Sorotan mataku menjelengar ke depan. Terfokus pada pria yang pernah hadir dan hendak menghantuiku selamanya. Tanganku tak kuasa untuk bergerak ke depan hingga ke belakang. Kakiku terasa kaku melemah hingga sangat berat menahan beban yang kubawa.
"Emira, kau kenapa?"
"Emira," sapa ibuku melambaikan tangannya ke depanku.
Dia bahkan menepuk pipiku berkali-kali.
"Emira!"
Ternyata pandangan itu menipuku, aku hanya melihat satu orang saja, yakni ibuku sendiri. Dirinya meredam diriku yang tadinya hendak takut dengan kekalutan masa lalu.
Si pria bernama Endru seakan membungkusku pada ketakutan. Oh, bodohnya diriku hingga harus takut dengan dirinya.
Sergahku tersadar oleh ibuku, "Oh, Ibu."
Mataku kini meredupkan sorotan, hingga pikiran yang sempat menutup suasana tegang menjadi sebuah ketenangan.
"Kau ini kenapa?" tanya ibuku penasaran.
"Ibu," lirihku.
"Itu mobil paman?" tunjukku pada mobil yang ada di depan.
Aku mengira itu mobil seseorang yang pikirku tadi sangat kacau.