Aku merindukan suara itu, telingaku begitu memahami dengan nada dan cara bicara Jebran di balik percakapan telepon. Waktu mungkin telah sedikit melupakan, bahkan hati bisa saja rapuh saat ditinggal dari kabar. Akan tetapi, jiwaku sangat kuat dengan watak keras ini. Inilah kelebihan dari watak kerasnya kepala.
Jebran menderu-deru saat mengatakan kata 'halo'.
("Emira, maafkan aku,") ucapnya lirih.
Aku berhenti dengan merunduk sembari mengutak-katik kuku tanganku, "Hemm, aku bahkan hampir melupakanmu," ungkapku.
("Apa?!") jerit Jebran.
("Beraninya kau melupakanku,") keluh Jebran.
("Hahaha, kau begitu jahat karna tidak mengirim kabar kepadaku,") geramku.
("Maafkan aku, Emira. Sistem jaringan yang melarangku untuk mengirim pesan menelepon seseorang dari ponsel pribadi maupun kantor, jika tidak aku bisa ketahuan,") jelas Jebran.
("Hahaha,") kekehku.
("Kenapa kau malah tertawa?") sela Jebran.
"Ya, ya, aku mengerti apa maksudmu, jadi apa tugasmu selesai?" tanyaku penasaran.
