajahnya dengan kedua tanganku.
"Xiao Li, mau pergi sama kakak sebentar?"
Ia mengangguk sambil menjawab dengan serius, "Asal sama kakak, aku mau kemana aja."
Aku berdiri. Kupegang tangan kedua adikku.
"Sekarang, kalian tutup mata kalian. Oke? Kakak mau kasih kejutan buat kalian."
Setelah melihat bahwa mereka menuruti apa yang kusuruh, aku langsung membawa mereka dengan berkata "Masuk."
Pemandangan ruang keluarga kami langsung berubah menjadi mansion yang kutelusuri belum lama ini.
"Sekarang, kalian boleh buka."
Xiao Li menyambutnya dengan antusias sedangkan Xiao Chen hanya mematung ditempat.
"WAAAAHHH KAKAK! KAKAK! INDAHNYA AHHHH!"
"Kakak! Kakak! Kenapa kita ga pindah ke sini ajaaaa?" katanya manja sambil menarik tangan kananku.
Aku berjongkok menyamai tingginya yang hanya sepinggangku. Walaupun Xiao Li berumur 10 tahun, pikirannya masih seperti anak berumur 6 tahun. Bahkan fisiknya pun seperti itu. Kata papa, itu adalah efek karena ia lahir prematur. Di kala baru lahir, adikku yang satu ini bahkan terlihat sulit untuk hidup.
Aku hanya tersenyum menanggapinya seraya menepuk kepalanya.
Aku menuntunnya menelusuri mansion. Sesampainya di pavilion, ia tiba-tiba berjongkok memegangi dadanya.