Lambaian angin melambai di ujung ubun-ubun kepalaku. Aku berdiri di hadapan seorang pria yang sudah lama tidak kutemui. Aku tak menangis maupun tertawa, melainkan dengan seribu diamnya tanpa kata.
Bukankah itu ayahku yang sudah menjadi bagian terhebat bagiku? Namun, aku menyesali telah memiliki seorang ayah seperti itu. Dia mendekatiku dengan wajah rintihannya.
Tangannya mulai menjulur ke arahku, tatapannya sangat sendu lagi malu. Tiba-tiba, dari balik punggungnya terlihat banyak pria yang tertawa genit ke arahku. Aku yang hendak memajukan langkah untuk menerima maaf dari sang ayah, lalu aku berhenti.
Aku membalikkan badanku dengan paksa, tetapi langkahku begitu berat untuk melangkah. Pandanganku mulai meraba jalanan yang ada di bawah kakiku. Aku hendak melawan pelarianku. Tapi, ayahku malah mengubah raut sendunya menjadi sangat keji dengan tawa menggeliat genit.
"Hahaha, ayo ikutlah dengan ayah! Kau akan menjadi wanita penggoda untuk mereka," lirih ayahku mendekatiku.
