"Hahaha...!"
Gadis kecil itu bermain dengan kupu-kupu dihalaman kerajaan, berlari-larian kesana-kemari mengelilingi taman. Seperti tidak ada keluh kesah didalam dirinya.
"Anak itu...."
Disaat yang bersamaan Sang Ratu memandang ke arah luar dan melihat gadis kecil yang bersenang-senang itu. Menatapnya dengan tatapan sinis.
Sang Raja memergokinya lalu menganggetkannya. "Hai sayang, apa yang kau lihat? Ah anak itu ya, Mirai. Disaat melihatnya hatiku langsung tenang, kau taukan maksudku?" ucap Sang Raja yang juga ikut memandang keluar jendela.
Sang Ratu membalikkan pandangannya ke arah Sang Raja,
"dia bagaikan seorang malaikat di kerajaan. Permata indah disini. Kau benar..." sahut Sang Ratu sambil tersenyum. Memuji keimutan Mirai kecil bagaikan seorang malaikat baginya.
"Kau baik-baik saja?"
"Tidak, aku hanya mengatakan apa yang aku rasakan."
"Ah, benar juga. Aku takut Mirai tidak menyayangimu sebagai seorang ibu. Ya, walaupun sebagai ibu tirinya. Aku tau perasaanmu disaat Mirai tidak dekat denganmu, kau barusaja melakukannya."
"Kurasa dia tidak mau bersamaku, aku tidak tau mengapa. Dia lebih memilih pelayan kerajaan itu daripada ibunya sendiri."
"Ya.... Apa boleh buat sih, lagipula aku sudah mengenal pelayan itu sejak aku masih kecil. Dia orang yang baik, jadi tak heran Mirai lebih akrab dengannya." ucap Sang Raja sambil tersenyum simpul. "Dan juga Mirai juga tidak bisa akrab dengan kakaknya sendiri, Rie"
"Aku akan mencoba untuk membuat mereka berdua menjadi kakak beradik yang akrab satu sama lain." sambungnya.
"Semoga saja...."
Pelayan kerajaan menghampiri Mirai yang sedang bersenang-senang sendirian bersama dengan kupu-kupu yang terbang ditaman.
"Wah, Tuan Putri sedang bersenang-senang ya?"
"Hoh? Nenek!"ucap gadis itu sambil tersenyum manis.
"Senyum Tuan Putri sangat Manis!" puji pelayan kerajaan itu.
"Benarkah? Apakah ibuku juga manis?" tanya Mirai dengan pertanyaan polosnya.
"Ya, persis sepertimu."
"Uwah...."
Mirai terkagum-kagum mendengar ucapan sang pelayan itu yang membuat hatinya sangat senang.
"Tuan Putri, kupu-kupu itu cantik sekali?"
"Eh Dimana dimana?"
"Disana" tunjuknya.
"Woah! Kupu-kupunya cantik!"
Mereka berdua bersenang-senang menikmati pagi. Bermain bak seorang teman yang sudah akrab. Berkeliling di halaman Istana Kerajaan. Bermain-main dengan kupu-kupu yang berterbangan.
Penghuni kerajaan duduk di sebuah meja makan yang panjang. Mirai menyantap makanan dan duduk tepat di samping ayahnya.
"Ah enak!" ucap Mirai sambil mengunyah makanan yang ada dimulutnya.
Sang Raja turut tersenyum kepadanya, ketika melihat gadis kecilnya itu makan dengan lahapnya. "Duh... pelan-pelan makannya." ucapnya.
Pada saat itu Mirai berumur 10 tahun, seorang gadis kecil yang masih polos dan ingin tau banyak tentang apapun disekitarnya.
"Kejadian itu terjadi 6 tahun yang lalu..."
Aku kehilangan banyak sekali masa-masa indah ku bersama dengan Ayah dan juga Nenek yang selalu baik kepadaku. Ternyata diriku masih menyimpan kenangan berharga itu semua, dan masih terjaga sampai saat ini.
"Keadaan yang pasti membuat hatimu senang melihatnya kan? Tapi bukankah itu semua tidak akan berarti lagi. Semua kenangan indah dan berharga mu itu tinggallah sebuah kenangan."
"Apa maksudmu? Bukankah semua ini kau penyebabnya, kau memunculkan kembali ingatan-ingatan masa kecilku!?" ucapku sambil menanyakan suatu hal pada diriku yang berbeda.
"Seharusnya kau berkata kita. Lagipula kalau tidak ada semua itu, aku tidak akan berada disini."
"Apa yang sebenarnya kau maksudkan? Aku benar-benar tidak mengerti!"
"Mudah saja, simpelnya ini baru permulaan dan itu semua tadi bukanlah jawaban atas semua pertanyaanmu. Apakah kau mengingat semua itu?"
"Mengingat? Egh...."
Tiba-tiba dadaku terasa sesak disaat dia mengatakan sesuatu yang aneh padaku. Mengingat suatu hal yang membuat mentalku semakin menurun. Rasanya sangat sesak.
"Tunggu dulu! Kau jangan mati dulu. Aku belum selesai berbicara padamu!" ucapnya yang komplen kepadaku.
"Mati?"
"Jadi, apakah kau mengingat semua siksaan yang kau jalani semasa hidupmu dulu?" sambungnya.
Mirai berada di ruangan besar, tempat utama istana kerajaan. Singgahsana Sang Raja, berada disana. Sambil memegang gagang sapu, Mirai mulai menyapu semua kotoran yang ada di ruangan tersebut sampai bersih.
"Sebaiknya kau cepat membersihkannya, dasar lambat! Sebentar lagi Ibunda akan menuju kemari. Kau tau seberapa marahnya dia kalau kau belum selesai bersih-bersih." tegas Rie yang berjalan dihadapan Mirai, mengotori lantai yang baru saja ia sapu.
"Tapi, bagaimana aku bisa membersihkannya, jika kakak mengotorinya...." ucap Mirai dengan nada sedih.
"Apa? Banyak protes kau!" bentak Rie sambil mendorong tubuh Mirai hingga membuatnya tersungkur. "-Seharusnya kau berpikir dulu sebelum mengatur orang lain."
Rie meninggalkan Mirai yang terkapar di lantai. Mirai mulai berdiri dengan mata yang berkaca-kaca, seakan menangis. "Ayah... Aku merindukanmu." ringisnya.
"Mirai..." seseorang memanggil dan menghampirinya, ia adalah nenek yang satu-satunya sayang padanya.
"Nenek! Hks... hks" Mirai berlari lalu memeluk erat tubuhnya sambil menangis. Nenek itu mengelus punggung Mirai, mencoba untuk menenangkannya, "sst... jangan menangis, biar nenek yang melanjutkannya."
Pada saat itu umur kita 12 tahun, tepat beberapa minggu setelah kematian Ayah akibat penyakit yang dideritanya. Semuanya berubah, Ibu Tiri memanfaatkan kita sebagai pelayan yang padahal kita adalah Putri Kerajaan. Tidak ada yang tau, hanya penghuni kerajaan yang mengetahuinya. Bahkan Nenek tidak bisa banyak membantu karena ulah jahatnya. Ibu dan Anak sama saja. Itu yang membuatmu menjadi sangat depresi dan menjadikanmu pribadi yang cengeng.
Ya, kau melupakan semuanya.
"Aku... aku bahkan tidak bisa mengingat hal itu dengan jelas, apakah semua itu pernah terjadi padaku?" Aku rasa iya dan tidak. Aku melupakan kenangan buruk masa kecilku disini, setelah dipikir-pikir ingatanku perlahan mulai memudar. Mungkin akibat efek dari tempat ini, lagipula aku sudah mati, termasuk ingatanku?
"Hah, kau melupakannya.... Aku sama sekali tidak melihat dendam didalam dirimu. Aku kecewa, benar-benar kecewa. Bagaimana bisa seseorang bisa tahan dengan hal seperti itu sedangkan kau tidak? Itu tidak masuk akal!"
Aku masih bingung apa yang ia katakan, aku yang berbeda tampaknya membuat diriku tidak bisa berbuat banyak. "Balas dendam? Apa maksudmu?" tanyaku.
"Begini.... Aku tidak akan ada disini kecuali, ya... sebenarnya aku hanya mencoba."
"Mencoba?"
Tiba-tiba dadaku sesak, aku tidak bisa bernapas dengan baik. Dorongan ini penuh dengan rasa sakit, aku sudah mati tapi masih bisa merasakan rasa sakit, mustahil!
"Apa yang kau lakukan!?" tanyaku sambil memegangi perutku yang sangat sakit.
"Apa yang aku lakukan? Sebenarnya tidak ada yang banyak aku lakukan sekarang, aku bisa membunuhmu jika aku mau."
"Membunuhku? Bukankah aku sudah mati?" potongku.
"Ternyata kau belum sadar juga, aku bersamamu. Dan aku adalah dirimu, dan dirimu adalah aku. Kita sama, tapi berbeda. Aku datang kemari mengingatkan kenangan masa lalumu yang kau lupakan."
"Mengingatkan aku kepada masa laluku sendiri?" Aku tidak merasa, apapun itu, jika aku benar-benar berada dengan apa yang ia katakan, itu berarti aku tidak bisa menyimpan dendam begitu saja. Dia mencoba untuk menumbuhkan rasa dendamku pada masa laluku sendiri.
"...kau demam tinggi. Jadi, aku mengkompresmu dengan air..." (Leo)
Dengan semua orang yang ku sayangi dan semuanya yang telah membuatku sejauh ini. Apapun yang tidak aku sadari, aku menyadarinya. Menyadari bahwa semua orang yang menyayangiku lebih berharga.
Aku menghembuskan napasku, "aku mengerti...!" ucapku.
"Mengerti? Memangnya kau mengerti apa?" tanyanya.
"Kau bilang kau adalah diriku yang berbeda, tidak.... Aku baru menyadari bahwa kau benar-benar aku, bagian dari diriku..."
"jangan bercanda! Apa yang kau mengerti?!" potongnya.
"Aku merasakan kasih sayang dari orang-orang terdekatku, tapi kau tidak merasakannya. Aku mengerti, kau bagian dari diriku yang hilang, sisi gelap yang meminta bantuan pada dirinya sendiri."
"Bagian yang hilang?"
"Aku tidak pintar melakukannya, tapi aku hanya ingin menyadarkan mu. Aku merasakan semua kasih sayang yang tidak kau rasakan. Jadi, aku ingin kita berdua saling melengkapi diri kita sendiri. Kau kehilangan kasih sayang, jadi bukankah itu semua akan terpenuhi jika kita bersama-sama, melewati semuanya, di luar sana..."
"Jadi..."
"Beritahu aku bagaimana rasanya, mendapatkan apa yang kau rasakan... Ketika kau menjalani semua ini sendirian. Rasa sakitnya, melengkapi... Kita bisa melengkapi satu sama lain! Dengan begitu, kau tidak lagi merasakan rasa sakit! Tapi juga kasih sayang dari semuanya. Tanpa semangat dan kasih sayang, kau tidak akan bisa melakukannya, ketika kau berjalan diatas air yang tenang, kau bisa tenggelam. Dendam, semua itu hanyalah omong kosong. Mirai, tidak. Diriku sendiri berkata demikian pada diriku sendiri."
"Ya, aku cemburu denganmu, kau merasakan kasih sayang, sedangkan aku tidak. Yang hanya kupikirkan adalah membalas semuanya..."
Aku menghampirinya dan menyentuh pundaknya, "Balas dendam, setelah melakukannya, ah itu pasti membosankan. Kau tidak akan sendirian lagi, aku akan bersamamu, selamanya!" ucapku sambil menjulurkan tanganku kearahnya.
Ia meneteskan air matanya, "kau akan berjanji?" tanyanya.
Aku pun tersenyum, "janji! Lagipula aku tidak akan bisa membohongi diri sendiri."
Ia meraih tanganku dan ikut tersenyum bersamaku. Cahaya putih bersinar mengelilingi tubuhnya lalu meledak menjadi butiran cahaya. "Menyadarkan diri sendiri, sekarang aku merasakan penderitaannya. Aku kembali kepada keadaan ku yang semula..."
Tiba-tiba dengungan keras menggerogoti pikiranku. Pandanganku menjadi gelap, aku tidak bisa melihat apa-apa.
Kedua mataku perlahan bisa melihat lagi, aku terbaring diatas tanah dengan langit sore yang ku lihat. "Aku tidak bisa bergerak..." aku mencoba untuk berdiri, tapi tidak berhasil. Perlahan aku melihat ke sekujur tubuhku, perutku menganga, darah terus-terusan mengalir. Aku baru menyadarinya, ternyata aku tadi pingsan disaat aku terluka.
"Aku belum mati ya..."
Aku masih bisa merasakan rasa dingin dan panas dari perutku. Aku merasa tersiksa. "Erikka, apa yang terjadi padanya?" Aku pun menoleh, aku pun melihat keadaan Erikka terbaring diatas tanah dengan darah yang menggenang di sekitarnya.
"Erikka..." lirihku tak berdaya.
Aku tidak akan menyangka hal ini sama sekali. Aku merasa aku kekurangan banyak darah, kepalaku terasa pusing. Pandanganku kabur, kepalaku terasa berat. "Lagi..."
"Mungkin ini adalah kematian sebenarnya... Aku bahkan masih sempat mendengar suara jam di kepalaku, disaat akan kematian ku. Suara itu..."
"Kak Mirai..."